“Assalamualaykum, tadaima – aku pulang.” Seru Hiruta.
“Okaerinasai – Selamat datang.” Ibu
menyahut pelan dalam rumah seraya menyiapkan menu untuk makan malam.
Hiruta melepas
sepatunya, lalu menggantinya dengan sandal khusus dalam rumah.
Inari sedang
membaca artikel yang ia buka dengan laptop yang terhubung dengan jaringan
internet disebelah kanan meja makan, ia duduk beralaskan karpet coklat yang
memiliki bulu yang cukup tebal, sambil menyalakan televisi sekaligus
dihadapannya. Mencari segala informasi yang barangkali bisa ia disuksikan
dengan Hiruta sebelum tidur, seputar fashion juga satu hal yang tak pernah bisa
ia lewati, informasi seputar Dunia Islam diseluruh dunia.
“Okaa-san, apa
masakan untuk malam ini?” Hiruta berjalan mendekati meja makan dan melihat satu
persatu makanan yang telah diletakkan dengan indah dan rapi. Lalu Hiruta melihat
ada satu masakan baru yang memenuhi piring. Beberapa potong daging yang di
potong melintang sehingga tecipta bentuk kubus. Kemudian potongan daging itu
ditusuk dengan menggunakan bambu yang sudah di bersihkan sebelumnya. Di atasnya
dilumuri bumbu kacang-manis yang sudah mengental, “Okaa-san, apa ini?” Hiruta
menatap daging itu lalu menatap Ibunya.
“Sate?”
“Iya, itu
masakan dari Indonesia. Saudara kita.” Jawabnya sambil tersenyum.
Ibu Hiruta
memiliki nama yang sangat singkat, Minori. Yang artinya adalah Kebenaran. Nama
ini diberikan oleh Ayahnya yang pada saat itu adalah Muslim. Orangtuanya telah
lama meninggal, bukan karena musibah atau tragedi melainkan meninggal dengan
cara biasa, layaknya orang-orang pada umumnya. Menikah, beranjak tua lalu
meninggal. Minori lahir di sebuah distrik di Sapporo, Hokkaido.
Pulau Hokkaido
adalah pulau terbesar kedua di Jepang. Selat
Tsugaru memisahkan Pulau Hokkaido dari Pulau Honshu.
Pulau Hokkaido dan Pulau Honshu dihubungkan oleh terowongan bawah laut Seikan.
Suku bangsa asli di Hokkaido adalah suku
Ainu.
Banyak nama daerah yang memakai bahasa
Ainu,
seperti Sapporo.
Namun, Minori
sudah tidak semanis dan secantik dulu. Tubuhnya sekarang sudah memiliki banyak
lemak disana-sini. Lehernya yang mulai terlihat banyak lipatan-lipatan dan
pipinya sudah terlihat menggelambir. Lengannya yang besar yang selalu ia
gunakan ketika memindahkan pot bunga, mengangkat ember, dan membersihkan lantai
dengan vacuum cleaner juga tidak sekuat
dulu. Kadang, sesekali ia merasa nyeri bila bekerja terlalu lama. Merintih dan
memanggil Hiruta saat malam mulai menjelang untuk memijatnya, Hiruta mengangguk
dan mengiyakan.
Selama masa Jepang kuno, tepatnya sebelum abad ke-9, makanan
Jepang terdiri dari daging sapi, ikan, ayam, beserta sayuran dan nasi, bahkan
daging kuda dan monyet turut dimakan oleh rakyat Jepang. Dengan berjalannya
waktu, masakan diubah untuk mencerminkan filosofi Buddhis yang datang menguasai
Jepang.
Pada akhir abad ke-12, makanan di Jepang punya dua ragam.
Kaum bangsawan akan makan makanan mewah sedangkan petani dan samurai menyantap
makanan sederhana, tapi sangat khas dengan aroma yang hangat. Hari ini, makanan
Jepang terdiri dari makanan pokok, seperti beras dan mi yang merupakan bagian
dari hidangan tradisional. Ikan, daging, sayuran dan tahu juga digunakan.
“Sepertinya akan
sangat lezat.” Hiruta berkata datar, lalu menutup kembali makanan. Kemudian
berlari menuju lantai dua, kamarnya. “Kak, bila sudah tiba waktunya makan,
tolong panggilkan aku, ya. Aku harus mengerjakan sesuatu dalam kamarku.”
“Ya.” jawab Inari pelan.
Tunggu part 18 nya yaa ^^
Di paragraf 4, bagian inari mainin laptop. Kata 'disuksikan' mungkin maksudnya 'didiskusikan' #IMHO
ReplyDelete