Tuesday, May 6, 2014

Izumi #9

5/06/2014 12:28:00 PM




Semburat cahaya dari ufuk timur. Juga tetesan embun yang masih bergelantungan pada daun sakura, serta awan yang kemerahan telah memeluk sejuk sesak dan desaknya aktivitas Tokyo. Aktivitas begitu cepat, semua orang berlomba menjadi nomor satu, terbaik dan terhebat. Namun ada beberapa hal yang barangkali tak diketahui banyak orang bahwa orang-orang di Jepang adalah orang yang sangat suka menolong,  rendah hati dan santun. Di tengah hiruk-pikuk dan padatnya manusia, emosi yang bisa muncul kapan saja, ditambah hidup yang kadang individualistik, disiplin serta pandang hidup yang menjunjung tinggi etos kerja ternyata tak menjamin bahwa kehidupan yang sesungguhnya dapat diraih.

Angka bunuh diri meningkat.

Telah banyak cara dilakukan. Seperti membuat banyak superhero yang katanya untuk melindungi Dunia. Gundam, Kamen Rider, Satria Baja Hitam dan semua mereka yang digambarkan memakai baju baja. Cinta keadilan dan bertujuan menumpas segala kejahatan yang ada. Namun tidak bisa menghentikan atau bahkan menurunkan depresi. Itu menggambarkan bahwa mereka pun merindukan kedamaian dalam diri mereka, merindukan dimana pekerjaan bukanlah satu-satunya yang menempati piramida tertinggi kehidupan. Mereka merindukan sesuatu yang telah lama hilang. Sekalipun negara maju, Jepang juga menduduki peringkat tertinggi yang mengalami tekanan hidup.

Sekarang adalah musim semi, Hanami – piknik dibawah bunga sakura – memadati jalan-jalan Jepang dan tempat rekreasi setempat.

Ini adalah hari terakhir liburan, batin Hiruta. Berjalan selangkah demi selangkah menuju jembatan merah yang biasa ia datangi bila ingin merenungi sesuatu. Jembatan itu memiliki pembatas yang berwarna merah. Dibawahnya mengalir sungai kecil yang mengairi batu-batu yang makin  lama makin menghijau. Pukul 06.00 pagi tapi manusia sudah berkeliaran, tertawa, berbisik, dan berlari kejar-kejaran. Hiruta hanya mengenakan jaket hitam, syal dengan corak kotak-kotak coklat melilit lehernya, celana levi’s berwarna biru ditambah dengan sepatu berwarna hitam. Hiruta berjalan sendirian, memasukkan tangan pada kantung jaket. Gaya berjalan yang biasa ia tampilkan, dan syal yang menutup bagian atas dan bawah bibirnya, sehingga yang tampak pada bagian wajahnya hanya sebagian, yaitu dahi, mata dan hidung.

Berjalan terus. Diam. Kadang melamun menatap kosong, tersadar karena anak-anak yang berlarian dan menarik ujung jaketnya untuk bersembunyi dibelakang pinggang Hiruta. Anak-anak itu tertawa. Bahagia.

Sudah tak ada lagi yang dikerjakan dirumah, semua dikerjakan oleh kak Inari, Hiruta hanya merapikan tempat tidur kemudian mandi lalu buru-buru kesini.

Disana berdiri seorang lelaki. Postur tubuhnya seperti Hiruta, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, lumayan kurus, dan memiliki rambut agak ikal kemerah-merahan. Ia tersenyum melihat kedatangan Hiruta. Memakai jaket biru dongker, celana jins hitam dan syal merah marun melingkari lehernya.

“Assalamualaykum. Kak Mikawa Izuna ?” Hiruta menyapa lebih dulu.
“Waalaykumussalam.” Laki-laki itu menjawab. Sesaat kemudian mereka berpelukan dan memegang bahu masing-masing dan tersenyum layaknya saudara.
“Sumimasen – maaf kak – tadi saya telat bangun…”
“Shalat shubuhmu bagaimana?”
“Alhamdulillah, sudah dikerjakan, meskipun agak telat.” Hiruta menyeringai.

Keduanya berbicara layaknya seorang lelaki. Bertanya mengenai perkembangan sekolah juga prestasi Hiruta yang kian meningkat  dari bulan ke bulan, bahkan baru-baru ini yang sudah terkenal se Jepang. Namun ada hal yang lebih istimewa daripada itu, yaitu sebuah hal yang mengikat keduanya bukan karena sama-sama cerdas atau sama-sama lelaki. Tapi karena keduanya adalah Muslim. Mereka satu akidah.

Hiruta sangat berbahagia bertemu dengan lelaki ini, seorang lelaki yang baru saja ia kenal. Dua hari yang lalu. Ia menghubungi Hiruta melalui handphonenya dan mengetahui nomor Handphone Hiruta melalui ponsel adiknya. Namun, meski pertama kali bertemu, Hiruta samasekali tidak menaruh curiga, sebab dihadapannya adalah seorang lelaki Muslim yang sangat cerdas, juga memiliki perangai yang bagus.

“Ku kira, tubuhmu lebih tinggi dariku, Hiruta-kun.” Kata laki-laki itu sambil memegang kepala Hiruta dan mengukurnya dengan tinggi badannya yang hampir setara. “Izumi banyak bercerita tentangmu, menanyakan padaku ini dan itu tentang Islam. Aku hanya bercerita seadanya, setidaknya yang kutahu dari pengalaman belajarku saat di Singapura.” Lanjutnya.

“Oh begitu. Izumi-san memang cerewet…” Hiruta menatap kebawah aliran sungai. “Apa Izumi sudah tahu tentang kemusliman kak Izuna?”
“Belum.”
“Kakak sembunyikan?”
“Iya. Aku tak mau dia, ayah juga ibu akan mengkhawatirkanku dan bisa jadi keluargaku akan kacau berantakan karena hal ini. Biarlah, kurasa aku lebih tenang seperti ini, Hiruta-kun.” Izuna menghela napas.
“Dilema memang.” Sahut Hiruta.
Izuna menatap Hiruta yang berada disamping kirinya. “Maksudmu?”

@Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top