Saturday, June 21, 2014

Izumi #16


















“Izumi-san, kau tidak pulang bersama kami?” Yahiko bertanya sekaligus mengajak. Disampingnya, berdiri Urumi dan Fuyutsuki.
“Ah, iya aku akan bersama kalian.” Izumi berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di daerah parker khusus yang disediakan bagia para pengendara sepeda.
“Tadi benar-benar keren. Hampir tiap pendapat yang Hiruta keluarkan selalu dibantah dan disanggah oleh Shisui. Dan begitu juga sebaliknya.” Urumi mengatakan dengan semangat, hampir memperagakan tiap gerak-gerik Shisui saat berdiri dan berbicara

Izumi hanya terdiam, fokus pada jalan didepannya. Sesekali menunduk dan hanya mendengar alur pembicaraan yang sudah ia ketahui penyebabnya. “Aku tak menyangka, selain Izumi, ada siswa yang berdebat dengan Hiruta sejauh itu. Bahkan bukan debat biasa, mereka saling menatap.” Tambah Yahiko. “Aku semakin jatuh cinta dengan Hiruta-san!” ia tertawa. Izumi hanya mengangkat kepala dan memandang ke arah Yahiko untuk sekian detik, lalu kembali memandang jalan.

Kalimat Aku semakin jatuh cinta dengan Hiruta-san seolah membuat lubang dalam hati Izumi semakin lebar. Lubang yang selama ini ia tutupi dengan selimut dan karung yang bernama pertemanan. Izumi tak mengerti, semakin hari ia begitu tertekan dan bodohnya, ia tak bisa menjelaskan yang sesungguhnya pada Yahiko bahwa ia juga sangat mencintai Hiruta. Ah, atau hanya sekedar kagum. Saat ini, ia meyakinkan diri bahwa kagum tidaklah sama dengan cinta. Tadi pagi, ketika pelajaran Geografi hampir berakhir, Izumi menatap Hiruta yang sedang menulis. Memperhatikan tiap detail kepala dan rambutnya, lalu Izumi tersenyum. Senyum yang hampir selalu ia tunjukkan ketika hendak tidur; membayangkan Hiruta mengobrol dengannya dengan ramah dan tanpa pertikaian kecil mereka. Tetapi, justru pertikaian demi pertikaian itulah yang membuat segalanya berbeda dan membuat Izumi yakin bahwa, hanya dialah seorang yang mampu membuat Hiruta  merasa jengkel dan tentu saja, tertawa.

“Mereka berdua itu memang spesial. Sepertinya takdir ikut berperan sehingga mereka berdua bisa bertemu seperti ini. Rasanya, sekolah kita memiliki dua pangeran.” Fuyutsuki terkekeh.
“Ah, iya…iya!” Urumi  menyahut.
“Mengutip kalimat dari komik lagi ya? Uhh… jangan berbicara dengan kata-kata yang tidak kami pahami. Iya ‘kan Izumi-san?” Yahiko memanggil Izumi didepannya sekaligus berharap mendapat dukungan.
“Eh? Apa? Iya..iya…” Izumi menjawab sekenanya. Dia tidak begitu mendengarkan.
“Aduhh…” Yahiko mengeluh.

Langit semakin menjingga. Mereka berempat berjalan dengan pelan sambil menikmati angin yang semakin lama semakin keras menerpa wajah mereka. Menerbangkan tiap helai rambut panjang mereka, sehingga sesekali para lelaki yang tidak tahan dengan kecantikan mereka, memanggil dan bersiul. Namun kejahilan anak laki-laki tersebut menghilang dengan sekejap tatkala Izumi menatap mereka, dengan ekspresi yang seolah berkata, kalau kau memang berani, ayo sini! Melihat tatapan itu, anak laki-laki akan saling menyikut dan saling berbisik.

Beberapa saat kemudian, mereka mendapati pemandangan yang tidak mereka percaya. Nyaris merenggut kesadaran mereka, Urumi mencengkeram lengan kiri Yahiko dengan sekencang-kencangnya namun Yahiko tidak bergeming. Fuyutsuki yang dari tadi membaca komik mengangkat kepala dan seolah melihat keajaiban. Waktu berhenti seketika ketika “keajaiban” itu berjalan mendekat, seolah ia memang sudah lama menunggu dari depan jalan untuk bertemu dengan salah satu dari mereka.

