Semburat cahaya dari ufuk timur. Juga tetesan embun yang masih bergelantungan pada daun sakura, serta awan yang kemerahan telah memeluk sejuk sesak dan desaknya aktivitas Tokyo. Aktivitas begitu cepat, semua orang berlomba menjadi nomor satu, terbaik dan terhebat. Namun ada beberapa hal yang barangkali tak diketahui banyak orang bahwa orang-orang di Jepang adalah orang yang sangat suka menolong, rendah hati dan santun. Di tengah hiruk-pikuk dan padatnya manusia, emosi yang bisa muncul kapan saja, ditambah hidup yang kadang individualistik, disiplin serta pandang hidup yang menjunjung tinggi etos kerja ternyata tak menjamin bahwa kehidupan yang sesungguhnya dapat diraih.
Angka bunuh diri
meningkat.
Telah
banyak cara dilakukan. Seperti membuat banyak superhero yang katanya untuk
melindungi Dunia. Gundam, Kamen Rider, Satria Baja Hitam dan semua mereka yang
digambarkan memakai baju baja. Cinta keadilan dan bertujuan menumpas segala
kejahatan yang ada. Namun tidak bisa menghentikan atau bahkan menurunkan
depresi. Itu menggambarkan bahwa mereka pun merindukan kedamaian dalam diri
mereka, merindukan dimana pekerjaan bukanlah satu-satunya yang menempati
piramida tertinggi kehidupan. Mereka merindukan sesuatu yang telah lama hilang.
Sekalipun negara maju, Jepang juga menduduki peringkat tertinggi yang mengalami
tekanan hidup.
Sekarang
adalah musim semi, Hanami – piknik
dibawah bunga sakura – memadati jalan-jalan Jepang dan tempat rekreasi
setempat.
Ini adalah hari terakhir liburan, batin
Hiruta. Berjalan selangkah demi selangkah menuju jembatan merah yang biasa ia
datangi bila ingin merenungi sesuatu. Jembatan itu memiliki pembatas yang
berwarna merah. Dibawahnya mengalir sungai kecil yang mengairi batu-batu yang
makin lama makin menghijau. Pukul 06.00
pagi tapi manusia sudah berkeliaran, tertawa, berbisik, dan berlari
kejar-kejaran. Hiruta hanya mengenakan jaket hitam, syal dengan corak
kotak-kotak coklat melilit lehernya, celana levi’s berwarna biru ditambah
dengan sepatu berwarna hitam. Hiruta berjalan sendirian, memasukkan tangan pada
kantung jaket. Gaya berjalan yang biasa ia tampilkan, dan syal yang menutup
bagian atas dan bawah bibirnya, sehingga yang tampak pada bagian wajahnya hanya
sebagian, yaitu dahi, mata dan hidung.
Berjalan
terus. Diam. Kadang melamun menatap kosong, tersadar karena anak-anak yang
berlarian dan menarik ujung jaketnya untuk bersembunyi dibelakang pinggang
Hiruta. Anak-anak itu tertawa. Bahagia.
Sudah
tak ada lagi yang dikerjakan dirumah, semua dikerjakan oleh kak Inari, Hiruta
hanya merapikan tempat tidur kemudian mandi lalu buru-buru kesini.
Disana
berdiri seorang lelaki. Postur tubuhnya seperti Hiruta, tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu pendek, lumayan kurus, dan memiliki rambut agak ikal
kemerah-merahan. Ia tersenyum melihat kedatangan Hiruta. Memakai jaket biru
dongker, celana jins hitam dan syal merah marun melingkari lehernya.
“Assalamualaykum. Kak Mikawa Izuna ?” Hiruta menyapa lebih dulu.
“Waalaykumussalam.”
Laki-laki itu menjawab. Sesaat kemudian mereka berpelukan dan memegang bahu
masing-masing dan tersenyum layaknya saudara.
“Sumimasen
– maaf kak – tadi saya telat bangun…”
“Shalat
shubuhmu bagaimana?”
“Alhamdulillah,
sudah dikerjakan, meskipun agak telat.” Hiruta menyeringai.
Keduanya
berbicara layaknya seorang lelaki. Bertanya mengenai perkembangan sekolah juga
prestasi Hiruta yang kian meningkat dari
bulan ke bulan, bahkan baru-baru ini yang sudah terkenal se Jepang. Namun ada
hal yang lebih istimewa daripada itu, yaitu sebuah hal yang mengikat keduanya
bukan karena sama-sama cerdas atau sama-sama lelaki. Tapi karena keduanya
adalah Muslim. Mereka satu akidah.
Hiruta
sangat berbahagia bertemu dengan lelaki ini, seorang lelaki yang baru saja ia
kenal. Dua hari yang lalu. Ia menghubungi Hiruta melalui handphonenya dan
mengetahui nomor Handphone Hiruta melalui ponsel adiknya. Namun, meski pertama
kali bertemu, Hiruta samasekali tidak menaruh curiga, sebab dihadapannya adalah
seorang lelaki Muslim yang sangat cerdas, juga memiliki perangai yang bagus.
“Ku
kira, tubuhmu lebih tinggi dariku, Hiruta-kun.” Kata laki-laki itu sambil memegang
kepala Hiruta dan mengukurnya dengan tinggi badannya yang hampir setara. “Izumi
banyak bercerita tentangmu, menanyakan padaku ini dan itu tentang Islam. Aku
hanya bercerita seadanya, setidaknya yang kutahu dari pengalaman belajarku saat
di Singapura.” Lanjutnya.
“Oh
begitu. Izumi-san memang cerewet…” Hiruta menatap kebawah aliran sungai. “Apa
Izumi sudah tahu tentang kemusliman kak Izuna?”
“Belum.”
“Kakak
sembunyikan?”
“Iya.
Aku tak mau dia, ayah juga ibu akan mengkhawatirkanku dan bisa jadi keluargaku
akan kacau berantakan karena hal ini. Biarlah, kurasa aku lebih tenang seperti
ini, Hiruta-kun.” Izuna menghela napas.
“Dilema
memang.” Sahut Hiruta.
Izuna
menatap Hiruta yang berada disamping kirinya. “Maksudmu?”
@Iman_rk
@Iman_rk
0 comments:
Post a Comment