Sunday, September 21, 2014

Little Thing Called 'Miss'

9/21/2014 08:35:00 PM

                “Kembalilah.”                
                Aku masih terdiam dalam kebingunganku.              
              “Kembalilah… Ku mohon.”

                Aku mendengar isak tertahan dari kejauhan sana. Suaranya yang menyesak dan napasnya yang sudah tidak teratur. Kami terpisah oleh ruang dan waktu. Saat ini aku di Amerika menyelesaikan studiku, namun disaat yang sama aku belum menyelesaikan dan menuntaskan kerinduannya. Bagiku, ini lebih pahit dan lebih gagal dari ujian matakuliahku. Begitu pahit dan menyakitkan. Aku merasa menjadi laki-laki bodoh dalam sekejap.

                Aku kebingungan. Terus terang, sejak lama aku kebingungan bagaimana cara paling baik dan paling santun mendengarkan dan menjawab tangis rindu seorang wanita. Saat ini aku merasa bahwa aku sangat sering menyakitinya. Apa aku saja yang terlalu berlebihan atau memang realita bahwa wanita adalah mahluk perasa; yang apabila sakit, cinta, marah, rindu, muak harus dibuktikan dengan airmatanya?

                “Tolong, katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja? Ku mohon.” Napasnya tersengal.                Astagfirullah, aku mengelus dada. Aku bersumpah, aku bisa menjawab ini. Aku bisa.  Tapi aku hanya kebingungan. “Beri aku waktu…” aku membatin.                “Iya sayang, aku juga. Kamu baik-baik saja, kan?” Ku dengar aku mengatakannya. Meskipun bukan itu yang kumaksud.                “Uh…uh….huuu..” Tangisnya pecah.                “Sayang, kamu baik-baik saja ‘kan?” Aku bertanya lembut.

                Tengah malam disini, California. Berarti pukul 2 siang di Indonesia. Aku mungkin melakukan kesalahan fatal saat aku betul-betul yakin bahwa meninggalkan dia adalah hal terbaik demi masa depan kami. Namun, perkiraan tetaplah perkiraan. Dia, seperti juga wanita lainnya, akan teramat sangat tersiksa bila ditinggalkan dan saat roh bernama rindu mulai mengitari rumahnya. Dia mengandung anakku yang pertama. Beberapa minggu sebelum aku tiba disini, dokter berkata bahwa anakku adalah laki-laki. Suatu kebanggaan. Memang Indah menginginkan anak laki-laki dan Alhamdulillah Allah mengabulkan doanya. Terpancar binar matanya saat dokter mengabari itu. Lalu aku memeluknya.

                Entah, akhir-akhir ini Indah sering menangis dan menanyakan kabarku. Mungkin Indah belum siap untuk semua ini padahal, saat kuliah Indah mengambil jurusan Psikologi dan berakhir dengan summa cumlaude dikampus. Ternyata terbukti, bahwa teori saja tak cukup untuk menjalani hidup ini bila kita tidak mengalaminya sendiri. Indah sering kehilangan kontrol emosi sejak rahimnya diisi oleh calon pangeran kecilnya.

                “Sakit sayang, sakittt… huu… uh..” Indah merintih.                Aku berdiri dan menyalakan lampu. Lalu kemudian aku berjalan untuk mencuci muka dan kembali duduk dikasur sambil memijat-mijat dahiku.                “Aku mohon, bertahan Ndah…” Aku berusaha memberinya motivasi. Sekali lagi, bukan itu maksudku. “Apa perlu aku kembali ke Indonesia dan membatalkan semua perjanjian beasiswa ini?” Aku bertanya serius.

                Indah terdiam. Bukan, Indah menjawabku dengan tangisannya yang semakin lama membuatku kebingungan. Indah masih bernapas dengan hembusan yang kuat, sampai-sampai aku merasa bahwa Indah berada didekatku.

                “Indah?” aku bertanya lembut.

                “Uhh…huu…”                Dia masih menangis. Baiklah, kurasa hal yang paling penting sekarang adalah mendengar semua keluhannya, rasa sakitnya, kerinduannya, dan semua tentangnya.

                “Oke.oke. Sekarang, apa kamu mau berbicara sesuatu? Aku akan mendengarkan.” Untuk hal yang tidak aku sadari, ternyata aku tersenyum saat mengatakan ini.

                Tidak ada yang terdengar selain suara tangisan Indah dan detik yang berlomba dengan bunyi detak jantungku. Aku harap-harap cemas menanti pengakuannya. Setidaknya untuk sekedar memahami bahwa keluhannya adalah curahan hatinya.

                Masih belum terdengar jawaban darinya. Saat ini aku memanfaatkan waktu untuk mengoreksi, kesalahanku. Barangkali ada sesuatu yang aku lakukan sehingga semua ini terasa begitu berat untuk dijalani. Terutama untuk Indah. Sepertinya, aku mulai menemukan benang merahnya saat ia menjawab pertanyaanku sebelumnya.

                “Aku… uh…” Indah mulai berbicara.               
                 “Iya sayang?”              
               “Aku mau kamu kembali… kumohon.”

                Aku terdiam…    

             
 Semoga suka ya. Find me on twitter, @Iman_rk ^^

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top