Tuesday, May 6, 2014

Izumi #10

5/06/2014 12:30:00 PM



“Bagiku, seperti tak ada ruang bagi mualaf Jepang untuk mengeksposnya pada publik. Belum lagi, masyarakat jepang yang tidak suka diganggu ketenangannya karena mendengar suara adzan yang kita lakukan. Dan apa hasilnya? Adzan hanya bisa kita lantunkan dalam masjid saja.” Jelas Hiruta.

“Tidak mengapa Hiruta. Aku menjadi seperti ini sudah cukup bahagia. Allah telah mengeluarkanku dari kegelapan menuju cahaya-Nya. Tidak semua manusia dapat menerima cahaya hidayah ini. Aku akan menggenggamnya hingga aku meninggal nanti.” Tegas Izuna. “Jepang pada waktu ini adalah suatu negara yang paling maju dalam bidang industri, dan masyarakat Jepang telah berubah seluruhnya, sebagai akibat revolusi teknologi dengan akibatnya yang berupa corak kehidupan yang materialistis. Dan karena negeri ini miskin dengan sumber-sumber alam, maka bangsa Jepang harus bekerja keras siang dan malam untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan menjaga keseimbangan perdagangan dan industrinya. Itulah sebabnya, makanya keluarga jepang selalu sibuk dengan usaha-usaha mencari kekayaan untuk hidup yang tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan rohani. Seluruh perhatian keluarga jepang ditumpahkan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi, karena mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkan soal-soal yang bukan kebendaan.” Lanjutnya.

“Dan Bangsa Jepang tidak mempunyai agama dan tidak mempunyai tujuan apa-apa. Bangsa Jepang hanya mengikuti pengaruh materialisme Eropa, dan mungkin inilah yang menambah kebekuan jiwa bangsa Jepang, sebab jasmani mereka yang telah mengecap kenikmatan makanan yang lezat dan pakaian yang bagus, tidak disertai dengan jiwa yang berbahagia.” Lanjut Hiruta. 

“Saya yakin bahwa momentum ini adalah kesempatan yang paling baik untuk menyiarkan agama Islam di kalangan bangsa Jepang. Sebab ketidak-tahuan yang menjalar di belakang benda duniawi telah menyebabkan bangsa-bangsa yang menyebut dirinya maju itu telah menjadi mangsa atau korban kekosongan jiwa. Dan Islam adalah satu-satunya agama yang sanggup mengisi kekosongan jiwa mereka, dan kalau langkah-langkah yang teratur dilakukan untuk dakwah Islam di Jepang sekarang, maka tidak akan lebih dari dua atau tiga turunan, seluruh bangsa ini telah masuk dalam agama ini.”

Izuna terdiam dan terpaku mendnegar penjelasan ajaib Hiruta yang banyak memiliki ide cemerlang untuk dakwah Islam.

“MasyaAllah… MasyaAllah… Tidak heran kau menjadi siswa cerdas se Kyoto, Hiruta-kun.”
“Ah, tidak juga Kak. Aku hanya berbicara dari apa yag telah Aku pelajari.”
“Apakah kau telah berbicara seperti ini dihadapan Izumi?”
“Tidak. Maksudku, belum saatnya kak. Biar Izumi termasuk orang-orang yang melihatku menilai apa itu Islam dari apa dan bagaimana aku bersikap pada mereka.”
“Langkah yang bagus Hiruta-kun.”
Matahari yang tadinya muncul malu-malu dari ufuk timur sekarang sudah terlihat meninggi dan mulai memandikan kedua laki-laki ini dengan cahayanya yang menghangatkan.
“Jadi…”
“Ya?”
“Sejak kapan kakak memeluk Islam?” Hiruta langsung menanyakan hal yang memang ingin dia tanyakan sejak pertama kali mendengar suara Izuna melalui ponselnya dua hari yang lalu.

“Sejak aku melanjutkan studi ke Singapura. Aku memiliki seorang sahabat laki-laki, muslim. Ia begitu luar biasa, selain cerdas ia juga memiliki perilaku yang tidak dimilki oleh mahasiswa lain. Bagaimana ya? Bisa disebut, akhlaknya bagus. Patut dijadikan teladan bagi kami seluruh mahasiswa.” Izuna menggerakan bola matanya, melihat sekeliling sambil membayang-bayangkan kejadian empat tahun lalu itu. “Aku tertarik dan bertanya banyak hal padanya, apa yang membuatmu begitu mengagumkan? Dia menjawab, ‘aku seorang muslim, maka muslim haruslah menjadi nomor satu.’ Aku terkejut mendengarnya. Yah, kurasa wajar. 22 tahun hidup dilingkungan yang tidak mengenal agama sama sekali…”

Hiruta tersenyum simpul.

“Lalu dia mulai mengenalkanku pada Alquran. Dan disitulah aku mendapatkan hidayah. Entahlah, kurasa semua pertanyaanku tentang permasalahan umat manusia termasuk permasalahan Jepang sekarang sudah ada jawabannya dalam Alquran. Menakjubkan, batinku waktu itu…”

Hiruta mengernyitkan dahi dan mengangguk-ngangguk pelan.

“Dan, aku mulai tak bisa membantahnya lagi ketika sampai pada ayat tentang penciptaan manusia.  Masalah embriologi yang memang pada saat itu kami pelajari… Subhanallah… Subhanallah…” Izuna menggeleng tak percaya, mengingat saat itu. Mata Izuna berkaca-kaca dan mulai menitikkan air mata.

@Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top