“Izumi-san, kau tidak pulang bersama kami?” Yahiko bertanya sekaligus mengajak. Disampingnya, berdiri Urumi dan Fuyutsuki.
“Ah, iya aku akan bersama kalian.”
Izumi berlari menghampiri teman-temannya yang menunggu di daerah parker khusus
yang disediakan bagia para pengendara sepeda.
“Tadi benar-benar keren. Hampir
tiap pendapat yang Hiruta keluarkan selalu dibantah dan disanggah oleh Shisui.
Dan begitu juga sebaliknya.” Urumi mengatakan dengan semangat, hampir
memperagakan tiap gerak-gerik Shisui saat berdiri dan berbicara
Izumi hanya terdiam, fokus pada
jalan didepannya. Sesekali menunduk dan hanya mendengar alur pembicaraan yang
sudah ia ketahui penyebabnya. “Aku tak menyangka, selain Izumi, ada siswa yang
berdebat dengan Hiruta sejauh itu. Bahkan bukan debat biasa, mereka saling
menatap.” Tambah Yahiko. “Aku semakin jatuh cinta dengan Hiruta-san!” ia
tertawa. Izumi hanya mengangkat kepala dan memandang ke arah Yahiko untuk
sekian detik, lalu kembali memandang jalan.
Kalimat Aku semakin jatuh cinta dengan Hiruta-san seolah membuat lubang
dalam hati Izumi semakin lebar. Lubang yang selama ini ia tutupi dengan selimut
dan karung yang bernama pertemanan. Izumi tak mengerti, semakin hari ia begitu
tertekan dan bodohnya, ia tak bisa menjelaskan yang sesungguhnya pada Yahiko
bahwa ia juga sangat mencintai Hiruta. Ah, atau hanya sekedar kagum. Saat ini,
ia meyakinkan diri bahwa kagum tidaklah sama dengan cinta. Tadi pagi, ketika
pelajaran Geografi hampir berakhir, Izumi menatap Hiruta yang sedang menulis.
Memperhatikan tiap detail kepala dan rambutnya, lalu Izumi tersenyum. Senyum
yang hampir selalu ia tunjukkan ketika hendak tidur; membayangkan Hiruta
mengobrol dengannya dengan ramah dan tanpa pertikaian kecil mereka. Tetapi,
justru pertikaian demi pertikaian itulah yang membuat segalanya berbeda dan
membuat Izumi yakin bahwa, hanya dialah seorang yang mampu membuat Hiruta merasa jengkel dan tentu saja, tertawa.
“Mereka berdua itu memang spesial.
Sepertinya takdir ikut berperan sehingga mereka berdua bisa bertemu seperti
ini. Rasanya, sekolah kita memiliki dua pangeran.” Fuyutsuki terkekeh.
“Ah, iya…iya!” Urumi menyahut.
“Mengutip kalimat dari komik lagi
ya? Uhh… jangan berbicara dengan kata-kata yang tidak kami pahami. Iya ‘kan
Izumi-san?” Yahiko memanggil Izumi didepannya sekaligus berharap mendapat
dukungan.
“Eh? Apa? Iya..iya…” Izumi menjawab
sekenanya. Dia tidak begitu mendengarkan.
“Aduhh…” Yahiko mengeluh.
Langit semakin menjingga. Mereka
berempat berjalan dengan pelan sambil menikmati angin yang semakin lama semakin
keras menerpa wajah mereka. Menerbangkan tiap helai rambut panjang mereka,
sehingga sesekali para lelaki yang tidak tahan dengan kecantikan mereka,
memanggil dan bersiul. Namun kejahilan anak laki-laki tersebut menghilang
dengan sekejap tatkala Izumi menatap mereka, dengan ekspresi yang seolah
berkata, kalau kau memang berani, ayo
sini! Melihat tatapan itu, anak laki-laki akan saling menyikut dan saling
berbisik.
Beberapa saat kemudian, mereka
mendapati pemandangan yang tidak mereka percaya. Nyaris merenggut kesadaran
mereka, Urumi mencengkeram lengan kiri Yahiko dengan sekencang-kencangnya namun
Yahiko tidak bergeming. Fuyutsuki yang dari tadi membaca komik mengangkat
kepala dan seolah melihat keajaiban. Waktu berhenti seketika ketika “keajaiban”
itu berjalan mendekat, seolah ia memang sudah lama menunggu dari depan jalan
untuk bertemu dengan salah satu dari mereka.
“Kamu Izumi ‘kan?” Shisui bertanya.
“I… Iya…”
Matanya indah sekali. Fuyutsuki
membatin. Ia menatap mata Shisui dalam-dalam meskipun Shisui tidak sedang
berbicara dengannya. Mata itu memiliki lensa berawarna biru tua. Dan bergaris
hitam pada bagian pinggirnya. Ketika melihat ini, Fuyutsuki meragukan
jawabannya sendiri ketika ia dimintai pendapat oleh Izumi dan ia berkata bahwa
Hiruta tetap nomor satu. Ah, wanita memang terlalu cepat menyimpulkan.
“Maaf, tadi aku tidak menegurmu.
Aku takut salah orang.” Shisui tersenyum, melirik ketiga teman Izumi yang lain.
Seolah menatap mata Medusa, mereka bertiga seperti sudah menjadi patung batu
namun telah dipahat kedalam bentuk manusia. Lalu kembali menatap Izumi,
“Baiklah, sekali lagi aku minta maaf. Aku permisi dulu.”
Shisui Niita pergi. Melangkah
menjauh dari mereka.
Mereka tidak berbicara dan memberi
komentar. Terdiam dan seolah tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang melangkah,
seolah mereka lupa bahwa hari sudah semakin sore. Senyum Izumi merekah namun
mereka bertiga tak melihat. Senyum yang sama saat seperti ketika ia melihat
rambut dan kepala Hiruta.
@Iman_rk
0 comments:
Post a Comment