“Kamu Izumi ‘kan?” Shisui bertanya.
“I… Iya…”

 Matanya indah sekali. Fuyutsuki membatin. Ia menatap mata Shisui dalam-dalam meskipun Shisui tidak sedang berbicara dengannya. Mata itu memiliki lensa berawarna biru tua. Dan bergaris hitam pada bagian pinggirnya. Ketika melihat ini, Fuyutsuki meragukan jawabannya sendiri ketika ia dimintai pendapat oleh Izumi dan ia berkata bahwa Hiruta tetap nomor satu. Ah, wanita memang terlalu cepat menyimpulkan.

“Maaf, tadi aku tidak menegurmu. Aku takut salah orang.” Shisui tersenyum, melirik ketiga teman Izumi yang lain. Seolah menatap mata Medusa, mereka bertiga seperti sudah menjadi patung batu namun telah dipahat kedalam bentuk manusia. Lalu kembali menatap Izumi, “Baiklah, sekali lagi aku minta maaf. Aku permisi dulu.”

Shisui Niita pergi. Melangkah menjauh dari mereka.



Mereka tidak berbicara dan memberi komentar. Terdiam dan seolah tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang melangkah, seolah mereka lupa bahwa hari sudah semakin sore. Senyum Izumi merekah namun mereka bertiga tak melihat. Senyum yang sama saat seperti ketika ia melihat rambut dan kepala Hiruta.

@Iman_rk

Wednesday, June 11, 2014

(Jalan Mendaki Lagi Sukar) Curhat Colongan.

                Sampai dimana aku sekarang adalah tak penting. Namun dimana langkah ini akan aku bawa adalah sesuatu yang harus aku pikirkan dalam-dalam. Sebab, sejujurnya, aku lelah dalam kebodohanku yang selalu terjatuh dalam lubang yang sama. Tak ku pungkiri bahwa pada kenyataannya, sesuatu yang sampai sekarang ini dapat aku raba dan sentuh adalah bukti bahwa aku hanyalah manusia. Tidak terlepas dari salah dan lupa. Kesalahanku adalah terjatuh, lupaku adalah jatuh kembali  dalam lubang yang sama.

 Berulang kali.

                Meski sudah tak penting, namun aku butuh untuk menengok sedikit kebelakang. Biarlah, aku hanya ingin menatap dan menyesali. Toh, aku tidak ingin kembali kesana. Biarlah, aku hanya ingin mengambil pelajaran. Sejenak. Menghirup udaranya yang kini – mungkin saja – telah mengering. Atau bahkan telah hilang. Biarlah, aku hanya ingin membalikkan badan. Menatapnya jauh-jauh meski jarak pandangku tak mampu sebab tertutupi oleh lemahnya ingatan. Aku merenung.

                Ku ingat dengan jelas saat aku berikrar untuk berjuang dalam jalan ini. Jalan yang mendaki lagi sukar ini, jalannya Guru Kehidupanku. Menapaki jalan “dia” yang telah di utus oleh-Nya, meski kelu lidahku berucap saat itu karena aku tak tahu bahwa jalan ini tak akan mudah. Aku ingat, 2 tahun lalu. Saat kali pertama aku berucap pada yang lain, menyampaikan, mengingatkan seolah aku paham. “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut!” Aku berkata untuk pertama kalinya. Hampir-hampir aku terbunuh. Hampir-hampir aku di hajar. Hampir-hampir aku dijauhi. Namun,  memang begitulah kiranya…

“Jalan mendaki lagi sukar…” Aku mengulang dalam rehatku saat berbaring menanti pagi yang baru.

