Setiap yang terlewati, bagiku
adalah hembusan napas perjuangan yang tak bisa ku abaikan. Karena setelah
Ramadhan yang ke 12 aku telah baligh dan wajib bagiku untuk turut berjuang dan
menumpahkan darah di jalan ini walau aku bukan pahlawan. Ku sadari ada dalam
tiap lisan dan hati yang belum aku setarakan, dimana ada pula saat keduanya
jauh daripada iman. Sungguh ku sesali.
Namun atas dasar itukah harus ku
tinggalkan ummat yang sekarang hidup dalam gelap ? Aku bukanlah malaikat yang
tiada nafsu dan pikiran, yang dimana harus ku hentikan dakwah hanya karena
secuil dosa. Aku berharap meski lisan dan hati yang telah jauh dari keimanan,
setidaknya aku masih memiliki mata yang masih bisa menangis mengemis
ampunan-Nya.
Ah, ku lupa satu hal ternyata… 18
tahun telah ku lewati, dan aku menatapi diri seolah perjuangan ku selama ini
tiada berarti. Tapi bukankah pepatah arab mengatakan “bahwa malam paling gelap adalah malam yang mendekati fajar?” lagipula
bukan tugasku untuk menghisab semua ini. Ku masih punya Allah.
Terkadang aku tertawa melihat
tingkah polah Ummat Islam, yang sekulerisme berhasil menyeret mereka jauh
hingga tak dapat dijangkau mata. Entah kenapa setiap kali mengajak mereka dan
mengingatkan mereka akan semua itu sama saja memberikan mereka rasa sakit,
mereka lebih suka tenggelam dalam gelapnya sekulerisme dan bermandikan
kedzaliman. Bagaikan laron yang mendekati api, aku mencegah mereka agar tak
mendekati namun mereka justru menyengatku dengan kuku hingga sakitnya sampai ke
ulu hati.
Aku mencintai langit bukan
berarti aku tak menginjak bumi, seolah tak terperi rasa sedihku ketika ku
melihat mereka begitu tenang dalam hidupnya menjalani nikmatnya sistem warisan
syaithan. Sekulerisme, yang mengajak Umat Islam agar tak usah membawa Allah
dalm kehidupan, cukuplah Allah dalam masjid saja. Geram ku mendengarnya dan di
saat yang sama – aku menangis. Seolah-seolah Allah hanya menilai ibadah mereka
hanya dalam shalat dan saat ramadhan, yang dimana janjikan pahala dan limpahan
berkah.
Ku tak pantas mengeluh, sungguh
ku tak pantas. Bilakah pantas aku mengeluh sementara Rasulku sendiri merasakan
kegoncagan, siksa dan airmata tatkala dulu ia berjuang ? Biarlah besi yang
berkarat ketika mereka di makan waktu, namun emas tetaplah emas, yang makin
mengkilap dan cemerlang ketika ia semakin di tempa. Dan itulah harusnya seorang
pengemban dakwah – sepertiku.
Iman Rusmawansyah.
Penya’ir dadakan.
0 comments:
Post a Comment