Hanya
terdengar bunyi jangkrik dan sunyi senyap udara malam juga gemerisik daun yang
bergesekan dengan atap lantai atas kamar Hiruta. Sudah kesekian kalinya Hiruta
bangkit kemudian tidur kembali, mengulang gerakan yang sama. Sedikit gelisah.
Saat membaringkan badan di atas kasur, Hiruta hanya menatap langit-langit yang
bercat putih, ia memiringkan badan kesebelah kanan, kemudian sebelah kiri. Lalu
mungkin untuk terakhir kalinya, Hiruta bangkit darisana kemudian berjalan
menuju meja tempat ia biasa menyalin, mengerjakan tugas dan membaca buku. Ia
menarik kursi lalu duduk bertopang dagu, ia menggerakan bola matanya ke kiri
dan ke kanan dan akhirnya melihat sebuah buku tebal dalam tumpukkan yang paling
bawah dan di tindih dengan berbagai buku kecil lainnya. Merasa tertarik, ia
memindahkan tumpukkan buku yang lain diatasnya dan menggesernya lalu menarik
keluar buku yang paling tebal itu.
Buku
yang selalu menjadi sahabatnya, teman diskusi dan penyejuk matanya. Karena
selain kak Inari, tidak ada lagi yang mampu membuatnya bergumam dan berbicara
mengenai Islam. Dikelas sama saja, ia hanya bisa “membicarakan” Islam lewat
tindakkan saja, walau berbicara yang lain takkan mengerti. Yah, selain Izumi,
tak ada lagi yang bertanya dan menyinggung Islam padanya.
“Shalahuddin
Al-Ayyubi…” Hiruta tersenyum dan berbisik kecil seraya mengusap sampul dan
kulit buku yang bermodel Hard Cover itu.
Buku
yang menemani Hiruta sebelum tidur, sebagai Bad
Time Story-nya. Lebih dari 400 halaman tebalnya namun Hiruta sudah
menyelesaikan sebagian isinya hanya dalam waktu enam hari. Hiruta mendesah dan
membuka halaman yang ia tandai setelah selesai membecanya dua hari yang lalu.
Hiruta
membaca, menanti serangan kantuk.
***
“Fuyutsuki,
sudah selesai ?” Izumi mendatangi Fuyutsuki yangs sedang bereksperimen malam di
dapur Izumi. Mereka sedang menggoreng tempura dan berbagai masakan lainnya.
“Wahh, enaknyaaa ~” Tangan Izumi melayang ke salah satu piring yang dijadikan
Fuyutsuki untuk wadah tempura.
“Hei!”
Secepat kilat Fuyutsuki menarik piring tersebut. “Nanti Izumi… Nanti. Kalau
Izumi makan duluan, nanti tempuranya habis sebelum kita begadang! Huhh.” Pipi
Fuyutsuki mengembung, tanda kesal.
“Hehehe,
gomenasai – maaf.” Izumi menyengir
lebar. “Hei, Fuyutsuki, Yahiko dimana? Aku tak melihatnya dikamar.” Tanya
Izumi, sambil menunujukkan kekaguman atas masakan dan keahlian Fuyutsuki saat
didapur. Tak pernah ia sangka, Fuyutsuki punya kemampuan sehebat ini.
“Errr…
Tadi aku melihatnya naik kelantai dua. Katanya menikmati angin.” Fuyutsuki
memasukkan bumbu. “Dasar, padahal disini lebih hangat.” Fuyutsuki melanjutkan.
“Aku
akan keatas.” Izumi membalikkan badan dan menuju lantai dua. “Fuyutsuki kalau
ingin mengambil kecap dan saus ada di meja makan.”
“Ehhhh??
Heiii!”
Rambut
Izumi terurai panjang tanpa diikat. Dengan baju kensi alias tank top dan
celana pendek. Baju rumah anak remaja. Izumi menaiki tangga dan melihat punggung
Yahiko ketika sampai di ujung paling atas. Yahiko berdiri sedikit membungkuk
dan menempelkan sikunya pada dua tiang yang horizontal, berfungsi sebagai pagar
pembatas sekaligus pelindung.
Lantai
2 kamar Izumi lumayan lebih tinggi dari rumah-rumah disampingnya, bila berdiri
dari sini, maka akan terhampar pemandangan atap-atap rumah dan bunga sakura
yang mulai bermekaran membuat tanah jepang berubah ungu akibat campuran langit
malam yang remang-remang. Yahiko berdiri disana, diam, dan kadang mengganti
kaki kanan dengan kaki kiri untuk dijadikan sebagai tumpuan berdiri.
“Yahiko…”
Izumi menegur pelan.
“Ah,
Izumi…” Yahiko menyahut, membalikkan badan dan tersenyum. Lalu kembali menatap
kedepan lagi.
“Kenapa
berdiri disini? Ayo, Fuyutsuki hampir selesai.
“Hanya
menikmati pemandangan.” Yahiko tersenyum tanpa menoleh. Dia memejamkan mata.
Membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. “Fuyutsuki menyiapkan apa?”
“Tempura
ikan Wasagi.” Izumi melangkah mendekati Yahiko. Berdiri disampingnya untuk
sama-sama menikmati hembusan angin.
Langit
malam musim semi benar-benar berbeda. Membawa banyak kenangan bagi mereka yang
merindukan ketenangan hidup dan hati. Untuk anak seusia Izumi dan kawan-kawan,
mereka hampir memiliki segalanya di Jepang. Kemewahan hidup, kesejahteraan,
kesetaraan, dan berbagai kesempatan untuk menikmati dunia terbuka lebar bagi
mereka. Namun ketiadaan dan kekeringan spiritual yang dirasakan mereka tak bisa
disembunyikan. Terbukti dengan kegelisahan mereka yang kadang hadir tanpa
sebab, dan gejala itu menyebar seperti epidemi di seluruh Jepang.
“Yahiko,
kenapa berdiri disini?” Izumi bertanya lagi.
“Bukankah
telah kujawab, Izumi-san? Hanya menikmati angin malam.”
“Hanya
itu? Aku tak yakin.” Izumi memaksa.
Yahiko
mendesah pelan. Bingung apa yang harus diucapkan dan menjawab, Yahiko sudah
mulai membuka mulut untuk menjawab, tertutup kembali.
“Aku
tak begitu mengerti Izumi, akhir-akhir ini… aku…” Yahiko terdiam dan tertunduk
pelan.
“Lanjutkan..”
Izumi melirik.
“Aku
memikirkan Hiruta.” Katanya. “Hanya akhir-akhir ini kok.” Yahiko menyeringai
hampir tertawa lebar menatap wajah Izumi yang terdiam dan menggigit bibir. “Izumi-san,
seandainya Hiruta bisa sedikit terbuka ya?” Ucap Yahiko tenang. Menopang dagu
sambil tersenyum-senyum khayal.
“Iya
seandainya.” Izumi menjawab seadanya dengan air muka yang berbeda.
“Aku
heran, kenapa dirimu sangat tak senang
dengan laki-laki seperti itu. Aku bertaruh…” kata Yahiko tegas dan mengarahkan
badannya pada Izumi disampingnya. “laki-laki seperti itu tidak kita temukan
disekolah manapun. Bahkan se Jepang sekalipun, Izumi-san!”
“Lalu?”
Ucap Izumi ketus. “Aku tak tertarik dengan cowok pendiam. Alasannya jelas,
sangat berbeda dengan sikapku. Dan satu hal lagi Yahiko-san, bukan hanya kau yang menginginkan
laki-laki berprestasi se Tokyo.” Izumi menjelaskan seadanya.
“Ah,
aku tak peduli. Setidaknya, kesempatan bersama Hiruta lebih banyak karena
beruntung satu kelas dengannya!” Imbuh Yahiko. “Kau juga sudah lihat ‘kan, 1 tahun lalu kami mengambil gambar berdua.
Hanya berdua Izumi-san!” Kata Yahiko bersemangat sambil mengangkat dua jari,
telunjuk dan jari tengahnya. Untuk menunjukkan angka dua.
“Haahaha,
dasar Yahiko. Tapi benar juga sih, akhir-akhir ini kelas kita menjadi terkenal,
bahkan sekolah kita terkenal setelah Hiruta memenangi banyak kompetisi ilmiah.
Sudah seperti artis saja si Hiruta bodoh itu!”
Kata Izumi.
“Nah,
makanya, gak apa-apa ‘kan sebagai wanita aku memikirkannya sesekali.” Izumi
tertawa lagi seperti biasanya.
“Terserahlah.”
Izumi mendesah pelan.
Memang
sudah bukan rahasia umum bahwa Yahiko dan banyak anak-anak perempuan mengagumi
Hiruta. Namun kondisi yang sekarang akan sedikit berbeda bila Yahiko menyadari
keadaan bahwa ia sedang berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada seseorang
yang harusnya ia tahu dasar hatinya. Yahiko tak menyadari dan tak membuka mata
bahwa, anak wanita yang selalu menghindar dan membenci anak lelaki yang keren
tanpa alasan adalah cara menunjukkan perasaannya dengan cara yang lain. Cara
yang berbeda. Kenyataan bahwa ia juga menyukainya, sangat menyukainya. Namun
telah ia pendam karena tak ingin sesuatu yang berharga dan lebih penting dalam
dirinya menjauh. Yahiko dan Fuyutsuki.
Izumi memejamkan mata berpikir menembus ruang
dan waktu, dalam relung hatinya ia juga memikirkan seseorang yang tak pernah ia
beritahukan pada yang lain. Seorang lelaki Muslim yang barusaja ia kenal.
Seandainya ada lebih banyak waktu lagi.
Semoga manfaat.
Find me, @Iman_rk
Find me, @Iman_rk
0 comments:
Post a Comment