Wednesday, October 8, 2014

K-13, Race to Nowhere!

10/08/2014 07:33:00 PM

       Sebagai mantan pelajar, tentu saya memahami bagaimana kultur dan lingkungan dunia pesrsekolahan. Saya juga pernah merasakan Romantisme sulitnya pelajaran yang tidak saya sukai. Merasakan betapa Romantisme-nya saya ketika harus duduk melipat tangan, badan tegap supaya focus, dan mencatat bila ditugaskan untuk mencatat. Saat ini hampir-hampir tak berbeda jauh dari zaman saya.

Dimana siswa harus kembali merasakan “nikmat”nya 16-18 mata pelajaran sekaligus serta dituntut untuk memenuhi standar nilai kelulusan (KKM). Bedanya, hanya terletak di Kurikulum saja. Zaman saya, saya dinaungi oleh KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tetapi, kalau dipikir-pikir saya dan adik-adik kelas saya yang sedang bersekolah itu ibarat “Race to Nowhere”, dalam terjemahannya, “Ya, engga jadi apa-apa juga” artinya, perbedaannya tidak terlihat sekalipun Kurikulum terus berganti.

                Pahit memang, bila kita melihat kenyataan akan pendidikan di negeri kita. Hidup kita jadi terbalik-balik. Seorang pelajar yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa, sedangkan yang sekolahnya main-main, malah bisa jadi pejabat, politisi terkenal atau bahkan pengusaha besar. Tidak jarang kita melihat fakta seperti ini. Karena telah dan sering terjadi hal semacam ini di Negeri kita, sulit rasanya bagi kita melawan buku-buku karya para Motivator, Pebisnis atau apapun profesi lainnya yang menganjurkan cara meraih sukses tanpa melalui bangku sekolah.

Misalnya buku karangan Bob Sadino yang berjudul: Cara Gobloknya Bob Sadino Berwirausaha, atau buku yang ditulis dengan penuh keluguan oleh para motivator dengan judul; The Power of Malas atau Ingin sukses? Tak perlu sekolah! Ini sangat sulit. Mengapa sulit? Tentu bukan sekolah menjadi hal yang tidak penting, melainkan ada yang salah.

Sekarang, coba kita sedikit berpikir. Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat Kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.

Anak lulusan SMA tahun pertama harus menguasai empat bidang Sains (biologi, ilmu kimia, fisika, dan matematika, lalu tiga bahasa, (bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan satu bahasa lain), ditambah PKN, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Agama, Geografi, kesenian, olahraga dan Komputer (TIK). Belum lagi ada yang namanya program baru yang dinamakan Lintas Minat. Yaitu pelajaran tambahan yang “katanya” hasil dari minat siswa sendiri. Apa iya? Silakan tanyakan saja pada siswanya saja, ya.

Saat ini momok pelajaran begitu menjadi sangat menakutkan bagi sebagian pelajar. Ada yang sangat ketakutan ketika setelah istirahat mereka harus berhadapan dengan pelajaran berhitung dan menghafal. Ada yang trauma dengan pelajaran bahasa. Dan reaksi yang lebih parah ketika para siswa justru ketakutan ketika diajari oleh guru tertentu.

Dan sayangnya, ini terus terjadi dari generasi ke generasi. Kita terus mengkritik generasi Pembebek dengan mengatakan, “Kalian tidak boleh seperti kami, kalian punya jalan sendiri,” tapi disaat yang sama kita terus menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Saat ini, terus terang saja, saya sendiri merasa bahwa ilmu praktik dan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan saat ini justru tidak berasal dari sekolah. Dari 100%, saya hanya memetik 5% saja dari apa yang diajarkan ketika disekolah. 95% sisanya saya dapatkan ketika berada didalam Organisasi, buku diperpustakaan, dan Dunia Maya.

Sekolah, lama kelamaan akan tinggal cerita. Sekolah hanya akan menjadi ajang pelampiasan perasaan untuk memuaskan rasa rindu yang tak terpenuhi bagi para siswa yang memiliki banyak teman dan untuk siswa yang memiliki pacar. Mereka datang kesekolah bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk menguatkan solidaritas kelompok yang telah mereka bentuk.

Sejak SMA saya ingin sekali menumpahkan kesedihan, kekhawatiran, dan kecemasan saya akan pendidikan di Negeri ini. Gelisah dengan metode pembelajaran disekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya, memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.

Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan.

                Dimana masalahnya?

                Masalahnya, saat ini banyak hal yang telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, adik-adik kita dikepung oleh informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala sumber. Guru-guru kita harus merubah cara menyampaikan subjek, metode mengajarnyapun harus lebih fun. Kimia, biologi dan fisika haruslah menjadikan siswa kita berpikir layaknya seorang saintis berpikir, bukan menghafal.

                Namun disekolah-sekolah lain guru-guru justru merasa sebaliknya. Pendidikan menjadi susah berkembang karena katanya, “murid masih sedikit menghafal”. Tingkat stress meningkat, karena guru menolak cara lain, selain hafalan. Maka muncullah pelajar yang sering kerasukan setan menjelang ujian.

                Alhamdulillah, ketika pemerintah berencana mengurangi beban pelajaran siswa disekolah, saya merasa senang mendengarnya. Namun kalau pengurangan hanya dilakukan semata-mata untuk mengurangi jumlah subjeknya atau jumlah mata pelajarannya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “Nowhere” lagi. Sama aja. Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan mata pelajaran yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

                Pengalaman saya sebagai seorang Mastermind dalam tiga komunitas juga sebagai seorang Organisatoris menemukan, bahwa anak yang pintar dan lancar menghafal disekolah belum tentu pintar dimasyarakat. Dan ingat, kegagalan terbesar justru timbul dari anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.
                Maka dari itu, mata ajar yang bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh system pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

                Siswa diatur cara berpikirnya agar tidak selalu membela kelompoknya sendiri didalam maupun diluar kelas, agar tidak jadi siswa yang sempit pemikirannya dan harapannya agar kelak menjadi siswa yang keratif.

                Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaranpun perlu disempurnakan. Jadi sata kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya.

               

                Semoga bisa menjadi PR bersama. Islamic Teens Inspirator, @Iman_rk

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top