Saturday, September 20, 2014

Sore ga, Ai Deshou

9/20/2014 10:56:00 AM

               Siang yang menghisap keringat. Mengeringkan tenggorokan. Dan melemahkan otot. Aku berjalan pulang menuju rumahku yang tak jauh dari sekolah. Ada beberapa dari teman laki-lakiku yang berbaik hati mengajakku untuk menaiki sepeda motornya, Randy misalnya. Sudah beberapa hari terakhir ini, sikapnya sangat jauh berbeda bila dihadapanku. Ia menawarkanku minuman, mengantar pulang, dan kadang menghubungiku saat malamnya agar besok ia bisa menjemputku dan berangkat bersama ke sekolah. Menurutku, agak berlebihan memang. Banyak pertanyaan yang menggelayut didalam kepala teman-teman kelas atas sikap Randy. Kenapa hanya didepanku dan hanya padaku saja ia seperti ini?

                Aku menjadi seperti diriku yang sekarang ini karena banyak pilihan yang aku jalani dan nikmati. Kadang menyesakkan dada dan kadang membuatku tertawa. Di sekolah, banyak sekali hal yang bisa membuatku tertawa. Didalam sejuta permasalahanku yang tak bisa aku selesaikan, sekolahlah yang menjadi tempat pelarian yang paling efektif. Aku betul-betul merasakannya.
Merasakan dalam arti yang sebenarnya. Mungkin ada seribu alasan yang dapat membuatku menangis diluar, tapi sekolah bisa membawa sejuta alasan untuk membuatku tersenyum.

                Dari kejauhan, aku melihatnya berjalan. Dia. Laki-laki yang membuat semuanya berbeda, membuat kepahitan masalah menjadi manisnya hikmah. Dia yang telah banyak mengajariku sesuatu. Banyak hal. Banyak sekali malah. Dari langkah kecil ini, aku memperhatikannya tanpa memperdulikan ajakan Randy,

                “May?” Randy menegurku untuk kali ketiga.
                “Ah, iya? Ohhh… maaf, aku nggak bisa. Maksudku, nggak apa-apa. Rumahku deket kok dari sini. Makasih ya Ran buat tawarannya.” Aku menolak ajakannya dengan senyuman.
                “Oh, baiklah. Aku duluan ya.”

                Randy menutup kaca helmnya lantas menarik gas motor koplingnya dan meninggalkanku bersama khayalku. “Seandainya..” Aku membatin. ”Yang mengajakku pulang itu Irman. hihi” Aku tersenyum sendiri sambil mengkhayal konyol untuk sesuatu yang tak mungkin terjadi. Dari belakang ada Yunda, Dian, dan Riska yang berjalan mengikuti. Tapi sepertinya mereka belum melihatku. Mereka berjalan sambil berbicara dan tertawa seperti biasa mereka lakukan hampir tiap hari. Bahkan untuk hal yang tak jelas, mereka bisa tertawa sepuasnya sampai salah satu dari mereka memohon ampun untuk tidak lagi berbicara mengenai hal konyol itu, karena perutnya sudah tak menegang akibat kuatnya tawa yang tanpa henti. Aku salah satu dari mereka. Dan akulah yang memohon itu.

                Irman mungkin tak special seperti yang lain. Bahkan, ia tak menggunakan sepeda motor untuk pulang pergi dari sekolah. Ia berjalan kaki bersama yang lain, teman satu kelasnya. Dan entahlah, aku mungkin hanya merasakan sensasi bodoh yang menyelimuti hatiku. Cinta? Apa iya?
                “Mayaaa… Tunggu!” Yunda memanggilku sembari berlari kecil.
                Mereka bertiga mengikuti, “Lain kali, tunggu kamilah!” Dian mengeluh.
                “Haha, tadi memang mau buru-buru.”
                “Ada apa? Biasanya juga bareng kok.” Riska bertanya sambil menarik tasnya keatas.

                Aku terdiam. Memang aku tak ingin menjawab karena akan menjadi sangat memalukan bila aku jawab. Seperti halnya mereka, menjawab dengan apa adanya dan menelikung bila masalahnya adalah laki-laki. Ah, iya… akupun bermasalah dengan laki-laki. Untuk apa diceritakan. Toh nanti akan menjadi bahan bully.

                Kami berjalan seperti biasa.  Kenet angkot yang menyapa dengan suara yang tak biasa, ojek yang menawari, teman-teman yang lain yang berboncengan dengan pacar mereka masing-masing. Saat kami memandang mereka yang menjauh – pasangan itu – kadang membuat kami berempat saling menatap satu sama lain dan… tertawa karena meratapi nasib kami. Tentu saja, karena kami berempat sama-sama tak memiliki pacar.

                “May, enak ya jadi kamu.” Riska bertanya lagi.
                Aku mengangkat alis dan menatapnya.
                “Hu’um… enak banget.” Yunda menimpali.
                “Apanya?” Aku kebingungan.
                “Kalo rasanya ditawarin Randy untuk pulang, ditanya besok berangkat kesekolah sama siapa, udah makan atau belum.. itu enak gak May?” Yunda bertanya lagi. Aku melihat mereka terkikik sambil menyikut satu sama lain.
                “Apaan sih?!” Aku menghentikan langkahku.
                “Haha.. Hey-hey-hey… Tuan Putrinya Randy gak boleh marah.” Mereka tertawa lagi.

                Aku melanjutkan langkahku diiringi dengan gelak tawa mereka. Aku tahu mereka hanya bercanda. Dari kejauhan, Irman berjalan dengan santai dan duduk disalah satu tempat duduk favorit mereka sekaligus berfungsi sebagai tempat nongkrongnya untuk menunggui yang lain, teman-temannya yang satu arah bila diajak pulang berjalan kaki. Pernah suatu waktu aku bertanya apa alasannya duduk ditempat seperti ini dan Irman hanya menaikkan alisnya. Aku merasa ekspresi itu ibarat ia sedang berkata, “Apa urusanmu?”

                Tapi, itu cukup membuatku bahagia.

                Rasanya, saat ini aku hanya tidak usah terlalu repot-repot memikirkan bagaimana caranya agar Irman mau bertanya, peduli, dan memanfaatkan waktu agar bertemu denganku. Karena jalan pulang menuju rumah, jalan untuk berangkat kesekolah, kami sama. Dan untuk alasan inilah, dan sejuta alasan yang lain aku menolak Randy mengantar atau menjemputku. Agar aku bisa bersamanya walau tak dekat. Agar aku bisa melihat tawanya, meski bukan aku penyebabnya, agar aku bisa membuat ia ramai meski aku bukan temannya.

                Dan benar… Sore ga, Ai Deshou – Ku rasa, Aku jatuh Cinta.

Semoga suka ya. Find me on twitter @Iman_rk ^^


Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top