Friday, April 25, 2014

Izumi #5

4/25/2014 09:27:00 AM



“Semuanyaaa, ayo turun. Semuanya sudah siaaaap.” Fuyutsuki berteriak diujung tangga.
Yahiko dan Izumi bertukar pandangan kemudian serentak menyepakati untuk kembali kedalam rumah yang hangat dan sarat perlindungan.
“Sedang apa diatas sana Yahiko?” Fuyutsuki bertanya. Sambil memasukan makanan dalam mulutnya.
“Ah, tidak hanya menikmati udara malam. Angin musim semi lain daripada yang lain.” Yahko melirik Izumi yang saat baru masuk sudah menyambar majalah kemudian  tengkurap dan membaca majalah dengan ekor matanya. Izumi hanya terdiam dan fokus menatap tiap-tiap baris tulisan dan gambar.
“Oh.” Fuyutsuki berkomentar singkat. “Kita akan begadang berapa lama, Izumi ?” Fuyutsuki melirik Izumi yang sedang menggoyangkan kakinya mirip sedang berenang.
“emmmm… berapa ya…” Izumi hanya menggumam pelan. Matanya tertuju hanya pada tulisan dan majalah itu. “Pagi. Bagaimana?” Izumi mengeluarkan pendapat seolah tanpa berpikir terlebih dahulu.
“Apa?! Pagi ?” Fuyutsuki dan Yahiko berteriak bersama.
            “Hu’um.” Jawab Izumi santai. Belum mengangkat matanya untuk menatap kedua sahabatnya itu.
            “Tidak-tidak! Aku harus ke toko buku besok. Membeli buku tulis baru dan beberapa pulpen serta peralatan sekolah lain, kalau begadang sampai pagi bisa-bisa aku terbangun saat malam!” Fuyutsuki mengeluh. “Bagaimana Yahiko?” Secepat kilat meminta pendapat Yahiko dengan menoleh ke arahnya.
            “Yah, kalau ada Hiruta-san. Aku mau! Hahaha.” Jawab Yahiko dan dikuti tertawanya yang nyaring serta di ikuti oleh tatapan Izumi yang seolah tak senang. Izumi baru kali itu menatap wajah sahabatnya sejak dari tadi. Namun ia kembali membenamkan wajahnya pada majalah itu.
            “Uh, Yahiko tak bisa diandalkan!” Fuyutsuki mengomel. “Baiklah, silakan kalian berbicara dan bercerita. Tapi, ketika pukul setengah satu, aku tidur duluan ya! Aku mau kebawah dulu, mengambil jus!” Fuyutsuki melompat dari tempat duduknya kemudian menggeser pintu lalu turun kebawah dengan berlari kecil sehingga menimbulkan suara bedebam yang lumayan keras.
            “Izumi..” Panggil Yahiko pelan.
            “Humm…” Sahut Izumi pelan.
            “Yakin mau sampai pagi? Kulihat, kau sendiri sudah tak tahan lagi.” Yahiko berkata setengah mengejek. “Kalau mau tidur duluan, silakan. Aku mau kembali keatas, melihat langit dan bintang musim semi lagi.”
            Izumi menutup majalahnya dan melempar kesamping, lalu bangkit  dan mengambil posisi untuk duduk bersila. Mengibas dan merapikan rambutnya kebelakang.
            “Yahiko, aku ingin bertanya padamu.” Izumi menatap Yahiko lekat-lekat.
            “Hei, ada apa? Wajahmu membuatku takut,” Yahiko menarik wajahnya. “Biasa saja lah..”
            “Hehe, maaf. Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin bertanya padamu, tidak, bahkan semua teman satu kelas.” Kata Izumi.
            “Tentang?” Yahiko mengernyitkan dahi.
            “Hiruta, maksudku, tentang kehidupan Hiruta. Ya, barangkali sebagai pengagum Hiruta kau lebih tahu…” Lanjut Izumi.
            “Owh, ya..ya.. sepertinya menarik. Hehehe. Ada apa?”

            Dalam ruangan yang sebesar enam kali tujuh meter itu, Izumi ingin bertanya dengan serius pada Yahiko. Pertanyaan yang barangkali Yahiko ketahui jawabannya, sesuatu yang sudah delapan bulan ini mengusik Izumi. Bahkan mengusik seluruh lini kehidupan Izumi, juga segala sesuatunya. Izuna yang baru saja kembali dari pendidikan kedokteran disalah satu Universitas  Singapura itupun sampai harus ikut andil dalam kegalauan Izumi tentang Hiruta. Barangkali Yahiko tahu. Keterlaluan bila dia tak tahu tentang rahasia ini. Izumi membatin.

