“Sebenarnya, apa yang salah
denganku? Padahal, aku sudah mengajaknya baik-baik. Dasar, Hiruta menyebalkan!”
Izumi menggerutu.
Siang itu, di tengah kerumunan para
siswa yang mengantri dan berjalan hilir mudik ditengah sempitnya kantin SMA 3
Geishu, Kyoto, Izumi berjalan mengambil barisan dan memaksakan diri untuk ikut
bergabung dalam antrian yang cukup panjang menunggu untuk mengambil menu makan
siang yang disediakan di kantin sekolah. Izumi sebenarnya bisa untuk keluar
dalam barisan dan membeli makanan cepat saji atau beberapa snack untuk dikunyah
sekedar mengganjal perut. Namun emosi kekesalannya pada Hiruta yang menolak ajakannya membuat ia
lupa diri.
Hiruta adalah lelaki misterius bagi
seluruh siswi yang ada di dalam SMA 3 Geishu – namun tidak begitu dalam
pandangan Izumi – karena kalemnya. Ditambah, kekaguman para wanita di SMA itu
bukan hanya “behavior” yang melekat pada diri Hiruta, ia juga tampan. Ya,
tampan. Sejak kepindahan Hiruta dari Perguruan Toho menuju SMA 3 Geishu, tak
banyak yang tahu tentang asal-usulnya. Namun, kecerdasan serta pembawaan Hiruta
yang mewabah, wanita mana sih yang tak ingin sekedar tahu lelaki yang selalu
percaya diri ini?
“Hey, jangan memotong antrian!”
Izumi menggema. Ia menendang tumit anak lelaki yang mencoba jail dan sok berani
memotong antrian pengambilan makanan itu. Tak banyak bicara, lelaki tadi dengan
ekspresi cengingisan ia segera menghindar, ketika ia membalikan wajahnya
langsung bertatapan dengan sepasang mata yang seakan siap menendangnya untuk
kedua kali bila ia tak menghindar dan pastinya ia akan dipermalukan saat itu
juga.
Setelah 16 menit ia mengantri
dengan segera membawa sepiring penuh sushi, cumi digoreng setengah matang,
serta ramen. Menu yang sangat aneh untuk di konsumsi siang hari.
“Ittadakimasu minna-san!” soraknya.
Sekejap, seluruh mata memandang Izumi, namun tanpa membalas pandangan mereka,
Izumi lekas melahap cumi goring sehingga
menyisakkan sedikit minyak di bibir tipisnya.
“Boleh aku bergabung?” Kata suara
didepan meja Izumi.
Izumi mendongakkan kepalanya. Terhentak dengan suara itu.
“Ah,
Aizawa-san! Silakan… Aku tak punya teman berbincang. Wah, rasanya aku ingin
segera bercerita padamu, Aizawa-san. Tentang…” Izumi bersemangat.
“Hiruta?”
Potong Aizawa ditambah dengan alis kanan yang terangkat. Senyum tipis
mengembang disana.
“Aaahh,
iya! Uh, dasar cowok menyebalkan, gak peka, patung, Zombie.
Dan..dan..semuanyalah!” Izumi mengutuk dengan nada kesal. Tak ia hiraukan
banyak remah-remah yang muncrat keluar dari mulutnya.
“Hahaha,
jangan begitu… Tak baik mencela teman sekelas. Ku dengar, banyak anak yang
meminta contekkan padanya. Apa kau tak khawatir bila saat terdesak kau tak
diberinya jawaban?”
“Siapa
peduli?! Aku bahkan lebih cerdas dari dia kok… dalam beberapa hal sih.”
imbuhnya tersipu malu.
“Aku
perhatikan, dari kemarin kau selalu mengeluh dan merasa jengkel pada Hiruta?
Apa masalahnya?” Aizawa berusaha mengorek rahasia antara pertikaian Izumi dan
Hiruta.
Ditengah
keramaian dan keributan kantin, suara sayup-sayup siswa yang berbincang tentang
masalah PR, Pacar, tentang apa yang akan dilakukan setelah ini. Juga bunyi
dentingan tabrakan antara mangkuk dan sumpit seolah menambah irama gaduhnya
kantin SMA 3 Geishu. Teriakan Ibu Yamato karena kejahilan para siswa yang
mengambil jatah lebih banyak dari yang lain membuat para siswa yang tengah
menyesap jus dan mengunyah makanan terkekeh. Satu hal lagi yang tak terpisahkan
dari suasana kantin adalah keromantisan; senyum tertahan yang tersorot dari
mata sepasang kekasih yang berjalan beriringan ketika datang dan pergi. Yang
kadang dalam suatu kesempatan mereka tertawa bersama. Juga romantisnya mereka
saat bergandengan tangan.
“Aku
terus mengajaknya ke kantin, supaya dia juga merasakan masakan Kyoto. Dan juga
sebagai tanda terimakasihku karena beberapa hari yang lalu, ia menggeser
catatan mate-matika dan mengopernya padaku yang pada saat itu aku sangat
membutuhkan. Karena, kau tahulah, bagaimana mengerikannya Pak Ichigawa bila
tugas yang ia berikan tak kami selesaikan.” Izumi melahap potongan sushi terakhir.
“Dan, ini rahasia, yah, Aizawa-san. Sebenarnya, sama seperti yang lain. Aku
juga penasaran padanya. Dengan sikap yang ia tunjukkan pada kami semua,
seolah-olah kami ini tidak akan menjadi teman yang baik baginya. Wajar ‘kan,
aku mengomel terus?!” Keluh Izumi.
