“Bagiku,
seperti tak ada ruang bagi mualaf Jepang untuk mengeksposnya pada publik. Belum
lagi, masyarakat jepang yang tidak suka diganggu ketenangannya karena mendengar
suara adzan yang kita lakukan. Dan apa hasilnya? Adzan hanya bisa kita
lantunkan dalam masjid saja.” Jelas Hiruta.
“Tidak mengapa Hiruta. Aku menjadi
seperti ini sudah cukup bahagia. Allah telah mengeluarkanku dari kegelapan
menuju cahaya-Nya. Tidak semua manusia dapat menerima cahaya hidayah ini. Aku
akan menggenggamnya hingga aku meninggal nanti.” Tegas Izuna. “Jepang pada waktu ini adalah suatu
negara yang paling maju dalam bidang industri, dan masyarakat Jepang telah
berubah seluruhnya, sebagai akibat revolusi teknologi dengan akibatnya yang
berupa corak kehidupan yang materialistis. Dan karena negeri ini miskin dengan
sumber-sumber alam, maka bangsa Jepang harus bekerja keras siang dan malam
untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan menjaga keseimbangan perdagangan dan
industrinya. Itulah sebabnya, makanya keluarga jepang selalu sibuk dengan
usaha-usaha mencari kekayaan untuk hidup yang tidak ada pengaruhnya dalam
kehidupan rohani. Seluruh perhatian keluarga jepang ditumpahkan untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi, karena mereka tidak mempunyai waktu
yang cukup untuk memikirkan soal-soal yang bukan kebendaan.” Lanjutnya.
“Dan
Bangsa Jepang tidak mempunyai agama dan tidak mempunyai tujuan apa-apa. Bangsa
Jepang hanya mengikuti pengaruh materialisme Eropa, dan mungkin inilah yang
menambah kebekuan jiwa bangsa Jepang, sebab jasmani mereka yang telah mengecap
kenikmatan makanan yang lezat dan pakaian yang bagus, tidak disertai dengan
jiwa yang berbahagia.” Lanjut Hiruta.
“Saya
yakin bahwa momentum ini adalah kesempatan yang paling baik untuk menyiarkan
agama Islam di kalangan bangsa Jepang. Sebab ketidak-tahuan yang menjalar di
belakang benda duniawi telah menyebabkan bangsa-bangsa yang menyebut dirinya
maju itu telah menjadi mangsa atau korban kekosongan jiwa. Dan Islam adalah
satu-satunya agama yang sanggup mengisi kekosongan jiwa mereka, dan kalau
langkah-langkah yang teratur dilakukan untuk dakwah Islam di Jepang sekarang,
maka tidak akan lebih dari dua atau tiga turunan, seluruh bangsa ini telah
masuk dalam agama ini.”
Izuna
terdiam dan terpaku mendnegar penjelasan ajaib Hiruta yang banyak memiliki ide
cemerlang untuk dakwah Islam.
“MasyaAllah…
MasyaAllah… Tidak heran kau menjadi siswa cerdas se Kyoto, Hiruta-kun.”
“Ah,
tidak juga Kak. Aku hanya berbicara dari apa yag telah Aku pelajari.”
“Apakah
kau telah berbicara seperti ini dihadapan Izumi?”
“Tidak.
Maksudku, belum saatnya kak. Biar Izumi termasuk orang-orang yang melihatku
menilai apa itu Islam dari apa dan bagaimana aku bersikap pada mereka.”
“Langkah
yang bagus Hiruta-kun.”
Matahari
yang tadinya muncul malu-malu dari ufuk timur sekarang sudah terlihat meninggi
dan mulai memandikan kedua laki-laki ini dengan cahayanya yang menghangatkan.
“Jadi…”
“Ya?”
“Sejak
kapan kakak memeluk Islam?” Hiruta langsung menanyakan hal yang memang ingin
dia tanyakan sejak pertama kali mendengar suara Izuna melalui ponselnya dua
hari yang lalu.
“Sejak
aku melanjutkan studi ke Singapura. Aku memiliki seorang sahabat laki-laki,
muslim. Ia begitu luar biasa, selain cerdas ia juga memiliki perilaku yang
tidak dimilki oleh mahasiswa lain. Bagaimana ya? Bisa disebut, akhlaknya bagus.
Patut dijadikan teladan bagi kami seluruh mahasiswa.” Izuna menggerakan bola
matanya, melihat sekeliling sambil membayang-bayangkan kejadian empat tahun
lalu itu. “Aku tertarik dan bertanya banyak hal padanya, apa yang membuatmu
begitu mengagumkan? Dia menjawab, ‘aku seorang muslim, maka muslim haruslah
menjadi nomor satu.’ Aku terkejut mendengarnya. Yah, kurasa wajar. 22 tahun
hidup dilingkungan yang tidak mengenal agama sama sekali…”
Hiruta
tersenyum simpul.
“Lalu
dia mulai mengenalkanku pada Alquran. Dan disitulah aku mendapatkan hidayah.
Entahlah, kurasa semua pertanyaanku tentang permasalahan umat manusia termasuk
permasalahan Jepang sekarang sudah ada jawabannya dalam Alquran. Menakjubkan, batinku waktu itu…”
Hiruta
mengernyitkan dahi dan mengangguk-ngangguk pelan.
“Dan,
aku mulai tak bisa membantahnya lagi ketika sampai pada ayat tentang penciptaan
manusia. Masalah embriologi yang memang
pada saat itu kami pelajari… Subhanallah… Subhanallah…” Izuna menggeleng tak
percaya, mengingat saat itu. Mata Izuna berkaca-kaca dan mulai menitikkan air
mata.
@Iman_rk
0 comments:
Post a Comment