            Memang dua hari sebelum Hiruta dan Inari, kakak perempuannya, berangkat ke Akihabara untuk menemani Hiruta membeli iPod, Hiruta sempat mengucapkan sesuatu pada Yahiko mengenai sikapnya yang berlebihan dalam mengagumi lelaki. Saat itu Hiruta sedang berjalan sendirian kemudian tiba-tibaYahiko berlari mengejar Hiruta dari belakang. 

Hiruta berkata dengan singkat, “seandainya kau memahamiku, kau tidak akan bersikap seperti ini. Satu hal lagi, tidak sepantasnya wanita mengeluarkan suara sekeras itu dihadapan lelaki yang bukan mahram.” Hanya itu yang Hiruta sampaikan pada Yahiko lantas kemudian pergi dan berbalik. Yahiko terpaku dan menggaruk kepala serta mengernyitkan dahi.

            “Kau tahu kenapa Hiruta selalu menjauh dan kadang menghilang saat makan siang?” Izumi bertanya.
            “Sepertinya ke Perpustakaan. Kurasa…” Yahiko mengerucutkan bibir dan menggeser bola matanya keatas. “Aku melihatnya ketika usai makan siang, ia selalu keluar dari sana.” Lanjut Yahiko.
            “Bagaimana ya, tahun lalu saat kelas II. Dalam kelas aku menghampirinya dan bertanya padanya. Ia menjelaskan… dan yah, kau tahu, sangat terbuka. Kupikir itu akan menjadi hal privasi baginya dan tak boleh seorangpun tahu. Ia menjelaskan sambil menunjukkan sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan yang tak bisa kubaca. Tapi aku rasa mengenal tulisan itu.”
            “Tulisan?”
            “Ya, seperti tulisan bangsa arab. Aku pernah melihatnya di buku sejarah Kedokteran Kak Izuna, katanya Kedokteran zaman dulu berasal dari timur-tengah. Tahun lalu memang aku tak mengerti tulisan itu, tapi rasanya setelah aku tak sengaja membuka buku-buku kak Izuna, kurasa aku telah mengenalnya.”
            “Ohh, begitu.” Yahiko sejak 2 menit lalu sudah mengunyah tempura yang telah ia celupkan terlebih dahulu dalam mangkuk kecil yang berisi sambal. “Lalu hubungannya dengan tidak makan siang kenapa? Jangan buat pusing dong, sudah tengah malam, Izumi-san.”

            Percuma saja. Menjelaskan pada Yahiko sama saja menjelaskan pelajaran mate-matika. Ditambah, Yahiko juga sama dengan Izumi. Sama-sama atheis. Bagaimana mungkin mengatakan dan menjelaskan pada mereka bahwa matahari itu terang sementara sekarang mereka berada pada malam hari? Setidaknya, itulah penjelasan dan perumpamaan bagi Izumi dan Yahiko bahkan seluruh kelas III E yang memang tidak memiliki Agama.

            Tiba-tiba pintu terbuka dan Fuyutsuki telah kembali naik membawa satu botol jus dan tiga gelas kecil.

            “Membicarakan apa saja? Lanjutkan saja ya. Ini gelas kalian masing-masing” Fuyutsuki merapikan gelas serta meletakkannya dihadapan Yahiko dan Izumi. “Fuyutsuki ini mau tidur dulu. Ah, maaf Izumi-san, aku tak bisa menemani kalian. Selamat tidur.” Ia berdiri kembali dan menaiki ranjang empuk Izumi yang terletak beberapa langkah dari tempat mereka berdiskusi dan mengemil.
Yahiko hanya bisa menatapnya. Izumi mendongak melihat wajah Fuyutsuki.
            “Tidak apa, lanjutkan saja.” Katanya sekali lagi.

Izumi dan Yahiko menghela napas. Memang sudah pukul 1 pagi. Tidak akan baik bagi kesehatan bila mereka masih memaksakan diri untuk bertahan dan berbicara lebih lama lagi, sekalipun mereka memilih topik kesukaan dan menyenangkan. Bagi wanita, membicarakan sesuatu untuk mengeluarkan ganjalan dalam hatinya adalah sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, maka mereka akan rela duduk berbagi rasa suka dan duka hanya untuk mengeluarkan ganjalan itu dalam hati lembut mereka. Diluar jendela, aktivitas manusia sudah tidak terdengar lagi. Meskipun sesekali bunyi klakson mobil yang hendak mengusir kucing yang menyebrang jalan secara tiba-tiba sesekali terdengar dari dalam oleh Izumi dan Yahiko.

