Usiaku saat itu adalah 4 tahun. Aku tak memiliki teman juga saudara,
lebih tepatnya, aku anak tunggal. Meski begitu, aku tak sendiri, aku
memiliki puluhan robot dan ada 2 Zord (Robot Besar) yang aku anggap
sebagai saudaraku. Dan puluhan robot tadi aku anggap teman. Ini bukan
romantika kisah yang perlu kalian prihatinkan. Aku tak sedih dengan
keadaanku ini, dan kabar baiknya, ibuku begitu tegas sehingga usia 4
tahun aku sudah dapat membaca buku dan menghafal pancasila.
Aku mengungguli teman se-usiaku.
Kadang setiap siang hari, kawan-kawanku itu sering mendatangi rumah lalu memanggil namaku dengan keras.
“Imaaaannn, Imaann!!” Katanya.
“main
yyuk, sekarang aku udah punya kelereng banyak. Kalo kali ini kamu mau
ikutan main, nanti aku kasih sebagian punyaku.” Teriak sahabatku yang
satunya lagi.
Lalu, Ibuku, membuka pintu dan berkata, “Iman sedang
tidur siang nak, mainnya nanti saja ya.” Kemudian ibu menutup lagi
pintunya.
Terus terang, saat itu ingin
rasanya aku melompat dari kasur itu dan menghampiri mereka lalu tertawa
dan membuat keributan serta hal lain lagi yang dengan itu dapat membuat
kami bahagia. Namun, ibu telah menjagaku sedemikian rupa hingga tiap
siang aku hanya berada dalam kamar dan bermain dengan robot-robotan
plastik itu. Kadang aku berbicara sendiri, se-akan-akan aku dalah dubber
dari robot itu.
Apakah kalian pernah menonton Film Toy
Story 1,2 dan 3 ? Nah, mungkin bisa dibilang, aku ini adalah Andy bagi
Woody, Buzz dan kawan-kawannya.
Lalu
seiring berjalannya waktu, ternyata aku merasa kesepian. Sangat
kesepian. Walau aku bisa menjadi banyak karakter dengan menciptakan
tokoh dan memainkan perannya melalui robot-robot tadi, aku tetap ingin
bermain dengan manusia. Dengan teman-teman seusiaku !
Ada temanku yang bercerita dan memberitahu padaku bahwa dunia bermain
itu dunia yang keras, penuh dengan kompetisi dan hati-hati nanti kamu
juga bisa nangis! Tapi, aku berkata “Ah, tidak apa-apa, aku senang
bersaing, aku juga senang berkompetisi tapi aku tidak akan menangis! Kau
tahu, robotku pernah bilang, bahwa menangis hanya akan merepotkan orang
lain… hehehe”
“Hmmm… kamu punya robot yang bisa bicara ya?! Wah,
hebat ! Main ke rumahmu ayuk!” temanku sangat kaget bercampur senang
mendengarnya. Dengan segera dia bangkit dari tempat duduk kami.
“Heheh, sebenarnya aku yang ngomong, robotnya aku mainin!” Seringaiku lebar saat itu. Saking bahagianya.
“Huaahhhhh..
gak asik. Eh, man, nanti bisa keluar rumah gak ? aku punya kelereng
biliar, besarnya kayak bola biliar! Nanti kita adu sampai pecah ya?!”
Mata temanku ini terbuka saat menjelaskannya. Hehe, dia sangat ekspresif
untuk anak se usianya.
“Nggmmm…. “ Aku tertunduk terdiam.
“Kenapa, kamu harus tidur siang lagi ya, man ?”
“Anu… bukan, aku…”
“Kenapa, ga suka main kelereng ya? Wah, asik man, makanya ayo coba soalnya nati juga akan ku ajak semu…”
“Aku dilarang ibu main” Aku memotong pembicaraannya.
Saat
itu aku merasa bersalah dalam dua hal. Pertama, aku menolak
permintaannya, kedua aku memberitahunya bahwa Ibu melarangku bermain.
Aku tak ingin dia berpikir bahwa ibuku kejam karena telah mengurungku.
“Ibumu larang kamu main ya, wah… ga asik. Kalo di larang gitu, aku lebih baik nangis lho man.” Temanku bergumam.
“Sayangnya, aku dilarang nangis, beliau tidak suka melihatku menangis.”
“Ah,
sudah ah.. pulang dulu ya, aku mau makan dulu. Lapar.” Aku bersuara
dengan cepat agar temanku tidak memotong dan melanjutkan pembicaraan
ini.
“Hei man, mainnya jadi ya?” Temanku teriak memanggilku dari belakang.
Aku
tak menjawabnya. Aku terus berjalan menjauhinya, berharap ia tak
melihat satu-satunya kelemahanku. Aku berdoa semoga selamanya ia tak
melihat… saat itu aku sambil berjalan sambil mengusap mataku.
Aku menangis.
Bagiku,
4 tahun adalah masa-masa yang tak bisa aku bedakan mana kebebasan dan
penjara. Menginjak usia ke lima, ibu membelikanku Nintendo. Nintendo
yang saat itu lumayan populer, dan sedikit dari teman-temanku yang
memilikinya. Lengkap sudah kehidupanku. Tapi jauh dalam hatiku, aku
ingin bermain dengan mereka. Dengan teman-temanku !
Dan suatu hari, aku bertemu dengan salah seorang dari mereka….
“Wah,
keren man, kamu udah punya Nintendo ya? Enak ya jadi kamu, semua pasti
di beliin!” dia berdecak. Seakan kagum melihat semua perilaku
orangtuaku.
Aku menyeringai. Hanya itu.
“Man, kapan-kapan ajak kita ke rumah dong… kita main sampe malam! Yee… kita ga usah belajar yah? Hehe” teriaknya.
“Kalau
mau, sekarang aja ya. Ayok ke rumah, kita main lama-lama. Nanti aku
kasi tau ibu supaya membelikan koko krunch buat kita.” Sahutku dengan
gembira.
“Main Mario Bros ya, man?!”
“Oke!!” Teriakku.
Betul saat itu kami bermain hingga sore hari, tak sampai malam karena
ibu-ibu mereka mencarinya. Yah, dengan wajah khas seorang ibu. Khawatir
luar biasa ketika mencari. Lalu saat itu, ibuku keluar dan
berbincang-bincang dengan ibu mereka, ibu teman-temanku. Mereka
membicarakan sesuatu dengan raut wajah yang serius. Aku tak mengerti.
Lagipula, apa yang bisa ku mengerti dari pembicaraan orang dewasa ? aku
lanjut bermain.
Lalu….
*Bersambung ke part II, makasih udah baca :) Semoga manfaat.
Find me on twitter, @Iman_rk
Friday, January 3, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment