“Bagaimana menurutmu?” Tanya Izumi ketika ia
membetulkan posisi duduknya menghadap ke arah depan dan bertanya pada Fuyutsuki
yang sedang asik dengan komiknya.
“Tidak begitu menarik, Hiruta masih nomor satu.”
Katanya tenang.
“Ish, kau ini malah menilai wajahnya.” Izumi sedikit
kesal. “Darimana dia? Kalau kulihat matanya, kurasa dia bukan asli jepang.”
“Tanyakan saja padanya, Izumi-chan… jangan ganggu
aku!” Fuyutsuki memajukan badannya kedepan agar Izumi tidak berbicara padanya
saat itu tatkala ia sedang serius pada cerita dalam komik.
Izumi mengerucutkanbibirnya, ia kembali menoleh
kebelakang. Melihat anak itu. Lalu melhat Hiruta lagi.
Kalau di
pikir-pikir, mereka berdua sama-sama tenang dan kalem. Batinnya.
***
Teng…Teng…Teng…
Istirahat. Sekarang adalah jam
makan siang. Seluruh siswa berhamburan keluar dengan sedikit berdesak-desakan.
Siang ini tidak terlalu panas seperti ketika Natsu, desiran dan hembusan
anginnya lumayan terasa sejuk mengingat musim dingin beberapa hari yang lalu
telah meninggalkan Jepang. Sudah cukup bagi para Siswa merasakan libur panjang,
meskipun beberapa siswa masih saja mengeluh bahwa liburan yang diberikan
terlalu singkat dan mereka berkomentar kenapa
sekolah kita tidak seperti di Hokkaido saja, yang liburannya diperpanjang katanya.
Komentar dan tanya jawab mengenai apa saja yang dilakukan saat liburan menjadi
topik yang paling ramai di bicarakan saat di kantin.
Disana Izumi, Urumi, Yahiko, dan
Fuyutsuki berjalan beriringan menuju kantin. Kadang mereka tertawa
terbahak-bahak karena Urumi sering menirukan gaya Pak Mikami mengajar,
ramburtnya yang botak dan perutnya yang buncit, serta gaya bicaranya yang
lambat dan datar tanpa ekspresi, lalu wajah khasnya yang bulat amat terkesan
lucu tatkala ditambah dengan kacamatanya yang bulat dan tebal membuat Pak
Mikami amat mudah ditiru oleh hampir seluruh siswa. Tinggal mencondongkan saja
perut layaknya ibu hamil delapan bulan lalu berjalanlah mondar-mandir seperti
penguin. Maka, selamat. Siswa berhasil menirunya dengan sempurna.
“Hahaha… aduh, hentikan… hahaha…”
Yahiko sudah tak tahan lagi melihat tingkah polah Urumi yang dari tadi semakin
menjadi-jadi menirukan gerakan Pak Mikami.
“Hahaha, dasar Urumi.” Tambah
Fuyutsuki.
“Hahaha, sudah hentikan. Kalau
ketahuan kita berempat bisa di hukumnya, lho.” Izumi masuk menengahi.
Ya, benar. Ketika mereka masih
kelas II, tiga orang siswa telah dikeluarkan dari sekolah karena menirukan gaya
pak Mikami ditengah lapangan ketika mereka berjalan menuju gedung olahraga.
Saat itu pak Mikami berpapasan dengan mereka dan menyaksikan dengan jelas
ekspresi serta mimik wajah anak-anak itu yang menirukan gaya ketika pak Mikami
mengajar. Lalu, pak Mikami hanya berdeham dan mengatakan kalimat yang bagi siswa
saat itu adalah kiamat. Artinya mereka sudah mengetahui apa yang akan terjadi.
“Ikut aku…” katanya datar. Lalu kemudian salahsatu dari orangtua anak-anak yang
nekat itu protes dan tidak terima bahwa anaknya harus keluar dari sekolah hanya
karena meniru gerakkan. Baginya itu hal yang wajar karena siswa SMA masih
tergolong anak-anak dan masih ingin mencoba beberapa hal, termasuk mencemooh
gurunya sendiri.
