Tuesday, June 10, 2014

Izumi #15

6/10/2014 12:19:00 PM


Tujuh menit lagi bel masuk akan dibunyikan. Izumi berjalan dengan langkah cepat menuju perpustakaan. Ke arah utara, bila berjalan dari kantin. Ia ingin segera menyelesaikan agenda yang ia tulis sejak tadi malam dan harus ia selesaikan hari ini. Bila ia bertemu dengan laki-laki ini, ia rasa agenda rahasianya bertambah satu.

Beberapa langkah lagi ia akan masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Pada saat ini ia berjalan dari samping, bukan sekedar berjalan, namun untuk sekaligus memastikan bahwa apa yang dikatakan Hiruta tentang sholat dan segala sesuatu yang menyebabkannya meninggalkan kantin akan segera terungkap. Melalui kaca jendela, ia melihat seorang anak laki-laki yang juga ada dalam ruangan itu. Izumi berhenti sebentar dan mengernyitkan dahi untuk memastikan apa yang ia lihat tidak salah dengan apa yang diucapkan oleh hatinya bahwa dalam ruangan itu adalah anak yang memiliki tinggi badan 174 cm dan memiliki rambut khas dengan model Tin-tin. Kenapa Shisui ada disini? Batin Izumi sedikit terkejut. Lalu ia sedikit menoleh ke arah kanan, tempat baca yang tidak menggunakan kursi, namun dibawahnya diberikan karpet coklat sebagai alas. Di dinding lantai itu dipasang tulisan Mohon tenang, supaya tidak mengganggu pembaca yang lain. Tempat itu sengaja dipisah seperti ruangan khusus bagi anak-anak yang ingin membaca namu tidak menggunakan kursi, seperti tersembunyi. Izumi tersentak dan membuat mulutnya sedikit terbuka, seperti melihat hantu.

Disana, dilantai yang berkarpet coklat itu, ruangan yang tak berkursi itu…

Jadi, itu yang membuat Hiruta harus mengorbankan makan siang? Izumi mengulang kalimat itu hampir tiga kali. Bahkan lebih.

Ia sedikit merendahkan tubuhnya, menjongkok supaya tidak terlihat mencolok dan berhati-hati kalau-kalau Shisui membalikkan badannya dan seketika melihat Izumi yang mengintip lewat jendela.

Izumi melihat Hiruta duduk lalu menoleh ke arah kanan sesaat kemudian ke arah kiri. Lalu mengusap wajah dan menengadahkan tangan ke atas. Dan yang membuat Izumi semakin ketakutan atau lebih tepatnya disebut kebingungan adalah melihat Hiruta menggumamkan sesuatu. Seperti sedang berbicara dengan seseorang, Wajahnya… kenapa Hiruta menjadi murung seperti itu? Izumi bertanya-tanya di bawah kolong jendela.

Hiruta bangkit lalu mengenakan sepatunya kembali. Izumi semakin fokus memperhatikannya. Lalu ia melihat Shisui yang masih tak berkutik dari tempat duduknya.

“Sudah selesai?” Shisui bertanya.
“Ehhh?” Izumi terbelalak saking terkejutnya. Apa dia bertanya padaku? Gawat!
“Sudah.” Jawab Hiruta singkat lalu menuju kursi Shisui.

Oh, dia bertanya pada Hiruta-san. Izumi masih terpaku.

Shisui membalikkan badan. “Bagaimana rasanya?”
“Kau takkan mengerti sebelum mencobanya.” Hiruta tersenyum, membuat Shisui harus memasang ekspresi jijik penuh kebencian.
“Jangan membuatku tertawa Hiruta-kun. Ada banyak hal di Dunia ini yang masih harus kau buktikan, kau terlena dengan sugestimu sendiri melalui gerakan-gerakan konyol itu.” Shisui terkekeh. Memandang Hiruta, tepat ke arah matanya. Menanti jawaban apa yang akan dikeluarkan Hiruta.
“Oh ya?” Hiruta memandang balik. “Harusnya aku yang bertanya, bagaimana caramu menjalani hidup dengan tanpa berpikir bahwa ada sesuatu yang harus kau patuhi melebihi segalanya? Ini adalah caraku berbicara dengan-Nya, aku mematuhi-Nya dengan jalan yang sudah kuyakini dan ku buktikan sendiri.” Hiruta menjawab dengan tegas.

Ada apa dengan semua ini, apa yang sebenarnya terjadi?! Hiruta dan Shisui langsung akrab tanpa sepengetahuanku. Sejak kapan mereka saling mengenal satu sama lain, lalu belum sampai satu hari mereka sudah berbicara seperti ingin saling membunuh.

Izumi betul-betul kebingungan. Ia tak bisa melakukan apa-apa, ia terjerembab dan menjatuhkan tubuhnya kelantai. Ia mendengar dengan jelas percakapan itu, ia merasa ada yang tidak beres dengan kedua laki-laki yang ada dalam ruangan itu. Mereka saling menghina dan menyerang dengan argument yang tidak Izumi pahami,ingin ia menerjang masuk dan berpura-pura tidak tahu bahwa dalam ruangan itu ternyata ada mereka, Hiruta dan Shisui. Untuk sekedar melerai pertengkaran dingin itu. Namun, Izumi menyadari bahwa Shisui bukan orang sembarangan jika dilihat dari cara dia bertanya pada Hiruta dengan cara yang sama sekali tak terpikirkan. Ada nafsu yang lain dalam pertanyaan itu, aku yakin Izumi membatin, untuk kesekian kalinya.

