Monday, April 7, 2014

Izumi #4

4/07/2014 09:56:00 AM



Hanya terdengar bunyi jangkrik dan sunyi senyap udara malam juga gemerisik daun yang bergesekan dengan atap lantai atas kamar Hiruta. Sudah kesekian kalinya Hiruta bangkit kemudian tidur kembali, mengulang gerakan yang sama. Sedikit gelisah. Saat membaringkan badan di atas kasur, Hiruta hanya menatap langit-langit yang bercat putih, ia memiringkan badan kesebelah kanan, kemudian sebelah kiri. Lalu mungkin untuk terakhir kalinya, Hiruta bangkit darisana kemudian berjalan menuju meja tempat ia biasa menyalin, mengerjakan tugas dan membaca buku. Ia menarik kursi lalu duduk bertopang dagu, ia menggerakan bola matanya ke kiri dan ke kanan dan akhirnya melihat sebuah buku tebal dalam tumpukkan yang paling bawah dan di tindih dengan berbagai buku kecil lainnya. Merasa tertarik, ia memindahkan tumpukkan buku yang lain diatasnya dan menggesernya lalu menarik keluar buku yang paling tebal itu.

Buku yang selalu menjadi sahabatnya, teman diskusi dan penyejuk matanya. Karena selain kak Inari, tidak ada lagi yang mampu membuatnya bergumam dan berbicara mengenai Islam. Dikelas sama saja, ia hanya bisa “membicarakan” Islam lewat tindakkan saja, walau berbicara yang lain takkan mengerti. Yah, selain Izumi, tak ada lagi yang bertanya dan menyinggung Islam padanya.

“Shalahuddin Al-Ayyubi…” Hiruta tersenyum dan berbisik kecil seraya mengusap sampul dan kulit buku yang bermodel Hard Cover itu.

Buku yang menemani Hiruta sebelum tidur, sebagai Bad Time Story-nya. Lebih dari 400 halaman tebalnya namun Hiruta sudah menyelesaikan sebagian isinya hanya dalam waktu enam hari. Hiruta mendesah dan membuka halaman yang ia tandai setelah selesai membecanya dua hari yang lalu.

Hiruta membaca, menanti serangan kantuk.

***

“Fuyutsuki, sudah selesai ?” Izumi mendatangi Fuyutsuki yangs sedang bereksperimen malam di dapur Izumi. Mereka sedang menggoreng tempura dan berbagai masakan lainnya. “Wahh, enaknyaaa ~” Tangan Izumi melayang ke salah satu piring yang dijadikan Fuyutsuki untuk wadah tempura.
“Hei!” Secepat kilat Fuyutsuki menarik piring tersebut. “Nanti Izumi… Nanti. Kalau Izumi makan duluan, nanti tempuranya habis sebelum kita begadang! Huhh.” Pipi Fuyutsuki mengembung, tanda kesal.
“Hehehe, gomenasai – maaf.” Izumi menyengir lebar. “Hei, Fuyutsuki, Yahiko dimana? Aku tak melihatnya dikamar.” Tanya Izumi, sambil menunujukkan kekaguman atas masakan dan keahlian Fuyutsuki saat didapur. Tak pernah ia sangka, Fuyutsuki punya kemampuan sehebat ini.
“Errr… Tadi aku melihatnya naik kelantai dua. Katanya menikmati angin.” Fuyutsuki memasukkan bumbu. “Dasar, padahal disini lebih hangat.” Fuyutsuki melanjutkan.
“Aku akan keatas.” Izumi membalikkan badan dan menuju lantai dua. “Fuyutsuki kalau ingin mengambil kecap dan saus ada di meja makan.”
“Ehhhh?? Heiii!”

Rambut Izumi terurai panjang tanpa diikat. Dengan baju kensi alias tank top dan celana pendek. Baju rumah anak remaja. Izumi menaiki tangga dan melihat punggung Yahiko ketika sampai di ujung paling atas. Yahiko berdiri sedikit membungkuk dan menempelkan sikunya pada dua tiang yang horizontal, berfungsi sebagai pagar pembatas sekaligus pelindung.

Lantai 2 kamar Izumi lumayan lebih tinggi dari rumah-rumah disampingnya, bila berdiri dari sini, maka akan terhampar pemandangan atap-atap rumah dan bunga sakura yang mulai bermekaran membuat tanah jepang berubah ungu akibat campuran langit malam yang remang-remang. Yahiko berdiri disana, diam, dan kadang mengganti kaki kanan dengan kaki kiri untuk dijadikan sebagai tumpuan berdiri.

“Yahiko…” Izumi menegur pelan.
“Ah, Izumi…” Yahiko menyahut, membalikkan badan dan tersenyum. Lalu kembali menatap kedepan lagi.
“Kenapa berdiri disini? Ayo, Fuyutsuki hampir selesai.
“Hanya menikmati pemandangan.” Yahiko tersenyum tanpa menoleh. Dia memejamkan mata. Membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. “Fuyutsuki menyiapkan apa?”
“Tempura ikan Wasagi.” Izumi melangkah mendekati Yahiko. Berdiri disampingnya untuk sama-sama menikmati hembusan angin.

Langit malam musim semi benar-benar berbeda. Membawa banyak kenangan bagi mereka yang merindukan ketenangan hidup dan hati. Untuk anak seusia Izumi dan kawan-kawan, mereka hampir memiliki segalanya di Jepang. Kemewahan hidup, kesejahteraan, kesetaraan, dan berbagai kesempatan untuk menikmati dunia terbuka lebar bagi mereka. Namun ketiadaan dan kekeringan spiritual yang dirasakan mereka tak bisa disembunyikan. Terbukti dengan kegelisahan mereka yang kadang hadir tanpa sebab, dan gejala itu menyebar seperti epidemi di seluruh Jepang.

“Yahiko, kenapa berdiri disini?” Izumi bertanya lagi.
“Bukankah telah kujawab, Izumi-san? Hanya menikmati angin malam.”
“Hanya itu? Aku tak yakin.” Izumi memaksa.

Yahiko mendesah pelan. Bingung apa yang harus diucapkan dan menjawab, Yahiko sudah mulai membuka mulut untuk menjawab, tertutup kembali.

“Aku tak begitu mengerti Izumi, akhir-akhir ini… aku…” Yahiko terdiam dan tertunduk pelan.
“Lanjutkan..” Izumi melirik.
“Aku memikirkan Hiruta.” Katanya. “Hanya akhir-akhir ini kok.” Yahiko menyeringai hampir tertawa lebar menatap wajah Izumi yang terdiam dan menggigit bibir. “Izumi-san, seandainya Hiruta bisa sedikit terbuka ya?” Ucap Yahiko tenang. Menopang dagu sambil tersenyum-senyum khayal.
“Iya seandainya.” Izumi menjawab seadanya dengan air muka yang berbeda.
“Aku heran, kenapa dirimu  sangat tak senang dengan laki-laki seperti itu. Aku bertaruh…” kata Yahiko tegas dan mengarahkan badannya pada Izumi disampingnya. “laki-laki seperti itu tidak kita temukan disekolah manapun. Bahkan se Jepang sekalipun, Izumi-san!”
“Lalu?” Ucap Izumi ketus. “Aku tak tertarik dengan cowok pendiam. Alasannya jelas, sangat berbeda dengan sikapku. Dan satu hal lagi  Yahiko-san, bukan hanya kau yang menginginkan laki-laki berprestasi se Tokyo.” Izumi menjelaskan seadanya.
“Ah, aku tak peduli. Setidaknya, kesempatan bersama Hiruta lebih banyak karena beruntung satu kelas dengannya!” Imbuh Yahiko. “Kau juga sudah lihat ‘kan,  1 tahun lalu kami mengambil gambar berdua. Hanya berdua Izumi-san!” Kata Yahiko bersemangat sambil mengangkat dua jari, telunjuk dan jari tengahnya. Untuk menunjukkan angka dua.
“Haahaha, dasar Yahiko. Tapi benar juga sih, akhir-akhir ini kelas kita menjadi terkenal, bahkan sekolah kita terkenal setelah Hiruta memenangi banyak kompetisi ilmiah. Sudah seperti artis saja si Hiruta bodoh itu!”  Kata Izumi.
“Nah, makanya, gak apa-apa ‘kan sebagai wanita aku memikirkannya sesekali.” Izumi tertawa lagi seperti biasanya.
“Terserahlah.” Izumi mendesah pelan.

Memang sudah bukan rahasia umum bahwa Yahiko dan banyak anak-anak perempuan mengagumi Hiruta. Namun kondisi yang sekarang akan sedikit berbeda bila Yahiko menyadari keadaan bahwa ia sedang berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada seseorang yang harusnya ia tahu dasar hatinya. Yahiko tak menyadari dan tak membuka mata bahwa, anak wanita yang selalu menghindar dan membenci anak lelaki yang keren tanpa alasan adalah cara menunjukkan perasaannya dengan cara yang lain. Cara yang berbeda. Kenyataan bahwa ia juga menyukainya, sangat menyukainya. Namun telah ia pendam karena tak ingin sesuatu yang berharga dan lebih penting dalam dirinya menjauh. Yahiko dan Fuyutsuki.

 Izumi memejamkan mata berpikir menembus ruang dan waktu, dalam relung hatinya ia juga memikirkan seseorang yang tak pernah ia beritahukan pada yang lain. Seorang lelaki Muslim yang barusaja ia kenal. Seandainya ada lebih banyak waktu lagi.


Semoga manfaat.
Find me, @Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top