Monday, October 27, 2014

Gelembung Takdir

                Berjalan sejauh mungkin dari dunia. Berpisah dengan alam meski sebelumnya pernah menyatu. Aku menari-nari didalam gelembung takdir, terperangkap dan hanya bisa bergerak sesuai angin membawaku. Lihatlah sejenak bagaimana hakikatnya kita bergerak. Lihatlah sejenak bagaimana hidup membawa kita menuju kehidupan.

                Kesunyian. Ya, hanya kesunyian yang berarti. Aku, kau dan kita semua kini terperangkap dalam gelembung takdir yang menunggu untuk dipecahkan hingga akhirnya kita bisa bebas dan menuju kehidupan yang sesungguhnya.

                Dalam gelembung inilah hidup. Dan setelah gelembung ini pecah, maka kawan baru juga kawan lama yang lebih dulu hidup dibanding kita kelak akan berkumpul dan dimintai kesaksian atas semua perilaku kita saat berada dalam gelembung. Saat dalam gelembung kita mungkin bisa saja  berteriak, mengutuk, berbicara banyak hal yang mungkin saja itu dusta. Tapi saat dimana kita berkumpul disuatu ruang dimana kehidupan akan dimulai sesungguhnya, mulut takkan bisa berbicara lagi. Hanya kaki dan tanganlah yang bersaksi.

                Gelembung itu lemah, tipis, rapuh. Tapi kita seolah bangga dan merasa bahwa hidup didalamnya adalah abadi. Betapa konyolnya kita. Betapa bodohnya kita. Betapa tak tahu dirinya kita. Kehidupan sesungguhnya itu nanti.

                Saat ini biarlah kita sejenak menunggu giliran kapan gelembung takdir kita akan pecah. Entah itu pecah dengan sendirinya atau dipecahkan oleh orang lain. Namun satu hal yang pasti, bahwa kita hidup dalam gelembung takdir yang kapan saja – mau tidak mau, akan pecah dan membawa kita dalam Kehidupan dan bertemu dengan Peniupnya.

                @Iman_rk on twitter | _imanion_ on ig. Thanks :) 

Thursday, October 23, 2014

13

Aku pernah mendengar sebuah dongeng atau cerita dari mereka yang mengatakan bahwa angka 13 itu adalah angka dimana harimu penuh dengan ketidakwajaran. Bagaimana ya? Baiklah, kata mereka, angka 13 itu adalah tanda kesialan.

Terlepas dari apapun dan dengan cara bagaimanapun mereka berkata, pada intinya mereka berusaha meyakinkanku bahwa angka 13 tak baik untuk didekati. Misalnya, bila ingin berpergian jangan memilih tanggal 13. Bila ingin memesan kamar, jangan pesan kamar nomor 13. Bila memiliki kendaraan, jangan sampai platnya memiliki angka 13. Intinya, “jauhkan dirimu sejauh mungkin dari nomor 13!” katanya.

13. 

Sejuta tanda tanya aku berusaha, seberusahanya mereka ketika meyakinkanku. Aku meyakinkan diri, semeyakinkannya mereka menganggap angka 13 itu buruk. Bahwa 13 tidak berpengaruh sama sekali dalam hidupku.

Aku mengenal seekor Peri Kecil muram diketeduhan pohon kertas. Aku melihat Peri Kecil muram dikeheningan suatu malam. Aku mengakui karena aku mengenalnya bahwa, dia tercipta dari sperma dan ovum yang kemudian mewujud kedunia ini pada tanggal 13. Namun harus kau ingat, kemuramannya bukan karena tanggal 13.

Ia hanya mencari makna akan hidupnya yang tak lama, itulah bijaknya ia. Ia mencari kebaikan dari dalam lumpur keburukan sekitarnya, itulah manisnya ia. Ia berusaha tersenyum dari semua rasa yang tak adil untuk hatinya, itulah mengapa… itulah mengapa aku menyebutnya Peri Kecil Muram.

Aku juga mengingat saat dimana kebaikan ditumpahkan dari langit saat malam yang ke 13. Aku mengenal saat malaikat turun dari langit saat minggu yang ke 13. Aku juga bahkan tahu bahwa Tuhan turun kelangit dunia saat sepertiga malam yang terakhir pada bulan yang ke 13.

Sejenak aku beritahu bahwa aku tidak sedang berbohong. Aku juga semesta setidaknya mengetahui, bahwa kalianlah yang telah mengarang cerita tentang keburukan 13. Kalianlah yang buruk. Kalianlah yang buruk dengan sejuta kebohongan kalian. Menipu dan menipu tentang 13.

Dan satu lagi tentang 13.

Aku mencintai angka ini. Dengar? :) 


@Iman_rk on twitter.

Dan Gunung-gunung pun bergema.

Ini saya coba sampaikan sesuatu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengatakan ini tapi selalu saya tahan karena saya pikir belum ada kesempatan yang bagus. Juga saya rasa belum ada kesiapan yang matang, terutama untuk hati saya.

