Plek!
Hiruta
menutup bukunya. Membuat suara aneh keluar dari dalam buku yang bersampul keras
itu. Kurasa sudah cukup, mataku tak
sanggup lagi. Batinnya.
Ia
mengangkat bukunya dan meletakkannya di sudut kiri meja dan menggeser buku-buku
kecil lain kemudian menyimpan buku itu dalam susunan yang paling bawah,
mengingat buku itu memang besar dan lebar. Hiruta melompat bangkit, kemudian
mendorong maju kursinya. Merapikan sedikit buku-buku yang terlihat bergeser
dari tempat semula.
Hiruta
menuruni tangga, ia memiringkan kepala ke arah samping tangga untuk
memperhatikan jam dinding yang sama tinggi dengan posisi ia berdiri pada saat
itu. Parah, sudah pukul 02.42 menit.
Sebentar lagi akan jam 03.00. Kalau
tak bisa bangun subuh, barangkali Kak Inari menyiramku seperti biasa.
Keluhnya sambil berdecak pelan. Bunyi bedebam kecil saat langkah kakinya
menuruni tangga membuat Ayahnya tersadar dan terbangun dari tempat tidur.
Insting pelindung laki-laki memang peka.
“Mau
apa tengah malam begini Hiruta-kun?” Tanya Tuan Kazuhiko yang baru saja keluar
kamar akibat getaran langkah kaki Hiruta.
“Moushi wake arimasen, otou-san – Maaf,
Ayah.” Kata Hiruta yang barusaja
terhentak karena terkejut Ayahnya menegur dari bawah. “Aku ingin turun untuk
berwudhu.” Lanjut Hiruta singkat dan menuju area khusus dalam rumah untuk
pengambilan air wudhu yang memang terhubung dengan ruang shalat.
“Pukul
segini? Kamu berwudhu karena hendak tidur atau untuk tahajjud?” Tanya Ayahnya
keheranan.
Hiruta
terdiam.
“Hiruta-kun,
jawab Aku.” Panggil Ayahnya untuk memastikan.
“He…
Hendak tidur, Ayah.” Hiruta tertunduk, tidak berani menatap wajah Ayahnya. Ia
menjawab dengan suara pelan dan terbata-bata.
“Ck!”
Ayahnya berdecak keras. Lalu menutup pintu dan kembali tidur.
Untuk
kesekian kalinya, Hiruta mendapat teguran dari Ayahnya karena begadang terlalu
lama. Bagi Ayahnya, tak peduli apakah Hiruta membaca buku atau sedang melakukan
ativitas yang lain. Sebab, sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga ini bila sudah
lewat dari pukul 22.00, maka kewajiban selanjutnya adalah tidur. Sebab, bila
melebihi waktu yang ditentukan maka saat shubuh akan sulit untuk dibangunkan.
Ayah Hiruta betul-betul memahami.
Hiruta
merasa lain malam itu. Justru penyesalan akan kebiasaan begadang hingga larut
malam tidak seberapa bila dibandingkan dengan penyesalan saat ia melihat wajah
Ayahnya yang entah berapa kali kecewa melihat Hiruta harus melanggar aturan
rumah. Ya, ia tahu, bahwa satu jam lagi akan dilaksanakan shalat shubuh dan
Hiruta akan menyanggupi dan memaksakan diri untuk bangun, namun Ayahnya jauh
lebih khwatir pada kondisi kesehatannya.
Dulu,
saat Hiruta masih kelas satu SMA. Hiruta pernah mengalami pusing dan tiba-tiba
pingsan disekolah, dan faktor utamanya adalah darah Hiruta menurun drastis
akibat begadang. Lalu orangtua siswa dipanggil untuk menghadap lalu diberitahu
apa yang menyebabkan Hiruta tiba-tiba pingsan. Dan saat itu wajah Ayah sangat
berbeda, panik, marah, kecewa, sedih, melihat Hiruta. Meski efek yang
ditimbulkan tidak seberapa, namun rasa sayang Ayah pada Hiruta meruntuhkan
logika Hiruta yang masih dapat menyanggah akan aturan tidur tepat waktu.
Hiruta
berjalan terhuyung ke lokasi tempat pengambilan air wudhu yang bersebelahan
dengan ruang shalat.
Hiruta
kembali ke kamar, berdzikir lalu kemudian memejamkan mata. Mati untuk sesaat
dan berharap bertemu dengan kekasih tercinta, kekasih seluruh kaum mukmin dan
kekasih Allah.
Muhammad
saw…
@Iman_rk
0 comments:
Post a Comment