Tujuh menit lagi bel masuk akan
dibunyikan. Izumi berjalan dengan langkah cepat menuju perpustakaan. Ke arah utara,
bila berjalan dari kantin. Ia ingin segera menyelesaikan agenda yang ia tulis
sejak tadi malam dan harus ia selesaikan hari ini. Bila ia bertemu dengan
laki-laki ini, ia rasa agenda rahasianya bertambah satu.
Beberapa langkah lagi ia akan masuk
ke dalam perpustakaan sekolah. Pada saat ini ia berjalan dari samping, bukan
sekedar berjalan, namun untuk sekaligus memastikan bahwa apa yang dikatakan
Hiruta tentang sholat dan segala sesuatu yang menyebabkannya meninggalkan
kantin akan segera terungkap. Melalui kaca jendela, ia melihat seorang anak
laki-laki yang juga ada dalam ruangan itu. Izumi berhenti sebentar dan
mengernyitkan dahi untuk memastikan apa yang ia lihat tidak salah dengan apa
yang diucapkan oleh hatinya bahwa dalam ruangan itu adalah anak yang memiliki
tinggi badan 174 cm dan memiliki rambut khas dengan model Tin-tin. Kenapa Shisui ada disini? Batin Izumi
sedikit terkejut. Lalu ia sedikit menoleh ke arah kanan, tempat baca yang tidak
menggunakan kursi, namun dibawahnya diberikan karpet coklat sebagai alas. Di
dinding lantai itu dipasang tulisan Mohon
tenang, supaya tidak mengganggu pembaca yang lain. Tempat itu sengaja
dipisah seperti ruangan khusus bagi anak-anak yang ingin membaca namu tidak
menggunakan kursi, seperti tersembunyi. Izumi tersentak dan membuat mulutnya
sedikit terbuka, seperti melihat hantu.
Disana, dilantai yang berkarpet
coklat itu, ruangan yang tak berkursi itu…
Jadi,
itu yang membuat Hiruta harus mengorbankan makan siang? Izumi
mengulang kalimat itu hampir tiga kali. Bahkan lebih.
Ia sedikit merendahkan tubuhnya,
menjongkok supaya tidak terlihat mencolok dan berhati-hati kalau-kalau Shisui
membalikkan badannya dan seketika melihat Izumi yang mengintip lewat jendela.
Izumi melihat Hiruta duduk lalu
menoleh ke arah kanan sesaat kemudian ke arah kiri. Lalu mengusap wajah dan
menengadahkan tangan ke atas. Dan yang membuat Izumi semakin ketakutan atau
lebih tepatnya disebut kebingungan adalah melihat Hiruta menggumamkan sesuatu.
Seperti sedang berbicara dengan seseorang, Wajahnya…
kenapa Hiruta menjadi murung seperti itu? Izumi bertanya-tanya di bawah
kolong jendela.
Hiruta bangkit lalu mengenakan
sepatunya kembali. Izumi semakin fokus memperhatikannya. Lalu ia melihat Shisui
yang masih tak berkutik dari tempat duduknya.
“Sudah selesai?” Shisui bertanya.
“Ehhh?” Izumi terbelalak saking
terkejutnya. Apa dia bertanya padaku?
Gawat!
“Sudah.” Jawab Hiruta singkat lalu
menuju kursi Shisui.
Oh,
dia bertanya pada Hiruta-san. Izumi masih terpaku.
Shisui membalikkan badan.
“Bagaimana rasanya?”
“Kau takkan mengerti sebelum
mencobanya.” Hiruta tersenyum, membuat Shisui harus memasang ekspresi jijik
penuh kebencian.
“Jangan membuatku tertawa
Hiruta-kun. Ada banyak hal di Dunia ini yang masih harus kau buktikan, kau terlena
dengan sugestimu sendiri melalui gerakan-gerakan konyol itu.” Shisui terkekeh. Memandang
Hiruta, tepat ke arah matanya. Menanti jawaban apa yang akan dikeluarkan
Hiruta.
“Oh ya?” Hiruta memandang balik.
“Harusnya aku yang bertanya, bagaimana caramu menjalani hidup dengan tanpa
berpikir bahwa ada sesuatu yang harus kau patuhi melebihi segalanya? Ini adalah
caraku berbicara dengan-Nya, aku mematuhi-Nya dengan jalan yang sudah kuyakini
dan ku buktikan sendiri.” Hiruta menjawab dengan tegas.
Ada
apa dengan semua ini, apa yang sebenarnya terjadi?! Hiruta dan Shisui langsung
akrab tanpa sepengetahuanku. Sejak kapan mereka saling mengenal satu sama lain,
lalu belum sampai satu hari mereka sudah berbicara seperti ingin saling
membunuh.
Izumi betul-betul kebingungan. Ia
tak bisa melakukan apa-apa, ia terjerembab dan menjatuhkan tubuhnya kelantai.
Ia mendengar dengan jelas percakapan itu, ia merasa ada yang tidak beres dengan
kedua laki-laki yang ada dalam ruangan itu. Mereka saling menghina dan
menyerang dengan argument yang tidak Izumi pahami,ingin ia menerjang masuk dan
berpura-pura tidak tahu bahwa dalam ruangan itu ternyata ada mereka, Hiruta dan
Shisui. Untuk sekedar melerai pertengkaran dingin itu. Namun, Izumi menyadari
bahwa Shisui bukan orang sembarangan jika dilihat dari cara dia bertanya pada
Hiruta dengan cara yang sama sekali tak terpikirkan. Ada nafsu yang lain dalam pertanyaan itu, aku yakin Izumi membatin,
untuk kesekian kalinya.
Ia naik lagi, menguping lagi
melalui jendela yang sama.