Tidak butuh waktu lama, Fuyutsuki yang menjatuhkan dirinya diatas kasur sudah terdengar bunyi napasnya. Tanda ia sudah terlelap.

“Hehehe, menjadi Fuyutsuki enak sekali. Baru sebentar membaringkan badan sudah langsung memasuki dunia mimpi dengan mudah.” Izumi membuka percakapan lagi.
“Dia kelelahan. Sejak tadi pagi dia membantu Ibunya untuk mengurus barang-barang yang akan dijual ditoko.” Kata Yahiko sedkit mengagumi.
“Hmm…” Izumi bergumam. “Lalu, bagaimana dengan kita berdua? Apakah masih mau melanjutkan petualangan ini sampai besok pagi?”
“Kurasa cukup. Baiklah, semua ini biar aku yang membereskan.” Yahiko bangkit berdiri dan membungkuk untuk memungut plastik dan bungkusan biskuit yang berserakan juga piring yang berpisah-pisah disatukan jadi satu tumpukkan.

Izumi mengikuti. Namun tidak membereskan makanannya. Ia hanya berdiri lalu berjalan kearah meja dan cermin sekaligus, tempat dimana ia meletakkan berbagai alat kosmetik dan kecantikannya. Ia menatap dirinya sendiri beberapa saat. Yahiko yang mengangkat piring-piring melirik Izumi dan sedikit tersenyum melihat tingkah temannya itu. “Sudah, tak ada laki-laki yang melihatmu malam ini.” Kata-kata itu hampir meluncur dari mulut Yahiko, namun ia tahan dan segera membalikkan badan dan segara ia ganti dengan seringai lebar. Tersenyum melihat temannya itu.

“Dua hari lagi aku akan bertemu dengan Hiruta, bertanya tentang segalanya. Akan kutanya apa itu Islam dan Alquran serta apa itu mahram, juga wudhu dan semua kalimat aneh yang ia jelaskan padaku setahun yang lalu…” Izumi membatin sambil meletakkan 2 tangannya keatas meja lalu menyandarkan sikutnya serta menopang dagu dan menatap alat rias wajah dengan tatapan kosong. Ia mengibas rambutnya dengan lima jari putihnya kebelakang lalu membiarkannya terurai lagi menutupi wajahnya. “Hiruta, kenapa kau harus menjadi Muslim dan membuat dirimu tertutup seperti itu? Kau hebat, tampan, berwibawa, cerdas juga disukai banyak wanita. Darimana kau berasal?! Kenapa kau begitu misterius!?” Izumi mengepalkan tangannya sesaat setelah ia menurunkan dua tapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menopang dagu, Izumi memprotes dirinya sendiri berbicara pada batinnya.

Mikawa Izuna, saudara lakai-laki dari Izumi memang sudah menjelaskan beberapa hal yang ia ketahui tentang agama yang bernama Islam saat ia kuliah di Singapura. Izuna banyak melihat orang-orang yang menyandarkan segala sesuatu dan orang-orang yang percaya pada Yang Maha saat berinteraksi dengan teman-temannya di Singapura. Bahkan, sahabat terdekat dari Izuna sendiri adalah seorang yang menganut Agama Islam. Seorang pemuda laki-laki yang bernama Yusuf Ibrahim. Darisanalah Izuna belajar banyak mengenai Islam dan pengikutnya.

Sesungguhnya, Izumi tidaklah bermaksud mencari tahu tentang Islam dan segala sesuatu tentangnya. Untuk apa? Tidak akan menguntungkanku sedikitpun. Lagipula, disini aku sudah senang dengan banyaknya hal yang bisa kulakukan dengan bebas. Begitulah batinnya setelah ia merasa bahwa dirinya mulai tertarik berbicara dengan Hiruta, namun tidak bisa juga dipungkiri, pertanyaan yang kian menggelayut dikepala Izumi bukan karena Islam, justru karena Hiruta. Ia hanya mengagumi Hiruta, bukan Islam.

Semoga suka :) Find me on twitter: @Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top