Ini aneh, Alila. Saya mencoba berusaha agar semuanya baik-baik saja dan terlihat tidak begitu merepotkan kamu terutama saat mungkin surat ini sudah sampai ditangan kamu. Kamu gak keberatan kan? Saya harap begitu. Mudah-mudahan kamu mau membacanya sampai selesai. Tolong, ya.

Saya masih ingat tentang sungai yang terbelah dengan sendirinya, bulan yang bercahaya seperti kunang-kunang, dan gunung-gunung yang bergema. Mudah-mudahan kamu gak lupa. Saya masih ingat tentang hari saat langit menangis dan kita terjebak disekolah, berdua. Tentang saat awan mewujud seperti gajah bagimu tapi seperti kuda nil bagiku. Mudah-mudahan kamu gak lupa. Juga tentang tali sepatu yang kamu tertawakan karena saya lupa mengikatnya, tentang dasi biru muda yang kamu perbaiki, tentang topi yang kamu pinjami. Mudah-mudahan kamu gak lupa, Alila.

Kenapa semua ini begitu cepat berlalu? Saya juga belum menemukan jawabannya. Mudah-mudahan kamu bisa menjawabnya disana.  Dari semua hamparan lembah kisah yang kita lewati, dari bukit-bukit pohon pinus kita berdiri, dari semak-semak mawar yang berduri kita jalani. Saya masih ingin berjalan beriringan sama kamu, Alila. Sekalipun sakit sekalipun pahit.

Ada candu yang saya rasakan dan, apa kamu juga merasakannya? Tetapi candu ini lain. Oh iya, candu itu kan saat seseorang mulai tak bisa memisahkan diri dengan hal yang ia sukai, sampai-sampai berpengaruh besar dalam hidupnya. Sama, saya merasakan candu yang luar biasa saat saya kehilangan kamu. Tapi, saat saya merasakan candu ini entah kenapa dada saya terasa sakit.

Kamu masih disana, Alila?

Dirumah, topi yang kamu kasih ke saya masih saya simpan. Warnanya masih biru muda dan nama SMA kita belum luntur. Juga nama kita yang kita gurat bersama saat langit menangis waktu itu juga belum pudar dibagian bawah kerucutnya. Bagaimana dengan dasi yang saya berikan? Apa masih kamu pakai? Oh iya, saya lupa. Sudah kamu buang ya. Haha.

Saya gak ngerti kenapa sampai sekarang saya gak bisa memaafkan diri saya. Kesalahan ini lebih berat bagi saya dibanding dosa apapun. Saya menyesal, Alila. Sangat menyesal. Sekalipun mungkin ada secercah harapan dan kamu memaafkannya tapi hati tak bisa berbohong. Bahwa meminta maaf dan memberi maaf takkan bisa mengobatinya. Lagipula, apa dengan dua kata ini semua tentang kita akan terulang lagi?

Setelah semua yang kita lalui?

Dimanapun kamu, Alila, mungkin dengan surat ini mewakili. Maafkan saya yang gak kirim lewat e-mail, BBM, SMS, Line, Whats app, atau apapun. Saya rasa dalam bentuk kertas ini pun akan segera kamu buang. Mungkin.

Apa ini mengganggumu, Alila? Maaf ya, saya sita waktumu.

Mudah-mudahan kamu bisa jalanin hidup dengan lebih baik lagi. Kamu bisa tersenyum dan tertawa meskipun itu bukan karena saya. Mudah-mudahan setelah ini tidak ada air mata yang jatuh sia-sia, saya tahu itu karena kamu cengeng. Hehe.

Sekarang saya gak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin dengan sungai yang terbelah, bulan yang seperti kunang-kunang, juga gunung-gunung yang bergema. Maafkan saya.

Dan saya harap kamu ngerti bahwa saya kehilangan kamu.

@Iman_rk on twitter | _imanion_ :)

               


Wednesday, October 8, 2014

K-13, Race to Nowhere!

       Sebagai mantan pelajar, tentu saya memahami bagaimana kultur dan lingkungan dunia pesrsekolahan. Saya juga pernah merasakan Romantisme sulitnya pelajaran yang tidak saya sukai. Merasakan betapa Romantisme-nya saya ketika harus duduk melipat tangan, badan tegap supaya focus, dan mencatat bila ditugaskan untuk mencatat. Saat ini hampir-hampir tak berbeda jauh dari zaman saya.

Dimana siswa harus kembali merasakan “nikmat”nya 16-18 mata pelajaran sekaligus serta dituntut untuk memenuhi standar nilai kelulusan (KKM). Bedanya, hanya terletak di Kurikulum saja. Zaman saya, saya dinaungi oleh KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tetapi, kalau dipikir-pikir saya dan adik-adik kelas saya yang sedang bersekolah itu ibarat “Race to Nowhere”, dalam terjemahannya, “Ya, engga jadi apa-apa juga” artinya, perbedaannya tidak terlihat sekalipun Kurikulum terus berganti.