“ –
tak akan ada waktu yang cukup untuk menceritakannya padamu. Namun bila kau tak
keberatan, memasang telinga kecilmu yang kemerahan itu, aku akan membuktikannya
juga padamu, Shisui.” Hiruta menjelaskan. Dengan nada yang pedas, Hiruta tidak
tahan lagi dengan sikap dan kata-kata Shisui yang mengejek cara dia mengerjakan
sholat.
Shisui
melompat bangun dari tempat duduknya, membuat kursi empat kaki itu terjatuh dan
kehilangan keseimbangan akibat gerakkan Shisui yang tiba-tiba. Lalu terdengar
suara kaca yang terbentur sesuatu. Ternyata kepala Izumi yang terbentur karena
kaget melihat Shisui yang tiba-tiba berdiri. Shisui memiringkan kepala ke arah
kaca yang bergetar itu, lalu membalikkannya dalam keadaan semula. Mungkin ia
sadar bahwa ada yang menguping pembicaraan ini.
Ia
berjalan langkah demi langkah menghampiri Hiruta, dekat… semakin dekat… ia
mengatakan sesuatu. Hiruta berdiri dengan tenang dan masih tersenyum dengan
biasa, eskpresi yang membuat para wanita rela membuang rasa malunya hanya untuk
memuji senyum itu dengan suara keras hingga didengar oleh Hiruta sendiri.
Namun, situasi saat ini lain dan berbeda. Di hadapannya, berdiri seorang atheis
lain. Atheis dengan kemampuan argument yang luar biasa dan berhasil mengetahui ke Islaman
Hiruta ketika mendengar pengakuan Hiruta
sendiri.
Beberapa
menit yang lalu, tepat ketika semua siswa berhamburan pada satu tujuan, kantin,
Shisui merasa kenyang dan merasa tak perlu ada makanan yang mengisi perutnya,
ia mengarahkan kakinya yang panjang menuju perpustakaan. Ia tersenyum sinis
sekaligus merasa ada suntikan lain dalam dirinya ketika bertemu dengan Hiruta
dalam ruangan yang sama. Shisui mengira bahwa Hiruta juga datang karena ingin
membaca buku sama dengannya. Karena, sejak dalam kelas, ia mengagumi Hiruta
karena kecerdasannya dalam dua mata pelajaran sekaligus. Dan dalam kelas tadi,
ia berdebat dengan Hiruta mengenai masalah sejarah jepang. Satu kelas memandang
mereka berdua dan pak Mikawa hanya bisa tersenyum melihat sekaligus menyadari
bahwa ada anak lain yang bisa berdebat dengan Hiruta sampai sejauh itu. Shisui
merasa seperti orang terhormat, dapat bertemu lagi dengan laki-laki misterius
dan memiliki banyak pengagum serta paling disegani disekolah karena
kecerdasannya.
Namun di luar dugaannya, ternyata Hiruta
mengakui bahwa dirinya Muslim. Tujuan Hiruta kemari adalah sholat, bukan
membaca buku. Shisui terkejut mendengar jawaban itu.
Sama
sekali tidak terbesit dalam pikirannya bahwa anak cerdas se-Kyoto adalah
seorang muslim. Karena lumayan cerdas, Shisui banyak mempelajari agama dan
banyak melakukan diskusi dengan guru-gurunya, yaitu para Biksu dan para
pendeta, untuk membuktikan bahwa apakah Tuhan itu ada.
Sekarang,
dihadapannya, berdiri seorang Muslim yang selama ini ia cari. Agama yang dalam
pandangannya tak berdalil samasekali, agama aneh, begitu pula para penganutnya.
Ya,
berdiri seorang Muslim. Dengan jarak yang benar-benar dekat dengannya, mereka
benar-benar bertemu dalam satu ruangan. Hanya mereka berdua.
“Ya,
aku tak punya waktu. Lain kali saja.” Ia membisiki di telinga Hiruta. Menepuk
lengan atas Hiruta dan tangan kiri serta senyuman yang aneh, tanda meremehkan.
Shisui
berjalan keluar dari ruangan, dengan wajah yang sangat tenang dan tampan ia
melewati Izumi, yang berdiri kaku menatapnya berjalan. Namun Shisui terlalu
dingin, sangat dingin. Ia hanya menatap kedepan dan berjalan begitu saja tanpa
melihat disekelilingnya. Bahkan Izumi bertanya pada dirinya sendiri, apa aku tidak kelihatan baginya?
Izumi
terdiam dan hanya mematung menatap murid yang baru saja menginjakkan kaki
kesekolah ini kurang lebih dari 6 jam yang lalu. Keberanian macam apa yang ia
miliki sampai dapat berbicara dengan Hiruta dengan nada dan emosi yang tak
dapat dikendalikan itu. Juga tak dapat dipungkiri, Izumi akhirnya sedikit lega,
merasa ganjalan dalam hatinya telah keluar, tercabut dari akarnya, karena pada
akhirnya Hiruta menemukan lawan yang setimpal.
Izumi
segera berlari menuju pintu perpustakaan, melihat Hiruta tertunduk dengan mengepalkan
tangan. Belum berani ia menegurnya. Namun, akhirnya ia menegurnya.
“Hiruta-san…”
Hiruta bergetar. Getaran yang
mengeluarkan aura aneh, membuat sekelilingnya tak berani mendekat. Apakah ia
marah?! Secepat kilat Hiruta memballikkan badan dan berlari menuju kelas. Seperti
Shisui, ia tak menghiraukan Izumi yang berdiri didepan pintu itu.
Akhirnya, bel masuk berbunyi.
Find me on twitter: @Iman_rk
0 comments:
Post a Comment