Thursday, March 20, 2014

Izumi #1

3/20/2014 07:46:00 PM



“Sebenarnya, apa yang salah denganku? Padahal, aku sudah mengajaknya baik-baik. Dasar, Hiruta menyebalkan!” Izumi menggerutu.

Siang itu, di tengah kerumunan para siswa yang mengantri dan berjalan hilir mudik ditengah sempitnya kantin SMA 3 Geishu, Kyoto, Izumi berjalan mengambil barisan dan memaksakan diri untuk ikut bergabung dalam antrian yang cukup panjang menunggu untuk mengambil menu makan siang yang disediakan di kantin sekolah. Izumi sebenarnya bisa untuk keluar dalam barisan dan membeli makanan cepat saji atau beberapa snack untuk dikunyah sekedar mengganjal perut. Namun emosi kekesalannya  pada Hiruta yang menolak ajakannya membuat ia lupa diri.

Hiruta adalah lelaki misterius bagi seluruh siswi yang ada di dalam SMA 3 Geishu – namun tidak begitu dalam pandangan Izumi – karena kalemnya. Ditambah, kekaguman para wanita di SMA itu bukan hanya “behavior” yang melekat pada diri Hiruta, ia juga tampan. Ya, tampan. Sejak kepindahan Hiruta dari Perguruan Toho menuju SMA 3 Geishu, tak banyak yang tahu tentang asal-usulnya. Namun, kecerdasan serta pembawaan Hiruta yang mewabah, wanita mana sih yang tak ingin sekedar tahu lelaki yang selalu percaya diri ini?
“Hey, jangan memotong antrian!” Izumi menggema. Ia menendang tumit anak lelaki yang mencoba jail dan sok berani memotong antrian pengambilan makanan itu. Tak banyak bicara, lelaki tadi dengan ekspresi cengingisan ia segera menghindar, ketika ia membalikan wajahnya langsung bertatapan dengan sepasang mata yang seakan siap menendangnya untuk kedua kali bila ia tak menghindar dan pastinya ia akan dipermalukan saat itu juga.

Setelah 16 menit ia mengantri dengan segera membawa sepiring penuh sushi, cumi digoreng setengah matang, serta ramen. Menu yang sangat aneh untuk di konsumsi siang hari.
“Ittadakimasu minna-san!” soraknya. Sekejap, seluruh mata memandang Izumi, namun tanpa membalas pandangan mereka, Izumi  lekas melahap cumi goring sehingga menyisakkan sedikit minyak di bibir tipisnya.

“Boleh aku bergabung?” Kata suara didepan meja Izumi.
Izumi mendongakkan kepalanya. Terhentak dengan suara itu.
                “Ah, Aizawa-san! Silakan… Aku tak punya teman berbincang. Wah, rasanya aku ingin segera bercerita padamu, Aizawa-san. Tentang…” Izumi bersemangat.
                “Hiruta?” Potong Aizawa ditambah dengan alis kanan yang terangkat. Senyum tipis mengembang disana.
                “Aaahh, iya! Uh, dasar cowok menyebalkan, gak peka, patung, Zombie. Dan..dan..semuanyalah!” Izumi mengutuk dengan nada kesal. Tak ia hiraukan banyak remah-remah yang muncrat keluar dari mulutnya.
                “Hahaha, jangan begitu… Tak baik mencela teman sekelas. Ku dengar, banyak anak yang meminta contekkan padanya. Apa kau tak khawatir bila saat terdesak kau tak diberinya jawaban?”
                “Siapa peduli?! Aku bahkan lebih cerdas dari dia kok… dalam beberapa hal sih.” imbuhnya tersipu malu.

                “Aku perhatikan, dari kemarin kau selalu mengeluh dan merasa jengkel pada Hiruta? Apa masalahnya?” Aizawa berusaha mengorek rahasia antara pertikaian Izumi dan Hiruta.

                Ditengah keramaian dan keributan kantin, suara sayup-sayup siswa yang berbincang tentang masalah PR, Pacar, tentang apa yang akan dilakukan setelah ini. Juga bunyi dentingan tabrakan antara mangkuk dan sumpit seolah menambah irama gaduhnya kantin SMA 3 Geishu. Teriakan Ibu Yamato karena kejahilan para siswa yang mengambil jatah lebih banyak dari yang lain membuat para siswa yang tengah menyesap jus dan mengunyah makanan terkekeh. Satu hal lagi yang tak terpisahkan dari suasana kantin adalah keromantisan; senyum tertahan yang tersorot dari mata sepasang kekasih yang berjalan beriringan ketika datang dan pergi. Yang kadang dalam suatu kesempatan mereka tertawa bersama. Juga romantisnya mereka saat bergandengan tangan.

                “Aku terus mengajaknya ke kantin, supaya dia juga merasakan masakan Kyoto. Dan juga sebagai tanda terimakasihku karena beberapa hari yang lalu, ia menggeser catatan mate-matika dan mengopernya padaku yang pada saat itu aku sangat membutuhkan. Karena, kau tahulah, bagaimana mengerikannya Pak Ichigawa bila tugas yang ia berikan tak kami selesaikan.” Izumi melahap potongan sushi terakhir. “Dan, ini rahasia, yah, Aizawa-san. Sebenarnya, sama seperti yang lain. Aku juga penasaran padanya. Dengan sikap yang ia tunjukkan pada kami semua, seolah-olah kami ini tidak akan menjadi teman yang baik baginya. Wajar ‘kan, aku mengomel terus?!” Keluh Izumi.

                Memang benar, Izumi bukan satu-satunya yang penasaran dengan seluruh tingkah laku yang diperlihatkan Hiruta selama ini. Padahal, sudah 6 bulan dia kemari, ke SMA 3 Geishu, Kyoto. Jepang. Tersiar kabar, bahwa SMA 3 Geishu jarang ada yang memiliki agama. Mengenal Tuhan pun tidak. Seluruh kehidupan dan aktivitas di SMA 3 Geishu menjuru pada dua hal; Nilai dan Gaya Hidup. Izumi adalah salah satu penganut kehidupan semacam ini.

                “Oooh, begitu.” Singkat Aizawa. “ah, sebentar lagi bel panggilan masuk akan berbunyi. Segera selesaikan makananmu.” Aizawa merapikan dan membereskan gelas dan mangkuk sekaligus melompat keluar dari tempat duduknya dan membawa mangkuk dan gelas ke tempat yang telah disediakan khusus.
             
   “Oke, sebentar.” Izumi mengeksekusi suapan terakhirnya.

                Semua siswa dikendalikan oleh sebuah benda yang mengeluarkan bunyi yang keras; Bel. Ditengah kerumunan siswa, Izumi melihat Hiruta dari kejauhan. Dengan gaya memasukkan kedua tangan dalam kantung celana, sedikit membungkuk, Hiruta berjalan menuju kelas. Izumi hanya memandang dan tidak berbicara apapun. Izumi berlari kecil menuju ruang kelas dan mengucapkan sampai jumpa pada Aizawa, kakak kelas perempuannya.

                Tidak semua siswa dalam kelas 2-E langsung mengambil posisi mereka dan merapikan cara duduk. Semua masih bersuara layaknya sekelompok simpanse dalam hutan yang didatangi oleh Harimau. Sangat ribut dan ramai sekali. Hiruta kebetulan duduk di bangku nomor 3 dari depan, dan paling kiri bila dilihat dari depan. Ada 4 berbanjar meja. Izumi dengan rasa yang tidak tertahankan lagi. Ia ingin mendatangi Hiruta dan berteriak. Namun ia menahannya lagi, ia ingin bebicara baik-baik. Layaknya teman.
                “Hiruta, kau sibuk?” Izumi mengambil langkah pelan dan berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan perdebatan dengan hiruta. Untuk kali ini saja.

                “Ahh, Izumi…” Hiruta mengangkat kepalanya yang saat itu menunduk membaca sesuatu. “Tidak, Izumi.. Apakah ada yang bisa kubantu?”
                “Tak ada. Aku ingin berbicara, yah tentunya, tidak menimbulkan emosi diantara kita. Dan membuatmu menjauh lagi dan keluar lewat pintu itu.” Izumi tersenyum mencairkan suasana.
                “Hehehe, oke. Go on…” Lanjut Hiruta.
                “Aku penasaran dengan semua yang kau lakukan di sekolah ini, kumohon, anggap ini biasa saja dan jangan berlebihan menilainya.” Hiruta mengerutkan dahi. “Aku punya beberapa pertanyaan untukmu Hiruta-san. Jawablah, bersediakah?” Izumi berhenti sesaat untuk memastikan emosi Hiruta dan menunggu jawaban Hiruta yang selama ini tak pernah ia beritahu pada siapapun.
                “Huh, manusia selalu mencari tahu apa yang bukan urusannya…” Hiruta memalingkan wajah. Dan serta merta jawaban – lebih tepatnya emosi ini – yang membuat Izumi kesal pada Hiruta. Sikap sok coolnya. “Tapi, kali ini, untuk Izumi-san, akan aku jawab.” Hiruta tersenyum hingga menyipitkan matanya.
                “Untuk Izumi-san”? Izumi tersontak dan menjauhkan segala prasangkanya. Segala sesuatu yang bisa membuat semuanya kacau. Seolah kata-kata ini membuat semua perasaan benci dan tak senangnya pada Hiruta lenyap seketika. Tapi, bukan itu maksudnya. Bukan itu.
                “Begini, kenapa setiap kali aku mengajakmu untuk makan siang di kantin, padahal aku berniat baik dengan menraktirmu. Kenapa kau selalu menghindar?! Ah, iya.. ternyata aku salah  mengajak orang. Mungkin. Seorang Hiruta dengan segudang pengagumnya…Hahaha.” Izumi terbahak-bahak tanpa alasan.
                “Juga, kenapa setelah kami selesai makan siang, dalam waktu bersamaan, kau juga kembali dari tempat persembunyianmu itu dengan wajah yang basah?!” Izumi bertanya seolah menghakimi. Seolah menginterogasi dan seolah Hiruta adalah tersangka yang harus diadili.

                Hiruta menunduk. Izumi menatap dari atas sambil berdiri dihadapan meja Hiruta, menanti jawaban, jawaban yang selama ini meruntuhkan rasa penasaran para pengagum Hiruta. Termasuk Izumi.

                “Ya Allah, apa yang harus ku katakan? Sekarang berdiri dihadapanku seorang atheis, yang tidak sama sekali mengenalMu, dengan kalimat apa aku harus menjelaskannya… bantu aku ya Rabb. Bantu aku mengenalkanMu padanya. Pada Izumi-san.” Dalam teriakkan batin, Hiruta memohon pada Tuhannya yang bernama Allah.

Rahasia itu terungkap. Hiruta adalah seorang Muslim.
                 
         “Hiruta, kenapa kau diam saja?”

Semoga manfaat. Part II-nya di tunggu ya :)
Find me, @Iman_rk


               

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top