                Pahit memang, bila kita melihat kenyataan akan pendidikan di negeri kita. Hidup kita jadi terbalik-balik. Seorang pelajar yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa, sedangkan yang sekolahnya main-main, malah bisa jadi pejabat, politisi terkenal atau bahkan pengusaha besar. Tidak jarang kita melihat fakta seperti ini. Karena telah dan sering terjadi hal semacam ini di Negeri kita, sulit rasanya bagi kita melawan buku-buku karya para Motivator, Pebisnis atau apapun profesi lainnya yang menganjurkan cara meraih sukses tanpa melalui bangku sekolah.

Misalnya buku karangan Bob Sadino yang berjudul: Cara Gobloknya Bob Sadino Berwirausaha, atau buku yang ditulis dengan penuh keluguan oleh para motivator dengan judul; The Power of Malas atau Ingin sukses? Tak perlu sekolah! Ini sangat sulit. Mengapa sulit? Tentu bukan sekolah menjadi hal yang tidak penting, melainkan ada yang salah.

Sekarang, coba kita sedikit berpikir. Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat Kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.

Anak lulusan SMA tahun pertama harus menguasai empat bidang Sains (biologi, ilmu kimia, fisika, dan matematika, lalu tiga bahasa, (bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan satu bahasa lain), ditambah PKN, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Agama, Geografi, kesenian, olahraga dan Komputer (TIK). Belum lagi ada yang namanya program baru yang dinamakan Lintas Minat. Yaitu pelajaran tambahan yang “katanya” hasil dari minat siswa sendiri. Apa iya? Silakan tanyakan saja pada siswanya saja, ya.

Saat ini momok pelajaran begitu menjadi sangat menakutkan bagi sebagian pelajar. Ada yang sangat ketakutan ketika setelah istirahat mereka harus berhadapan dengan pelajaran berhitung dan menghafal. Ada yang trauma dengan pelajaran bahasa. Dan reaksi yang lebih parah ketika para siswa justru ketakutan ketika diajari oleh guru tertentu.

Dan sayangnya, ini terus terjadi dari generasi ke generasi. Kita terus mengkritik generasi Pembebek dengan mengatakan, “Kalian tidak boleh seperti kami, kalian punya jalan sendiri,” tapi disaat yang sama kita terus menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Saat ini, terus terang saja, saya sendiri merasa bahwa ilmu praktik dan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan saat ini justru tidak berasal dari sekolah. Dari 100%, saya hanya memetik 5% saja dari apa yang diajarkan ketika disekolah. 95% sisanya saya dapatkan ketika berada didalam Organisasi, buku diperpustakaan, dan Dunia Maya.

Sekolah, lama kelamaan akan tinggal cerita. Sekolah hanya akan menjadi ajang pelampiasan perasaan untuk memuaskan rasa rindu yang tak terpenuhi bagi para siswa yang memiliki banyak teman dan untuk siswa yang memiliki pacar. Mereka datang kesekolah bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk menguatkan solidaritas kelompok yang telah mereka bentuk.

Sejak SMA saya ingin sekali menumpahkan kesedihan, kekhawatiran, dan kecemasan saya akan pendidikan di Negeri ini. Gelisah dengan metode pembelajaran disekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya, memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.

Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan.

                Dimana masalahnya?

                Masalahnya, saat ini banyak hal yang telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, adik-adik kita dikepung oleh informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala sumber. Guru-guru kita harus merubah cara menyampaikan subjek, metode mengajarnyapun harus lebih fun. Kimia, biologi dan fisika haruslah menjadikan siswa kita berpikir layaknya seorang saintis berpikir, bukan menghafal.

                Namun disekolah-sekolah lain guru-guru justru merasa sebaliknya. Pendidikan menjadi susah berkembang karena katanya, “murid masih sedikit menghafal”. Tingkat stress meningkat, karena guru menolak cara lain, selain hafalan. Maka muncullah pelajar yang sering kerasukan setan menjelang ujian.

                Alhamdulillah, ketika pemerintah berencana mengurangi beban pelajaran siswa disekolah, saya merasa senang mendengarnya. Namun kalau pengurangan hanya dilakukan semata-mata untuk mengurangi jumlah subjeknya atau jumlah mata pelajarannya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “Nowhere” lagi. Sama aja. Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan mata pelajaran yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

                Pengalaman saya sebagai seorang Mastermind dalam tiga komunitas juga sebagai seorang Organisatoris menemukan, bahwa anak yang pintar dan lancar menghafal disekolah belum tentu pintar dimasyarakat. Dan ingat, kegagalan terbesar justru timbul dari anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.
                Maka dari itu, mata ajar yang bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh system pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

                Siswa diatur cara berpikirnya agar tidak selalu membela kelompoknya sendiri didalam maupun diluar kelas, agar tidak jadi siswa yang sempit pemikirannya dan harapannya agar kelak menjadi siswa yang keratif.

                Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaranpun perlu disempurnakan. Jadi sata kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya.

               

                Semoga bisa menjadi PR bersama. Islamic Teens Inspirator, @Iman_rk

 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top