“Ah, iya maaf.” Hiruta tersentak dari lamunannya. Tepatnya,
Hiruta terdiam karena memilih kata yang tepat untuk dikeluarkan.
“Kenapa?”
Izumi semakin penasaran.
Membahas
Agama di jepang adalah sesuatu yang janggal, bahkan tabu. Hiruta yang memang
terlahir dan tumbuh dalam keluarga Muslim membuatnya harus memilih jalan berbeda
dengan teman-teman sebayanya. “Ya Allah, aku tak bisa berpura-pura lagi. Harus kuberitahu
pada Izumi-san.” Batin Hiruta.
“Barangkali,
apapun yang ku katakan padamu, juga pada kalian semua…” Hiruta melihat
sekeliling. “hanya akan membuat kekacauan dan keanehan. Biarlah, aku memilih
jalan hidupku sendiri, berbeda dengan kalian. Aku adalah seorang Muslim, Izumi.”
Hening sejenak.
“Apa alasanku menolak ajakanmu,
atau kenapa aku terus menghindar saat makan siang ? Ya, aku harus bertemu
Tuhan. Wajahku yang selalu basah dan lembab setiap aku kembali dari sana adalah
bekas wudhu, kadang, air mata yang aku hilangkan dengan mencuci muka… ah iya,
kau penasaran dengan ini ?” Hiruta mengangkat sesuatu yang ia baca setiap siang, sesaat setelah kembali dari
ruangan khusus yang hanya Hiruta yang mengetahuinya. “Ini adalah Alqur’an,
Izumi-san.” Hiruta tersenyum. Senyum yang sangat berbeda dari sebelumnya, lebih
tenang dan lebih tampan.
“Muslim? Alquran? Tuhan?!” Muka
Izumi terlihat lain, seperti ada yang ingin ia bantah namun disaat yang sama ia
menunjukkan mimik wajah yang seakan berbicara pada Hiruta, “ayo jelaskan lebih
jauh lagi.”
“Hum! Ah, iya.. Pak Ichigawa sudah
datang.” Hiruta menyambar Alquran yang ia letakkan diatas meja lalu ia sisipkan
dalam ruang khusus dalam ransel birunya.
“Kita bicarakan nanti, arigatou,
Hiruta-san!” Izumi kembali di tempat duduknya semula, yang sudah ia duduki
sejak 6 bulan terakhir.
Kegiatan beajar mengajar
berlangsung seperti biasa. Siswa yang aktif mendapat nilai lebih dari Pak
Ichigawa. Sudah bisa ditebak siapa siswa yang aktif itu, Hiruta, siswa pindahan
dari Perguruan Toho.
*****
KRIIIINGGG~
Bel tanda pulang mengaum. Siswa yang
merapikan tas, memasukkan Laptop, memungut pulpen yang jatuh berlangsung dengan
riuh ricuh. Saat ini, jepang memiliki fakta cuaca yang tak terbantahkan bila Natsu (musim panas) menyapa, baju
seragam yang dibanjiri keringat karena hawa di udara kadang menyebabkan
punggung kain baju menyatu dengan punggung karena lengket. Terdengar normal. Namun,
yang menjadikannya luar biasa adalah panen strawberry. Strawberry tumbuh dan
ditanam secara sengaja di belakang sekolah dengan Rumah Kaca, daripada memiliih
pulang anak-anak dalam SMA 3 Geishu biasa mampir disana untuk kemudian memanen
strawberry yang merah darah itu kemudian langsung dijadikan Jus. Disana, ada
Ibu Yumi Hiruko sebagai penjaganya. Dia sudah mengurus rumah kaca ini sudah
hampir 19 tahun. Maka tiap anak yang datang sudah pasti dikenalnya, kecuali
yang memang langsung memilih pulang dan merasa memiliki strawberry sendiri di
rumah.
Wanita-wanita dalam kelas 2-E sedang
merencanakan sesuatu, katanya, setelah ini mereka akan menghadang Hiruta di
depan gerbang dan meminta Hiruta untuk mengekspresikan sisi lain dirinya; Foto.
Mereka hendak mengajak Hiruta untuk berfoto bersama. Dan kabar itu sampai pada
telinga Izumi.
“Kalian serius mau mengambil gambar
dengan anak itu?” bantah Izumi.
“Kenapa memangnya? Kalau tak mau
ikut ya sudah. Izumi-san memang tidak pernah akur dengan Hiruta.” Yahiko
menengahkan.
“Hiruta anak yang baik lho…” Nidaa
menambah sambil merapikan rambutnya depan cermin. Anak yang sangat tergila-gila
dengan Fashion. Hampir semua wanita dalam sekolah sudah tenggelam dalam dunia
kelabu fashion.