Memang
benar, Izumi bukan satu-satunya yang penasaran dengan seluruh tingkah laku yang
diperlihatkan Hiruta selama ini. Padahal, sudah 6 bulan dia kemari, ke SMA 3
Geishu, Kyoto. Jepang. Tersiar kabar, bahwa SMA 3 Geishu jarang ada yang
memiliki agama. Mengenal Tuhan pun tidak. Seluruh kehidupan dan aktivitas di
SMA 3 Geishu menjuru pada dua hal; Nilai dan Gaya Hidup. Izumi adalah salah
satu penganut kehidupan semacam ini.
“Oooh,
begitu.” Singkat Aizawa. “ah, sebentar lagi bel panggilan masuk akan berbunyi.
Segera selesaikan makananmu.” Aizawa merapikan dan membereskan gelas dan
mangkuk sekaligus melompat keluar dari tempat duduknya dan membawa mangkuk dan
gelas ke tempat yang telah disediakan khusus.
“Oke,
sebentar.” Izumi mengeksekusi suapan terakhirnya.
Semua
siswa dikendalikan oleh sebuah benda yang mengeluarkan bunyi yang keras; Bel.
Ditengah kerumunan siswa, Izumi melihat Hiruta dari kejauhan. Dengan gaya
memasukkan kedua tangan dalam kantung celana, sedikit membungkuk, Hiruta
berjalan menuju kelas. Izumi hanya memandang dan tidak berbicara apapun. Izumi
berlari kecil menuju ruang kelas dan mengucapkan sampai jumpa pada Aizawa,
kakak kelas perempuannya.
Tidak
semua siswa dalam kelas 2-E langsung mengambil posisi mereka dan merapikan cara
duduk. Semua masih bersuara layaknya sekelompok simpanse dalam hutan yang
didatangi oleh Harimau. Sangat ribut dan ramai sekali. Hiruta kebetulan duduk
di bangku nomor 3 dari depan, dan paling kiri bila dilihat dari depan. Ada 4
berbanjar meja. Izumi dengan rasa yang tidak tertahankan lagi. Ia ingin
mendatangi Hiruta dan berteriak. Namun ia menahannya lagi, ia ingin bebicara
baik-baik. Layaknya teman.
“Hiruta,
kau sibuk?” Izumi mengambil langkah pelan dan berusaha sebisa mungkin tidak
menimbulkan perdebatan dengan hiruta. Untuk kali ini saja.
“Ahh,
Izumi…” Hiruta mengangkat kepalanya yang saat itu menunduk membaca sesuatu. “Tidak, Izumi.. Apakah ada yang
bisa kubantu?”
“Tak
ada. Aku ingin berbicara, yah tentunya, tidak menimbulkan emosi diantara kita.
Dan membuatmu menjauh lagi dan keluar lewat pintu itu.” Izumi tersenyum
mencairkan suasana.
“Hehehe,
oke. Go on…” Lanjut Hiruta.
“Aku
penasaran dengan semua yang kau lakukan di sekolah ini, kumohon, anggap ini
biasa saja dan jangan berlebihan menilainya.” Hiruta mengerutkan dahi. “Aku
punya beberapa pertanyaan untukmu Hiruta-san. Jawablah, bersediakah?” Izumi
berhenti sesaat untuk memastikan emosi Hiruta dan menunggu jawaban Hiruta yang
selama ini tak pernah ia beritahu pada siapapun.
“Huh,
manusia selalu mencari tahu apa yang bukan urusannya…” Hiruta memalingkan
wajah. Dan serta merta jawaban – lebih tepatnya emosi ini – yang membuat Izumi
kesal pada Hiruta. Sikap sok coolnya. “Tapi, kali ini, untuk Izumi-san, akan
aku jawab.” Hiruta tersenyum hingga menyipitkan matanya.
“Untuk Izumi-san”? Izumi tersontak dan
menjauhkan segala prasangkanya. Segala sesuatu yang bisa membuat semuanya
kacau. Seolah kata-kata ini membuat semua perasaan benci dan tak senangnya pada
Hiruta lenyap seketika. Tapi, bukan itu maksudnya. Bukan itu.
“Begini,
kenapa setiap kali aku mengajakmu untuk makan siang di kantin, padahal aku
berniat baik dengan menraktirmu. Kenapa kau selalu menghindar?! Ah, iya..
ternyata aku salah mengajak orang.
Mungkin. Seorang Hiruta dengan segudang pengagumnya…Hahaha.” Izumi
terbahak-bahak tanpa alasan.
“Juga,
kenapa setelah kami selesai makan siang, dalam waktu bersamaan, kau juga
kembali dari tempat persembunyianmu itu dengan wajah yang basah?!” Izumi
bertanya seolah menghakimi. Seolah menginterogasi dan seolah Hiruta adalah
tersangka yang harus diadili.
Hiruta
menunduk. Izumi menatap dari atas sambil berdiri dihadapan meja Hiruta, menanti
jawaban, jawaban yang selama ini meruntuhkan rasa penasaran para pengagum
Hiruta. Termasuk Izumi.
“Ya Allah, apa yang harus ku katakan?
Sekarang berdiri dihadapanku seorang atheis, yang tidak sama sekali mengenalMu,
dengan kalimat apa aku harus menjelaskannya… bantu aku ya Rabb. Bantu aku
mengenalkanMu padanya. Pada Izumi-san.” Dalam teriakkan batin, Hiruta
memohon pada Tuhannya yang bernama Allah.
Rahasia itu terungkap. Hiruta
adalah seorang Muslim.
“Hiruta,
kenapa kau diam saja?”
Semoga manfaat. Part II-nya di tunggu ya :)
Find me, @Iman_rk
Find me, @Iman_rk
0 comments:
Post a Comment