Saturday, May 16, 2015

Siapa Aku?



                Namaku Iman Rusmawansyah.

                Saat aku menuliskan ini, usiaku 20 tahun. Tentu saja, selagi aku masih hidup, pada bagian ini aku akan terus memperbarui tulisanku tiap tahunnya. Mungkin hanya mengganti angka 0 diatas menjadi 1, lalu 2, 3 dan seterusnya.

                Siapa aku sebenarnya? 

                Aku adalah seonggok daging yang di titipkan roh oleh Yang Maha Kuat. Aku tak bisa mendefinisikan soal kehebatanku. Sebab, aku hanyalah daging. Yang dimana aku bermula dari sperma yang menjijikkan. Kemudian berjalan di atas bumi dan kolong langit sambil membawa kotoran. Kelak, aku mati akan menjadi bangkai.

                Aku anak laki-laki biasa saja yang lahir 20 tahun silam. Tepatnya, 25 November 1994. Tentu saja, kalian akan menjadi orang paling peduli bila mengingat tanggal 25 November dan menyiapkan kejutan untukku.

                Selama 20 tahun pengembaraanku di dunia. Aku diajarkan oleh kedua orangtuaku berbicara, memotong kuku, mengikat tali sepatu, menulis, memukul tembok, menangkap capung hingga mengejar belalang, bahkan memancing ikan. Sampai pada akhirnya aku menemukan kalimat sempurna yang mengikat diriku dengan Yang Maha Kuat. Kalimat itu adalah Syahadat. Entah, aku lupa kapan pertama kali aku mengucapkannya. Tapi berharap dan berdoa pada Yang Maha Kuat itu, aku dan dirimu, kita semua, dapat menyebutnya saat menjelang kita mati.

                Selama 20 tahun itu; rasa sakit, pengkhianatan, tawa, bahagia, luka, airmata, ambisi, impian, cita-cita, mengajarkan ku banyak hal hingga akhirnya aku memiliki mimpi:

Bahwa aku, Iman Rusmawansyah…


                AKAN MERATAKAN NTB DENGAN ISLAM, INSYAALLAH!!!

Tuesday, April 21, 2015

Izumi #17

Assalamualaykum, tadaima – aku pulang.” Seru Hiruta.
Okaerinasai – Selamat datang.” Ibu menyahut pelan dalam rumah seraya menyiapkan menu untuk makan malam.

Hiruta melepas sepatunya, lalu menggantinya dengan sandal khusus dalam rumah.

Inari sedang membaca artikel yang ia buka dengan laptop yang terhubung dengan jaringan internet disebelah kanan meja makan, ia duduk beralaskan karpet coklat yang memiliki bulu yang cukup tebal, sambil menyalakan televisi sekaligus dihadapannya. Mencari segala informasi yang barangkali bisa ia disuksikan dengan Hiruta sebelum tidur, seputar fashion juga satu hal yang tak pernah bisa ia lewati, informasi seputar Dunia Islam diseluruh dunia.

“Okaa-san, apa masakan untuk malam ini?” Hiruta berjalan mendekati meja makan dan melihat satu persatu makanan yang telah diletakkan dengan indah dan rapi. Lalu Hiruta melihat ada satu masakan baru yang memenuhi piring. Beberapa potong daging yang di potong melintang sehingga tecipta bentuk kubus. Kemudian potongan daging itu ditusuk dengan menggunakan bambu yang sudah di bersihkan sebelumnya. Di atasnya dilumuri bumbu kacang-manis yang sudah mengental, “Okaa-san, apa ini?” Hiruta menatap daging itu lalu menatap Ibunya.
















“Oh, tadi aku mencari-cari di internet bagaimana membuat masakan yang enak dengan potongan daging ayam. Akhirnya aku membuat itu. Sate namanya.” Jelasnya.
“Sate?”
“Iya, itu masakan dari Indonesia. Saudara kita.” Jawabnya sambil tersenyum.

Ibu Hiruta memiliki nama yang sangat singkat, Minori. Yang artinya adalah Kebenaran. Nama ini diberikan oleh Ayahnya yang pada saat itu adalah Muslim. Orangtuanya telah lama meninggal, bukan karena musibah atau tragedi melainkan meninggal dengan cara biasa, layaknya orang-orang pada umumnya. Menikah, beranjak tua lalu meninggal. Minori lahir di sebuah distrik di Sapporo,  Hokkaido.

Pulau Hokkaido adalah pulau terbesar kedua di Jepang. Selat Tsugaru memisahkan Pulau Hokkaido dari Pulau Honshu. Pulau Hokkaido dan Pulau Honshu dihubungkan oleh terowongan bawah laut Seikan. Suku bangsa asli di Hokkaido adalah suku Ainu. Banyak nama daerah yang memakai bahasa Ainu, seperti Sapporo.

Namun, Minori sudah tidak semanis dan secantik dulu. Tubuhnya sekarang sudah memiliki banyak lemak disana-sini. Lehernya yang mulai terlihat banyak lipatan-lipatan dan pipinya sudah terlihat menggelambir. Lengannya yang besar yang selalu ia gunakan ketika memindahkan pot bunga, mengangkat ember, dan membersihkan lantai dengan vacuum cleaner  juga tidak sekuat dulu. Kadang, sesekali ia merasa nyeri bila bekerja terlalu lama. Merintih dan memanggil Hiruta saat malam mulai menjelang untuk memijatnya, Hiruta mengangguk dan mengiyakan.