“Ajarkan sesuatu pada anakmu,
sebelum kau menyuruh kami untuk mengajarnya.” Kata-kata datar itu meluncur dari
mulut pak Mikami dan membuat orangtua anak-anak tadi terpaku dan mematung
dihadapannya, padahal sesaat sebelumnya orangtua itu berbicara hingga suaranya
terdengar ke ruangan sebelah.
“Hahaha… maaf, maaf. Oh ya, nanti
mau makan apa Izumi?” Tanya Urumi.
“Nanti kita liat.” Jawab Izumi
sambil tersenyum.
Mereka masih tertawa cekikikan dan
menebar senyum sepanjang jalan. Disana, dari kejauhan terlihat para siswa yang
mengantri untuk kemudian mendapat bagian sebelum kehabisan menu-menu special
siang ini. Di kantin SMA ini, tiap harinya dimasak menu yang berbeda-beda. Maka
bisa dipastikan bila pada hari-hari tertentu para siswa ramai mengunjungi
hingga membuat kantin ini sesak dan penuh, itu menandakan bahwa ibu Yamato
memasak sesuatu yang berhasil menembak selera makan para siswa.
“Kalau Fuyutsuki-chan?”
“Terserah.” Jawabnya santai, sambil
menggerakn matanya yang sedang membaca komik.
Urumi mengerucutkan bibirnya.
“Yahiko…Yahiko mau makan apa?”
“Ikut Urumi saja deh.” Jawabnya.
“Yeee….” Urumi memutar dan memeluk
Yahiko karena senang.
Memang, dari keempatnya Yahiko dan
Urumi sangat bersahabat. Keduanya memiliki kedekatan yang khusus, tidak
mengejutkan karena memang keduanya telah bersama sejak SD. Maka, hampir segala
sesuatu yang disukai oleh Urumi pasti Yahiko juga menyukainya. Mereka memiliki
banyak kesamaan. Meskipun dulu ketika mereka masih SMP hubungan keduanya sempat
retak dan hampir pecah hanya karena menyukai laki-laki yang sama dalam kelas.
Seiring berjalannya waktu, mereka sepakat untuk tidak mengulangi kejadian itu
lagi bahkan tidak akan sedikitpun mengusik masa yang kelam itu. Bagi mereka,
itu adalah dosa yang tak termaafkan. Meskpiun terdengar berlebihan, namun rasa
sakit yang ditimbulkan oleh perasaan cemburu sangat sulit untuk disembunyikan.
Izumi mencoba mencari seseorang yang ia
nantikan kehadirannnya. Ia menyapu segala pandangan yang ada didepannya,
berharap mendapati seorang yang sedari tadi membuat ia harus waspada dan
mencari-cari. Belum ia temukan. Ia menoleh kiri-kanan, menjinjit ditengah
keramaian.
“Izumi, ayo duduk!” Yahiko menarik
ujung bajunya. “Nanti tempatmu akan di isi orang.”
“Sebentar…” Izumi berkilah.
Ia keluar dari meja makan dan
menerobos ditengah kerumunan. Bertanya-tanya. Dimana dia? Bisiknya pelan. Nyaris bersuara. Apa dia menyendiri dalam kelas karena belum mendapatkan teman bermain?
Izumi merasa penasaran dengan anak
itu. Ia ingin segera mengajaknya bicara, bertanya darimana asalnya sebenarnya,
kenapa pindah disekolah ini dan kenapa memilih kelas III E.
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dan seakan membentur kepala Izumi dari
dalam. Pertanyaan yang harus segera dikeluarkan dari dalam kurungannya.
Ah,
iya… jangan-jangan… Izumi menyadari sesuatu. Ia segara
meninggalkan tempat itu, makan siang, juga teman-temannya yang kebingungan
melihat Izumi pergi.
@Iman_rk
0 comments:
Post a Comment