Saat
itu adalah hari paling menyeramkan bagi
Hiruta – orang dewasa menangis. Hiruta mengalihkan pandangan. Ia merasa tak
perlu melihat pemandangan itu, melihat Izuna menangis hanya akan membuat Izuna
merasa malu dan sungkan. Hiruta menatap kedepan, melihat aliran sungai dan
mendengarkan gemericik air yang menabrak batu-batu tanpa henti. Hiruta kembali
menoleh melihat Izuna. Izuna masih terguncang, tangis dan isak harunya masih
terlihat. Ia menggunakan syalnya untuk menutup wajahnya. Bahunya berguncang
keras saat ia mengisak. Ia berjongkok dan membenamkan wajahnya yang putih itu
kedalam syal merah marunnya.
MasyaAllah…MasyaAllah… Ya Allah,
ingin rasanya aku bisa menangis bahagia seperti yang kak Izuna rasakan ketika
telah mereguk hidayahMu… Batin
Hiruta sambil menatap penuh haru Izuna yang masih menangis.
Hidayah
Allah memang tidak didapatkan dengan mudah, hanya hambaNya yang terpilih yang
mampu meraihnya dan menikmatinya. Untuk warga Jepang, tentu ini menjadi sangat
luar biasa dan pastinya menjadi pengalaman spiritual yang mengguncang jiwa.
Mikawa Izuna merasakan itu.
Betul-betul
merasakan itu.
“Uh..Uuuhh…”
Setelah merasa puas dan lelah Izuna mulai mengangkat kepala. Matanya sembab
seketika. “Maafkan aku Hiruta-kun.” Ia menyeka airmatanya dengan pergelangan
tangannya. Hampa.
Sesekali
para penduduk yang berjalan hilir-mudik yang telah memulai aktivitas juga
menyaksikan laki-laki yang menangis ini. Mereka mengernyitkan dahi
bertanya-tanya dan mengkeriputkan alis. Namun tidak terlalu menaruh peduli.
“Alhamdulillah
kak.” Kata Hiruta lagi. Dengan pembawaan khasnya yang cool.
Izuna
terdiam. Menatap Hiruta dalam-dalam.
Hiruta
menoleh ke arah wajah Izuna, menyaksikan bola mata Izuna yang kini telah
memerah, “Kakak sungguh beruntung, bisa menangis tersedu-sedu seperti itu.
Semuanya karena Allah…”
Izuna
terdiam dan menyunggingkan senyum hingga kelihatan giginya yang rapi. Kembali
menyeka airmatanya dengan syal.
“Apa
kakak akan mengatakan bahwa itu adalah keringat ketika Izumi bertanya kenapa
syal itu basah?” Hiruta berguyon karena melihat syal itu naik turun hanya untuk
digunakan menyeka dan menghapus airmata.
“Hehehe,”
suara tawa parau keluar dari mulut Izuna, “tidak perlu. Karena Izumi akan tahu
setelah melihat mataku.”
“Oh
ya, sekarang nama Islam kakak siapa? Tentunya kalau aku boleh tau.”
“Tentu,
bahkan, kau harus tahu. Namaku adalah Harun Rasyidin.” Izuna tersenyum lagi.
“Subhanallah,
itu nama salah satu khalifah Islam yang terkenal, ya kan?”
“Yup,
aku mendengar kisahnya dan tertarik dengan namanya.” Izuna tersenyum
bangga. “Kalau kamu Hiruta-kun? Aku
tahu, pengikut Islam yang taat sepertimu pasti punya nama Islam, dan bukan nama
dalam huruf Hiragana atau Katakana.”
“Muhammad
Al-Fatih. Panggil aku Fatih, kak.” Hiruta tersenyum.
Betapa
terkejutnya Izuna mendengar nama ini. Nama seorang penakluk Konstatinopel yang
telah Rasul sabdakan dalam hadistnya yang begitu fenomenal. Hadist yang telah
membuat kaum Kristen barat kehilangan rasa kantuknya dan membuat mereka berjaga
untuk beratus tahun lamanya hanya untuk menanti datangnya seorang lelaki yang
bernama Al-Fatih itu. Dan sekarang, ada remaja muslim jepang yang
menggunakannya. Izuna berdecak kagum.
Keduanya
saling menatap. Berbicara dan bercerita lebih jauh lagi. Sambil menikmati
keindahan dan kedamaian yang telah mereka raih tatkala pertama kali mengucapkan
syahadat. Kalimat yang tak semua orang mampu melafalkannya. Bukan karena lidah
mereka kelu namun karena hidayah Allah semata. Ya, hidayah Allah semata.
“Baiklah,
hubungi saja aku bila kau memerlukan bantuan Hiruta-kun.”
“Tentu,
kak.”
“Juga,
sampaikan salamku pada Ayah dan Ibu yah. Juga pada Inari.”
“Eh?”
Hiruta tersentak.
“Hehehe,
Izumi yang memberitahu. Tenang, aku takkan mengganggunya… setidaknya, belum
saat ini.”
“Baiklah,”
Izuna berjalan menjauh. “Assalamualaykum.” Ia melambaikan tangan.
“Waalaykumussalam.”
Hiruta membalas salam itu sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku
jaketnya.
@Iman_rk find me on twitter, :D
0 comments:
Post a Comment