Tuesday, November 11, 2014

Akatsuki = Eks-school (?!)


Bukan pertama kali saya mendengar pertanyaan atau pernyataan yang mengatakan bahwa apakah Akatsuki itu termasuk unit kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Dengan pertanyaan khas anak SMP/SMA, saya ditanya begini, “Kak, Akatsuki itu Eks-School bukan, sih?” dan saya selalu menyunggingkan senyum saat mendengarnya.

Untuk menjawab peratanyaan ini perlu saya sampaikan terlebih dahulu sejarah (untuk lebih jelasnya, menyelam saja di blognya yang saya post dibawah kolom komentar nanti) saat Akatsuki berdiri. Dalam beberapa kesempatan saya bercerita pada adik-adik kelas, guru-guru, salah seorang elit pemerintahan, orangtua siswa dan banyak pihak yang bertanya mengenai latar belakang Akatsuki yang misterius dan sudah berhasil mengambil hati anak-anak mereka. Saya katakan, “Akatsuki adalah kumpulan remaja berprestasi dalam bidangnya masing-masing dan  kami rekrut untuk bergabung. Dan semuanya adalah siswa yang insyaAllah punya potensi untuk memajukan NTB dan Indonesia ke depannya.” Dengan wajah mengkerut dan dengan wajah menyenangkan mereka yang mendengarkan penjelasan saya ini mengangguk-angguk paham.
 
Sebagai organisasi berkembang, dulu, ketika saya mendirikannya saya memang belum paham akan ilmu keorganisasian dan tata nilainya. Serta budaya korporat yang harus saya ciptakan. Jawabannya sederhana saja, karena usia saya pada waktu itu baru 13 tahun. Kelas 3 SMP. Namun seiring berjalannya waktu serta banyaknya saya bertemu dengan orang-orang yang berpengalaman, buku yang saya baca, serta impian yang saya yakini, Akatsuki menjadi lebih terang dan lebih bersuara dibanding saat pertama kali saya mendirikannya. Kalau waktu itu, Akatsuki hanya dikenal sebagai kelompok belajar yang beranggotakan 8 siswa SMP yang satu siswanya menguasai minimal satu pelajaran. Dan sekarang sudah melebarkan tentakelnya menjadi 95 Siswa.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah pengertian dari Eks-School itu sendiri? Sebab bila kita bertanya mengenai sejarah dan apa yang Akatsuki lakukan dan apa yang akan Akatsuki capai saya rasa sudah memenuhi kriteria sebagai Eks-School. Pengertian sederhana dari eks-School adalah, sebuah lembaga yang aktif dalam ruang lingkup persekolahan dan memberikan kontribusi positif agar siswa mampu mengembangkan diri baik dalam bidang psiko-motorik (sosial), kognitif (kecerdasan), dan afektif (empati). Begitulah bahasa sederhana dari pengertian Eks-School yang saya ketahui.

Dan sebagai siswa yang sehat akal dan pikiran, dimana pun ia bersekolah akan mengangguk mengiyakan ketika ia dijelaskan pengertian eks-School adalah untuk mengembangkan kemampuan sosialnya agar ia tidak kaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bergaul (Psiko-motorik), kemudian agar mengasah kemampuan Leadership dalam dirinya (kognitif), serta ketika ia berada dalam lingkungan yang baru, ia lebih mampu merasakan apa yang orang lain rasakan dengan kata lain berempati terhadap orang lain (afektif).

Terlepas dari anggapan para siswa atau siapapun yang bermental kalah dan (maaf) pecundang yang tak bisa menghargai karya orang lain selain menghina dan menuduh Akatsuki sebagai organisasi pemberontak, teroris, atau apapun, kami dan saya sendiri sebagai pendirinya menutup telinga atas apapun yang mereka katakan. Sebab satu hal yang saya yakini adalah, ketika oranglain berbicara tentangmu dibelakangmu, itu berarti kau sudah terlampau jauh meninggalkan mereka. Dengan kata lain, yang dibicarakan sudah lebih dulu sampai digaris finish dibanding mereka yang membicarakan yang mungkin kelelahan dan tak mampu bersaing lagi. Hanya bisa membicarakan oranglain yang lebih dulu berhasil.

Nah, kesimpulannya adalah,  Akatsuki sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria itu. Maka bila masih ada yang bertanya apakah Akatsuki itu eks-School atau bukan? Saya dengan santai menjawab: Iya, Eks-School :)
 



Founding Father of Akatsuki Organization: @Iman_rk :D

Wednesday, November 5, 2014

Tentang Penyesalan



 
 Aku mengenal banyak manusia dengan masa-lalu mereka masing-masing. Bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka bertindak dan bagaimana mereka memandang dan menilai sesuatu. Ku yakini satu hal; itu semua adalah hasil pilihan mereka di masa-lalu.


Entah sudah setebal apa Malaikat bersayap cahaya itu menenteng buku catatan amal perbuatan mereka – juga amalku sendiri. Namun tentu saja, didalam hidup ini ada bercak-bercak dosa yang tak mungkin kami hindari. Tidak ada satupun keturunan Adam di Bumi yang tidak melekat padanya percikan dosa. Kecuali dia yang terakhir diutus.


Dalam topic pembicaraan yang paling tidak aku sukai adalah saat mereka menyinggung soal masa-lalunya sendiri, dan mereka yang sok suci itu menyinggung masa-laluku juga. Aku muak dengan mereka. Muak dengan penuturan mereka yang seolah mereka juga tak pernah punya salah. Apapula maksudnya menyalahkan ini dan itu hanya karena mereka tidak pernah melakukannya? Sepertinya, mereka itu berhati batu sampai-sampai tidak peduli dengan apa yang oranglain rasakan.


Segala sesuatu pasti punya jalan untuk kembali.


Zindegi Migzara – kata orang Afghanistan. Hidup akan tetap terus berjalan. Kita hanya menunggu waktu apakah masih diberi kesempatan oleh Dia yang menciptakan kita untuk kembali memandikan diri dengan permohonan maaf. Kita tak pantas menilai oranglain dalam sekejap hanya karena masa-lalunya yang tidak sesuai dengan masa-lalu kita. Sungguh naïf.


Dan setiap kita, punya cara tersendiri bagaimana proses berjalan menuju Allah. Tunggu saja waktunya. Dengan mengingatkan, dengan menasihati, dengan memberi, dengan memahami, dengan mengerti, dengan simpati, dengan menerima, dan dengan cinta. Apa sudah kita lakukan itu untuk mereka yang ingin kembali dan, kalian tahu kenapa aku sangat membenci topic pembicaraan mengenai masa-lalu? 


Itu karena aku memahami segala sesuatu tentang penyesalan.


                @Iman_rk | _imanion_

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top