Siang yang menghisap keringat. Mengeringkan tenggorokan. Dan
melemahkan otot. Aku berjalan pulang menuju rumahku yang tak jauh dari sekolah.
Ada beberapa dari teman laki-lakiku yang berbaik hati mengajakku untuk menaiki
sepeda motornya, Randy misalnya. Sudah beberapa hari terakhir ini, sikapnya
sangat jauh berbeda bila dihadapanku. Ia menawarkanku minuman, mengantar
pulang, dan kadang menghubungiku saat malamnya agar besok ia bisa menjemputku
dan berangkat bersama ke sekolah. Menurutku, agak berlebihan memang. Banyak
pertanyaan yang menggelayut didalam kepala teman-teman kelas atas sikap Randy.
Kenapa hanya didepanku dan hanya padaku saja ia seperti ini?
Aku
menjadi seperti diriku yang sekarang ini karena banyak pilihan yang aku jalani dan
nikmati. Kadang menyesakkan dada dan kadang membuatku tertawa. Di sekolah,
banyak sekali hal yang bisa membuatku tertawa. Didalam sejuta permasalahanku
yang tak bisa aku selesaikan, sekolahlah yang menjadi tempat pelarian yang
paling efektif. Aku betul-betul merasakannya.
Merasakan dalam arti yang
sebenarnya. Mungkin ada seribu alasan yang dapat membuatku menangis diluar,
tapi sekolah bisa membawa sejuta alasan untuk membuatku tersenyum.
Dari
kejauhan, aku melihatnya berjalan. Dia. Laki-laki yang membuat semuanya
berbeda, membuat kepahitan masalah menjadi manisnya hikmah. Dia yang telah
banyak mengajariku sesuatu. Banyak hal. Banyak sekali malah. Dari langkah kecil
ini, aku memperhatikannya tanpa memperdulikan ajakan Randy,
“May?”
Randy menegurku untuk kali ketiga.
“Ah,
iya? Ohhh… maaf, aku nggak bisa. Maksudku, nggak apa-apa. Rumahku deket kok
dari sini. Makasih ya Ran buat tawarannya.” Aku menolak ajakannya dengan
senyuman.
“Oh,
baiklah. Aku duluan ya.”
Randy
menutup kaca helmnya lantas menarik gas motor koplingnya dan meninggalkanku
bersama khayalku. “Seandainya..” Aku
membatin. ”Yang mengajakku pulang itu
Irman. hihi” Aku tersenyum sendiri sambil mengkhayal konyol untuk sesuatu
yang tak mungkin terjadi. Dari belakang ada Yunda, Dian, dan Riska yang
berjalan mengikuti. Tapi sepertinya mereka belum melihatku. Mereka berjalan
sambil berbicara dan tertawa seperti biasa mereka lakukan hampir tiap hari.
Bahkan untuk hal yang tak jelas, mereka bisa tertawa sepuasnya sampai salah
satu dari mereka memohon ampun untuk tidak lagi berbicara mengenai hal konyol
itu, karena perutnya sudah tak menegang akibat kuatnya tawa yang tanpa henti.
Aku salah satu dari mereka. Dan akulah yang memohon itu.
Irman
mungkin tak special seperti yang lain. Bahkan, ia tak menggunakan sepeda motor
untuk pulang pergi dari sekolah. Ia berjalan kaki bersama yang lain, teman satu
kelasnya. Dan entahlah, aku mungkin hanya merasakan sensasi bodoh yang
menyelimuti hatiku. Cinta? Apa iya?
“Mayaaa…
Tunggu!” Yunda memanggilku sembari berlari kecil.
Mereka
bertiga mengikuti, “Lain kali, tunggu kamilah!” Dian mengeluh.
“Haha,
tadi memang mau buru-buru.”
“Ada
apa? Biasanya juga bareng kok.” Riska bertanya sambil menarik tasnya keatas.
Aku
terdiam. Memang aku tak ingin menjawab karena akan menjadi sangat memalukan
bila aku jawab. Seperti halnya mereka, menjawab dengan apa adanya dan
menelikung bila masalahnya adalah laki-laki. Ah, iya… akupun bermasalah dengan
laki-laki. Untuk apa diceritakan. Toh nanti akan menjadi bahan bully.
Kami
berjalan seperti biasa. Kenet angkot
yang menyapa dengan suara yang tak biasa, ojek yang menawari, teman-teman yang
lain yang berboncengan dengan pacar mereka masing-masing. Saat kami memandang
mereka yang menjauh – pasangan itu – kadang membuat kami berempat saling
menatap satu sama lain dan… tertawa karena meratapi nasib kami. Tentu saja,
karena kami berempat sama-sama tak memiliki pacar.
“May,
enak ya jadi kamu.” Riska bertanya lagi.
Aku
mengangkat alis dan menatapnya.
“Hu’um…
enak banget.” Yunda menimpali.
“Apanya?”
Aku kebingungan.
“Kalo
rasanya ditawarin Randy untuk pulang, ditanya besok berangkat kesekolah sama
siapa, udah makan atau belum.. itu enak gak May?” Yunda bertanya lagi. Aku
melihat mereka terkikik sambil menyikut satu sama lain.
“Apaan
sih?!” Aku menghentikan langkahku.
“Haha..
Hey-hey-hey… Tuan Putrinya Randy gak boleh marah.” Mereka tertawa lagi.
Aku
melanjutkan langkahku diiringi dengan gelak tawa mereka. Aku tahu mereka hanya
bercanda. Dari kejauhan, Irman berjalan dengan santai dan duduk disalah satu
tempat duduk favorit mereka sekaligus berfungsi sebagai tempat nongkrongnya
untuk menunggui yang lain, teman-temannya yang satu arah bila diajak pulang
berjalan kaki. Pernah suatu waktu aku bertanya apa alasannya duduk ditempat
seperti ini dan Irman hanya menaikkan alisnya. Aku merasa ekspresi itu ibarat
ia sedang berkata, “Apa urusanmu?”
Tapi,
itu cukup membuatku bahagia.
Rasanya,
saat ini aku hanya tidak usah terlalu repot-repot memikirkan bagaimana caranya
agar Irman mau bertanya, peduli, dan memanfaatkan waktu agar bertemu denganku.
Karena jalan pulang menuju rumah, jalan untuk berangkat kesekolah, kami sama.
Dan untuk alasan inilah, dan sejuta alasan yang lain aku menolak Randy
mengantar atau menjemputku. Agar aku bisa bersamanya walau tak dekat. Agar aku
bisa melihat tawanya, meski bukan aku penyebabnya, agar aku bisa membuat ia
ramai meski aku bukan temannya.
Dan
benar… Sore ga, Ai Deshou – Ku rasa, Aku jatuh Cinta.
Semoga suka ya. Find me on twitter @Iman_rk ^^
0 comments:
Post a Comment