Ia naik lagi, menguping lagi melalui jendela yang sama.

            “ – tak akan ada waktu yang cukup untuk menceritakannya padamu. Namun bila kau tak keberatan, memasang telinga kecilmu yang kemerahan itu, aku akan membuktikannya juga padamu, Shisui.” Hiruta menjelaskan. Dengan nada yang pedas, Hiruta tidak tahan lagi dengan sikap dan kata-kata Shisui yang mengejek cara dia mengerjakan sholat.

            Shisui melompat bangun dari tempat duduknya, membuat kursi empat kaki itu terjatuh dan kehilangan keseimbangan akibat gerakkan Shisui yang tiba-tiba. Lalu terdengar suara kaca yang terbentur sesuatu. Ternyata kepala Izumi yang terbentur karena kaget melihat Shisui yang tiba-tiba berdiri. Shisui memiringkan kepala ke arah kaca yang bergetar itu, lalu membalikkannya dalam keadaan semula. Mungkin ia sadar bahwa ada yang menguping pembicaraan ini.

            Ia berjalan langkah demi langkah menghampiri Hiruta, dekat… semakin dekat… ia mengatakan sesuatu. Hiruta berdiri dengan tenang dan masih tersenyum dengan biasa, eskpresi yang membuat para wanita rela membuang rasa malunya hanya untuk memuji senyum itu dengan suara keras hingga didengar oleh Hiruta sendiri. Namun, situasi saat ini lain dan berbeda. Di hadapannya, berdiri seorang atheis lain. Atheis dengan kemampuan argument yang luar  biasa dan berhasil mengetahui ke Islaman Hiruta ketika mendengar pengakuan Hiruta  sendiri.

            Beberapa menit yang lalu, tepat ketika semua siswa berhamburan pada satu tujuan, kantin, Shisui merasa kenyang dan merasa tak perlu ada makanan yang mengisi perutnya, ia mengarahkan kakinya yang panjang menuju perpustakaan. Ia tersenyum sinis sekaligus merasa ada suntikan lain dalam dirinya ketika bertemu dengan Hiruta dalam ruangan yang sama. Shisui mengira bahwa Hiruta juga datang karena ingin membaca buku sama dengannya. Karena, sejak dalam kelas, ia mengagumi Hiruta karena kecerdasannya dalam dua mata pelajaran sekaligus. Dan dalam kelas tadi, ia berdebat dengan Hiruta mengenai masalah sejarah jepang. Satu kelas memandang mereka berdua dan pak Mikawa hanya bisa tersenyum melihat sekaligus menyadari bahwa ada anak lain yang bisa berdebat dengan Hiruta sampai sejauh itu. Shisui merasa seperti orang terhormat, dapat bertemu lagi dengan laki-laki misterius dan memiliki banyak pengagum serta paling disegani disekolah karena kecerdasannya.

 Namun di luar dugaannya, ternyata Hiruta mengakui bahwa dirinya Muslim. Tujuan Hiruta kemari adalah sholat, bukan membaca buku. Shisui terkejut mendengar jawaban itu.

            Sama sekali tidak terbesit dalam pikirannya bahwa anak cerdas se-Kyoto adalah seorang muslim. Karena lumayan cerdas, Shisui banyak mempelajari agama dan banyak melakukan diskusi dengan guru-gurunya, yaitu para Biksu dan para pendeta, untuk membuktikan bahwa apakah Tuhan itu ada.

            Sekarang, dihadapannya, berdiri seorang Muslim yang selama ini ia cari. Agama yang dalam pandangannya tak berdalil samasekali, agama aneh, begitu pula para penganutnya.

            Ya, berdiri seorang Muslim. Dengan jarak yang benar-benar dekat dengannya, mereka benar-benar bertemu dalam satu ruangan. Hanya mereka berdua.

            “Ya, aku tak punya waktu. Lain kali saja.” Ia membisiki di telinga Hiruta. Menepuk lengan atas Hiruta dan tangan kiri serta senyuman yang aneh, tanda meremehkan.

            Shisui berjalan keluar dari ruangan, dengan wajah yang sangat tenang dan tampan ia melewati Izumi, yang berdiri kaku menatapnya berjalan. Namun Shisui terlalu dingin, sangat dingin. Ia hanya menatap kedepan dan berjalan begitu saja tanpa melihat disekelilingnya. Bahkan Izumi bertanya pada dirinya sendiri, apa aku tidak kelihatan baginya?

            Izumi terdiam dan hanya mematung menatap murid yang baru saja menginjakkan kaki kesekolah ini kurang lebih dari 6 jam yang lalu. Keberanian macam apa yang ia miliki sampai dapat berbicara dengan Hiruta dengan nada dan emosi yang tak dapat dikendalikan itu. Juga tak dapat dipungkiri, Izumi akhirnya sedikit lega, merasa ganjalan dalam hatinya telah keluar, tercabut dari akarnya, karena pada akhirnya  Hiruta menemukan lawan yang setimpal.

            Izumi segera berlari menuju pintu perpustakaan, melihat Hiruta tertunduk dengan mengepalkan tangan. Belum berani ia menegurnya. Namun, akhirnya ia menegurnya.

“Hiruta-san…”

Hiruta bergetar. Getaran yang mengeluarkan aura aneh, membuat sekelilingnya tak berani mendekat. Apakah ia marah?! Secepat kilat Hiruta memballikkan badan dan berlari menuju kelas. Seperti Shisui, ia tak menghiraukan Izumi yang berdiri didepan pintu itu.



Akhirnya, bel masuk berbunyi.

Find me on twitter: @Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top