                Sekarang saat ini, saat aku menulis catatan ini aku masih saja menghadap kebelakang. Aku bertanya, selama 2 tahun ini; apa yang telah kuberikan untuk diriku sendiri selain melanggar aturanNya? Apa yang telah kuberikan pada mereka selain menyakiti hatinya? Apa yang telah aku lakukan untuk Islam selain semakin jauh darinya? Ya Rabb, penguasa langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, ampuni aku… ampuni aku… ~

                Pernah aku bermimpi bahwa aku dapat merubah jutaan manusia agar kembali padaNya, mengingatNya, taat pada hukumNya namun itu hanya mimpi yang dalam dunia nyata aku telah tertipu. Ternyata aku tertipu karena nyatanya aku bahkan belum merubah diriku sendiri. Ya, benar aku sangat mencintai langit namun bukan berarti tak menginjak Bumi. Aku mencintai Ia yang mengendalikan kehidupan alam semseta, bukan berarti aku tak bisa mengira bahwa aku turut berperan dalam mengendalikan diriku sendiri; dan juga mereka. Tentu dengan izinNya.

                Pernah pula aku bersandar pada sesuatu yang bernama harapan saat aku berbicara, menulis, bertindak, agar oranglain dapat mengambil hikmah. Dan kemudian berharap mereka dapat bertindak dengan cara yang sama. Namun apalah daya, taufiq hanyalah mutlak milikNya. Aku hanya bisa menyampaikan, mendakwahkan. Seperti “dia” yang telah diutus.

                Sudah sampai mana aku berjuang? Aku tak tahu…

                Namun, untuk satu hal yang pasti. Demi namaNya, kebesaranNya, aku tak akan rela bila Islam di jatuhkan didepan mataku selama aku masih hidup!

                Ya Allah, hanya diriMu yang kupunya. Dan aku adalah milikMu…
Bismillah…


            Twitter:    @Iman_rk

                

Tuesday, June 10, 2014

Izumi #15


Tujuh menit lagi bel masuk akan dibunyikan. Izumi berjalan dengan langkah cepat menuju perpustakaan. Ke arah utara, bila berjalan dari kantin. Ia ingin segera menyelesaikan agenda yang ia tulis sejak tadi malam dan harus ia selesaikan hari ini. Bila ia bertemu dengan laki-laki ini, ia rasa agenda rahasianya bertambah satu.

Beberapa langkah lagi ia akan masuk ke dalam perpustakaan sekolah. Pada saat ini ia berjalan dari samping, bukan sekedar berjalan, namun untuk sekaligus memastikan bahwa apa yang dikatakan Hiruta tentang sholat dan segala sesuatu yang menyebabkannya meninggalkan kantin akan segera terungkap. Melalui kaca jendela, ia melihat seorang anak laki-laki yang juga ada dalam ruangan itu. Izumi berhenti sebentar dan mengernyitkan dahi untuk memastikan apa yang ia lihat tidak salah dengan apa yang diucapkan oleh hatinya bahwa dalam ruangan itu adalah anak yang memiliki tinggi badan 174 cm dan memiliki rambut khas dengan model Tin-tin. Kenapa Shisui ada disini? Batin Izumi sedikit terkejut. Lalu ia sedikit menoleh ke arah kanan, tempat baca yang tidak menggunakan kursi, namun dibawahnya diberikan karpet coklat sebagai alas. Di dinding lantai itu dipasang tulisan Mohon tenang, supaya tidak mengganggu pembaca yang lain. Tempat itu sengaja dipisah seperti ruangan khusus bagi anak-anak yang ingin membaca namu tidak menggunakan kursi, seperti tersembunyi. Izumi tersentak dan membuat mulutnya sedikit terbuka, seperti melihat hantu.

Disana, dilantai yang berkarpet coklat itu, ruangan yang tak berkursi itu…

Jadi, itu yang membuat Hiruta harus mengorbankan makan siang? Izumi mengulang kalimat itu hampir tiga kali. Bahkan lebih.

Ia sedikit merendahkan tubuhnya, menjongkok supaya tidak terlihat mencolok dan berhati-hati kalau-kalau Shisui membalikkan badannya dan seketika melihat Izumi yang mengintip lewat jendela.

Izumi melihat Hiruta duduk lalu menoleh ke arah kanan sesaat kemudian ke arah kiri. Lalu mengusap wajah dan menengadahkan tangan ke atas. Dan yang membuat Izumi semakin ketakutan atau lebih tepatnya disebut kebingungan adalah melihat Hiruta menggumamkan sesuatu. Seperti sedang berbicara dengan seseorang, Wajahnya… kenapa Hiruta menjadi murung seperti itu? Izumi bertanya-tanya di bawah kolong jendela.

Hiruta bangkit lalu mengenakan sepatunya kembali. Izumi semakin fokus memperhatikannya. Lalu ia melihat Shisui yang masih tak berkutik dari tempat duduknya.

“Sudah selesai?” Shisui bertanya.
“Ehhh?” Izumi terbelalak saking terkejutnya. Apa dia bertanya padaku? Gawat!
“Sudah.” Jawab Hiruta singkat lalu menuju kursi Shisui.

Oh, dia bertanya pada Hiruta-san. Izumi masih terpaku.

Shisui membalikkan badan. “Bagaimana rasanya?”
“Kau takkan mengerti sebelum mencobanya.” Hiruta tersenyum, membuat Shisui harus memasang ekspresi jijik penuh kebencian.
“Jangan membuatku tertawa Hiruta-kun. Ada banyak hal di Dunia ini yang masih harus kau buktikan, kau terlena dengan sugestimu sendiri melalui gerakan-gerakan konyol itu.” Shisui terkekeh. Memandang Hiruta, tepat ke arah matanya. Menanti jawaban apa yang akan dikeluarkan Hiruta.
“Oh ya?” Hiruta memandang balik. “Harusnya aku yang bertanya, bagaimana caramu menjalani hidup dengan tanpa berpikir bahwa ada sesuatu yang harus kau patuhi melebihi segalanya? Ini adalah caraku berbicara dengan-Nya, aku mematuhi-Nya dengan jalan yang sudah kuyakini dan ku buktikan sendiri.” Hiruta menjawab dengan tegas.

Ada apa dengan semua ini, apa yang sebenarnya terjadi?! Hiruta dan Shisui langsung akrab tanpa sepengetahuanku. Sejak kapan mereka saling mengenal satu sama lain, lalu belum sampai satu hari mereka sudah berbicara seperti ingin saling membunuh.

Izumi betul-betul kebingungan. Ia tak bisa melakukan apa-apa, ia terjerembab dan menjatuhkan tubuhnya kelantai. Ia mendengar dengan jelas percakapan itu, ia merasa ada yang tidak beres dengan kedua laki-laki yang ada dalam ruangan itu. Mereka saling menghina dan menyerang dengan argument yang tidak Izumi pahami,ingin ia menerjang masuk dan berpura-pura tidak tahu bahwa dalam ruangan itu ternyata ada mereka, Hiruta dan Shisui. Untuk sekedar melerai pertengkaran dingin itu. Namun, Izumi menyadari bahwa Shisui bukan orang sembarangan jika dilihat dari cara dia bertanya pada Hiruta dengan cara yang sama sekali tak terpikirkan. Ada nafsu yang lain dalam pertanyaan itu, aku yakin Izumi membatin, untuk kesekian kalinya.

Ia naik lagi, menguping lagi melalui jendela yang sama.

            “ – tak akan ada waktu yang cukup untuk menceritakannya padamu. Namun bila kau tak keberatan, memasang telinga kecilmu yang kemerahan itu, aku akan membuktikannya juga padamu, Shisui.” Hiruta menjelaskan. Dengan nada yang pedas, Hiruta tidak tahan lagi dengan sikap dan kata-kata Shisui yang mengejek cara dia mengerjakan sholat.

            Shisui melompat bangun dari tempat duduknya, membuat kursi empat kaki itu terjatuh dan kehilangan keseimbangan akibat gerakkan Shisui yang tiba-tiba. Lalu terdengar suara kaca yang terbentur sesuatu. Ternyata kepala Izumi yang terbentur karena kaget melihat Shisui yang tiba-tiba berdiri. Shisui memiringkan kepala ke arah kaca yang bergetar itu, lalu membalikkannya dalam keadaan semula. Mungkin ia sadar bahwa ada yang menguping pembicaraan ini.

            Ia berjalan langkah demi langkah menghampiri Hiruta, dekat… semakin dekat… ia mengatakan sesuatu. Hiruta berdiri dengan tenang dan masih tersenyum dengan biasa, eskpresi yang membuat para wanita rela membuang rasa malunya hanya untuk memuji senyum itu dengan suara keras hingga didengar oleh Hiruta sendiri. Namun, situasi saat ini lain dan berbeda. Di hadapannya, berdiri seorang atheis lain. Atheis dengan kemampuan argument yang luar  biasa dan berhasil mengetahui ke Islaman Hiruta ketika mendengar pengakuan Hiruta  sendiri.

            Beberapa menit yang lalu, tepat ketika semua siswa berhamburan pada satu tujuan, kantin, Shisui merasa kenyang dan merasa tak perlu ada makanan yang mengisi perutnya, ia mengarahkan kakinya yang panjang menuju perpustakaan. Ia tersenyum sinis sekaligus merasa ada suntikan lain dalam dirinya ketika bertemu dengan Hiruta dalam ruangan yang sama. Shisui mengira bahwa Hiruta juga datang karena ingin membaca buku sama dengannya. Karena, sejak dalam kelas, ia mengagumi Hiruta karena kecerdasannya dalam dua mata pelajaran sekaligus. Dan dalam kelas tadi, ia berdebat dengan Hiruta mengenai masalah sejarah jepang. Satu kelas memandang mereka berdua dan pak Mikawa hanya bisa tersenyum melihat sekaligus menyadari bahwa ada anak lain yang bisa berdebat dengan Hiruta sampai sejauh itu. Shisui merasa seperti orang terhormat, dapat bertemu lagi dengan laki-laki misterius dan memiliki banyak pengagum serta paling disegani disekolah karena kecerdasannya.

 Namun di luar dugaannya, ternyata Hiruta mengakui bahwa dirinya Muslim. Tujuan Hiruta kemari adalah sholat, bukan membaca buku. Shisui terkejut mendengar jawaban itu.

            Sama sekali tidak terbesit dalam pikirannya bahwa anak cerdas se-Kyoto adalah seorang muslim. Karena lumayan cerdas, Shisui banyak mempelajari agama dan banyak melakukan diskusi dengan guru-gurunya, yaitu para Biksu dan para pendeta, untuk membuktikan bahwa apakah Tuhan itu ada.

            Sekarang, dihadapannya, berdiri seorang Muslim yang selama ini ia cari. Agama yang dalam pandangannya tak berdalil samasekali, agama aneh, begitu pula para penganutnya.

            Ya, berdiri seorang Muslim. Dengan jarak yang benar-benar dekat dengannya, mereka benar-benar bertemu dalam satu ruangan. Hanya mereka berdua.

            “Ya, aku tak punya waktu. Lain kali saja.” Ia membisiki di telinga Hiruta. Menepuk lengan atas Hiruta dan tangan kiri serta senyuman yang aneh, tanda meremehkan.

            Shisui berjalan keluar dari ruangan, dengan wajah yang sangat tenang dan tampan ia melewati Izumi, yang berdiri kaku menatapnya berjalan. Namun Shisui terlalu dingin, sangat dingin. Ia hanya menatap kedepan dan berjalan begitu saja tanpa melihat disekelilingnya. Bahkan Izumi bertanya pada dirinya sendiri, apa aku tidak kelihatan baginya?

            Izumi terdiam dan hanya mematung menatap murid yang baru saja menginjakkan kaki kesekolah ini kurang lebih dari 6 jam yang lalu. Keberanian macam apa yang ia miliki sampai dapat berbicara dengan Hiruta dengan nada dan emosi yang tak dapat dikendalikan itu. Juga tak dapat dipungkiri, Izumi akhirnya sedikit lega, merasa ganjalan dalam hatinya telah keluar, tercabut dari akarnya, karena pada akhirnya  Hiruta menemukan lawan yang setimpal.

            Izumi segera berlari menuju pintu perpustakaan, melihat Hiruta tertunduk dengan mengepalkan tangan. Belum berani ia menegurnya. Namun, akhirnya ia menegurnya.

“Hiruta-san…”

Hiruta bergetar. Getaran yang mengeluarkan aura aneh, membuat sekelilingnya tak berani mendekat. Apakah ia marah?! Secepat kilat Hiruta memballikkan badan dan berlari menuju kelas. Seperti Shisui, ia tak menghiraukan Izumi yang berdiri didepan pintu itu.



Akhirnya, bel masuk berbunyi.

Find me on twitter: @Iman_rk

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top