“Bukan, maksudku…” Izumi terdiam
seketika. Memikirkan tentang Hiruta yang sudah menjelaskan alasan kenapa dia
menghindar dan mengingat kembali apa yang sudah Hiruta katakan… “hanya akan membuat kekacauan dan keanehan. Biarlah,
aku memilih jalan hidupku sendiri, berbeda dengan kalian. Aku adalah seorang
Muslim, Izumi.”
“Ada apa? Apa Izumi-san cemburu?
Iyaa?!” Ejek Fuyutsuki. Semua serentak saling memandang dan tertawa cekikikan.
“Hahaha, jangan konyol! Tahu
sendiri ‘kan hubunganku dengan Hiruta seperti apa..” sambar Izumi.
“Heii. Hiruta sudah sampai didepan,
ayo kejar nanti gak akan sempat!” teriak Yahiko dari samping ruangan dan
melihat Hiruta dari jendela. “Siapkan kameranya, Nidaa!”
Semua yang ada dalam kelas berlarian
keluar meninggalkan Izumi sendirian sebelum Hiruta sampai di tempat parkir kemudian
meninggalkan mereka dan sekolah.
“Hiruta..!” Nidaa, Yahiko, Urumi
dan Fuyutsuki memanggil serentak dan menampakkan rasa kekaguman sekaligus gemas
melihat Hiruta yang berjalan perlahan. Hiruta tak menjawab, hanya tersenyum dan
membalikkan badan. Semua berlarian dan mendatangi Hiruta seperti berjumpa
dengan artis Idola.
“Emm… Hiruta-san, kami ingin
mengambil beberapa foto denganmu. Untuk dijadikan kenang-kenangan. Hihihi.”
Yahiko memulai pembicaraan. “Nggak keberatan ‘kan?”
“Ah, iya…” sahut Hiruta. “Tapi,
bisa memilih tempat yang lebih teduh? Hehehe,”
Saat mereka berlima berjalan menuju
samping gedung yang kebetulan menghadang sinar matahari yang sangat menyengat,
Izumi lewat tanpa memandang. Hiruta melirik sekilas hampir-hampir saja menegur
dan berkata, “Izumi nggak gabung?” tapi raut wajah Izumi sepertinya tidak siap
untuk disapa, apalagi di ajak bicara.
“Sebelah sini saja Hiruta,” kata
Nidaa yang memegang kamera sekaligus mengarahkan posisi pengambilan gambar yang
bagus dengan berlatarkan dinding abu-abu keperakan sekolah.
“Ng, anu… nanti jangan memegang dan
menyentuh ya.” Hiruta menyarankan dan menampakkan senyumnya. Hiruta tahu, ini
pasti tidak mengenakkan dan membuat suasana menjadi kacau, tapi apa boleh buat?
Hiruta punya tanggung jawab untuk menjalankan perintah agamanya.
“Haaah, masa’ nggak boleh sih
Hiruta-san..?! Wah, gak seru nih jadinya. Gambarnya jadi jelek lhoo.” Keluh Urumi, “Iya, nggak asik.” Tambah Fuyutsuki.
“Hehehe, maaf minna-san, maaf
banget ya.. Semoga nggak keberatan.” berat hati Hiruta mengungkapkan.
“Ya sudahlah, daripada nggak sama sekali.”
Imbuh Nidaa, “Oke, say cheeeeseee.”
“CHEEESEEE!!” Serentak.
“Hahaha, keren.. lagi-lagi!”
Fuyutsuki berkata. “gayanya bebas ya?!” Nidaa melanjutkan.
Dengan wajah yang dibentuk dan
bibir yang dimonyongkan, mereka berempat bergaya depan sang kilat. Hiruta masih
saja dengan ekspresi yang sama. Mendekap dada, menyilangkan dan mnggantung
tangannya disana, serta sedikit gigi atas yang dipamerkan dalam pancaran
senyum.
Sesekali, Hiruta memandang Izumi
dari jauh, yang saat itu belum meninggalkan sekolah dan masih bersandar di gerbang
depan menunggu jemputan ayahnya. Ada perasaan yang tak biasa, saat itu Hiruta
merasa ada sesuatu yang lain. Yang berbeda. Hiruta teringat dengan penjelasan
singkatnya pada Izumi tentang statusnya yang menyandang gelar Muslim.
Disana, Izumi terdiam. Berdiri terpaku
menanti, enggan untuk membalikkan badan karena hanya akan melihat pemandangan yang tak terlupakan.
Pipinya basah, dua aliran air meleleh dari atas sudut matanya dalam waktu yang
bersamaan. Izumi menangis. Kenapa izumi-san?!
Ya, Fuyutsuki benar. Izumi cemburu.
Semoga manfaat.
Find me, @Iman_rk
Find me, @Iman_rk
0 comments:
Post a Comment