Selama masa Jepang kuno, tepatnya sebelum abad ke-9, makanan Jepang terdiri dari daging sapi, ikan, ayam, beserta sayuran dan nasi, bahkan daging kuda dan monyet turut dimakan oleh rakyat Jepang. Dengan berjalannya waktu, masakan diubah untuk mencerminkan filosofi Buddhis yang datang menguasai Jepang.

Pada akhir abad ke-12, makanan di Jepang punya dua ragam. Kaum bangsawan akan makan makanan mewah sedangkan petani dan samurai menyantap makanan sederhana, tapi sangat khas dengan aroma yang hangat. Hari ini, makanan Jepang terdiri dari makanan pokok, seperti beras dan mi yang merupakan bagian dari hidangan tradisional. Ikan, daging, sayuran dan tahu juga digunakan.

“Sepertinya akan sangat lezat.” Hiruta berkata datar, lalu menutup kembali makanan. Kemudian berlari menuju lantai dua, kamarnya. “Kak, bila sudah tiba waktunya makan, tolong panggilkan aku, ya. Aku harus mengerjakan sesuatu dalam kamarku.”



“Ya.” jawab Inari pelan.

Tunggu part 18 nya yaa ^^

Tuesday, November 11, 2014

Akatsuki = Eks-school (?!)


Bukan pertama kali saya mendengar pertanyaan atau pernyataan yang mengatakan bahwa apakah Akatsuki itu termasuk unit kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Dengan pertanyaan khas anak SMP/SMA, saya ditanya begini, “Kak, Akatsuki itu Eks-School bukan, sih?” dan saya selalu menyunggingkan senyum saat mendengarnya.

Untuk menjawab peratanyaan ini perlu saya sampaikan terlebih dahulu sejarah (untuk lebih jelasnya, menyelam saja di blognya yang saya post dibawah kolom komentar nanti) saat Akatsuki berdiri. Dalam beberapa kesempatan saya bercerita pada adik-adik kelas, guru-guru, salah seorang elit pemerintahan, orangtua siswa dan banyak pihak yang bertanya mengenai latar belakang Akatsuki yang misterius dan sudah berhasil mengambil hati anak-anak mereka. Saya katakan, “Akatsuki adalah kumpulan remaja berprestasi dalam bidangnya masing-masing dan  kami rekrut untuk bergabung. Dan semuanya adalah siswa yang insyaAllah punya potensi untuk memajukan NTB dan Indonesia ke depannya.” Dengan wajah mengkerut dan dengan wajah menyenangkan mereka yang mendengarkan penjelasan saya ini mengangguk-angguk paham.
 
Sebagai organisasi berkembang, dulu, ketika saya mendirikannya saya memang belum paham akan ilmu keorganisasian dan tata nilainya. Serta budaya korporat yang harus saya ciptakan. Jawabannya sederhana saja, karena usia saya pada waktu itu baru 13 tahun. Kelas 3 SMP. Namun seiring berjalannya waktu serta banyaknya saya bertemu dengan orang-orang yang berpengalaman, buku yang saya baca, serta impian yang saya yakini, Akatsuki menjadi lebih terang dan lebih bersuara dibanding saat pertama kali saya mendirikannya. Kalau waktu itu, Akatsuki hanya dikenal sebagai kelompok belajar yang beranggotakan 8 siswa SMP yang satu siswanya menguasai minimal satu pelajaran. Dan sekarang sudah melebarkan tentakelnya menjadi 95 Siswa.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah pengertian dari Eks-School itu sendiri? Sebab bila kita bertanya mengenai sejarah dan apa yang Akatsuki lakukan dan apa yang akan Akatsuki capai saya rasa sudah memenuhi kriteria sebagai Eks-School. Pengertian sederhana dari eks-School adalah, sebuah lembaga yang aktif dalam ruang lingkup persekolahan dan memberikan kontribusi positif agar siswa mampu mengembangkan diri baik dalam bidang psiko-motorik (sosial), kognitif (kecerdasan), dan afektif (empati). Begitulah bahasa sederhana dari pengertian Eks-School yang saya ketahui.

Dan sebagai siswa yang sehat akal dan pikiran, dimana pun ia bersekolah akan mengangguk mengiyakan ketika ia dijelaskan pengertian eks-School adalah untuk mengembangkan kemampuan sosialnya agar ia tidak kaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bergaul (Psiko-motorik), kemudian agar mengasah kemampuan Leadership dalam dirinya (kognitif), serta ketika ia berada dalam lingkungan yang baru, ia lebih mampu merasakan apa yang orang lain rasakan dengan kata lain berempati terhadap orang lain (afektif).

Terlepas dari anggapan para siswa atau siapapun yang bermental kalah dan (maaf) pecundang yang tak bisa menghargai karya orang lain selain menghina dan menuduh Akatsuki sebagai organisasi pemberontak, teroris, atau apapun, kami dan saya sendiri sebagai pendirinya menutup telinga atas apapun yang mereka katakan. Sebab satu hal yang saya yakini adalah, ketika oranglain berbicara tentangmu dibelakangmu, itu berarti kau sudah terlampau jauh meninggalkan mereka. Dengan kata lain, yang dibicarakan sudah lebih dulu sampai digaris finish dibanding mereka yang membicarakan yang mungkin kelelahan dan tak mampu bersaing lagi. Hanya bisa membicarakan oranglain yang lebih dulu berhasil.

Nah, kesimpulannya adalah,  Akatsuki sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria itu. Maka bila masih ada yang bertanya apakah Akatsuki itu eks-School atau bukan? Saya dengan santai menjawab: Iya, Eks-School :)
 



Founding Father of Akatsuki Organization: @Iman_rk :D

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top