Sebagai
mantan pelajar, tentu saya memahami bagaimana kultur dan lingkungan dunia
pesrsekolahan. Saya juga pernah merasakan Romantisme
sulitnya pelajaran yang tidak saya sukai. Merasakan betapa Romantisme-nya saya ketika harus duduk melipat
tangan, badan tegap supaya focus, dan mencatat bila ditugaskan untuk mencatat.
Saat ini hampir-hampir tak berbeda jauh dari zaman saya.
Dimana siswa harus kembali merasakan “nikmat”nya 16-18 mata
pelajaran sekaligus serta dituntut untuk memenuhi standar nilai kelulusan (KKM).
Bedanya, hanya terletak di Kurikulum saja. Zaman saya, saya dinaungi oleh KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tetapi, kalau dipikir-pikir saya dan adik-adik
kelas saya yang sedang bersekolah itu ibarat “Race to Nowhere”, dalam terjemahannya, “Ya, engga jadi apa-apa
juga” artinya, perbedaannya tidak terlihat sekalipun Kurikulum terus berganti.
Pahit memang, bila kita melihat
kenyataan akan pendidikan di negeri kita. Hidup kita jadi terbalik-balik.
Seorang pelajar yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi
apa-apa, sedangkan yang sekolahnya main-main, malah bisa jadi pejabat, politisi
terkenal atau bahkan pengusaha besar. Tidak jarang kita melihat fakta seperti
ini. Karena telah dan sering terjadi hal semacam ini di Negeri kita, sulit
rasanya bagi kita melawan buku-buku karya para Motivator, Pebisnis atau apapun
profesi lainnya yang menganjurkan cara meraih sukses tanpa melalui bangku
sekolah.
Misalnya buku karangan Bob Sadino
yang berjudul: Cara Gobloknya Bob Sadino Berwirausaha, atau buku yang ditulis
dengan penuh keluguan oleh para motivator dengan judul; The Power of Malas atau Ingin
sukses? Tak perlu sekolah! Ini sangat sulit. Mengapa sulit? Tentu bukan
sekolah menjadi hal yang tidak penting, melainkan ada yang salah.
Sekarang, coba kita sedikit
berpikir. Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat Kurikulum itu orangnya hebat
sekali? Mungkin dia manusia super.
Anak lulusan SMA tahun pertama harus
menguasai empat bidang Sains (biologi, ilmu kimia, fisika, dan matematika, lalu
tiga bahasa, (bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan satu bahasa lain), ditambah
PKN, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Agama, Geografi, kesenian, olahraga dan
Komputer (TIK). Belum lagi ada yang namanya program baru yang dinamakan Lintas
Minat. Yaitu pelajaran tambahan yang “katanya” hasil dari minat siswa sendiri.
Apa iya? Silakan tanyakan saja pada siswanya saja, ya.
Saat ini momok pelajaran begitu
menjadi sangat menakutkan bagi sebagian pelajar. Ada yang sangat ketakutan
ketika setelah istirahat mereka harus berhadapan dengan pelajaran berhitung dan
menghafal. Ada yang trauma dengan pelajaran bahasa. Dan reaksi yang lebih parah
ketika para siswa justru ketakutan ketika diajari oleh guru tertentu.
Dan sayangnya, ini terus terjadi
dari generasi ke generasi. Kita terus mengkritik generasi Pembebek dengan
mengatakan, “Kalian tidak boleh seperti
kami, kalian punya jalan sendiri,” tapi disaat yang sama kita terus
menciptakan bebek-bebek dogmatik.
Saat ini, terus terang saja, saya
sendiri merasa bahwa ilmu praktik dan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan saat
ini justru tidak berasal dari sekolah. Dari 100%, saya hanya memetik 5% saja
dari apa yang diajarkan ketika disekolah. 95% sisanya saya dapatkan ketika
berada didalam Organisasi, buku diperpustakaan, dan Dunia Maya.
Sekolah, lama kelamaan akan tinggal
cerita. Sekolah hanya akan menjadi ajang pelampiasan perasaan untuk memuaskan
rasa rindu yang tak terpenuhi bagi para siswa yang memiliki banyak teman dan
untuk siswa yang memiliki pacar. Mereka datang kesekolah bukan lagi untuk
mencari ilmu tapi untuk menguatkan solidaritas kelompok yang telah mereka
bentuk.
Sejak SMA saya ingin sekali
menumpahkan kesedihan, kekhawatiran, dan kecemasan saya akan pendidikan di
Negeri ini. Gelisah dengan metode pembelajaran disekolah-sekolah kita yang
terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat
nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya,
memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.
Potensi anak hanya dilihat dari
nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan.
Dimana masalahnya?
Masalahnya, saat ini banyak hal
yang telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, adik-adik kita
dikepung oleh informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi
datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari
segala sumber. Guru-guru kita harus merubah cara menyampaikan subjek, metode
mengajarnyapun harus lebih fun. Kimia, biologi dan fisika haruslah menjadikan
siswa kita berpikir layaknya seorang saintis berpikir, bukan menghafal.
Namun disekolah-sekolah lain
guru-guru justru merasa sebaliknya. Pendidikan menjadi susah berkembang karena
katanya, “murid masih sedikit menghafal”.
Tingkat stress meningkat, karena guru menolak cara lain, selain hafalan. Maka
muncullah pelajar yang sering kerasukan setan menjelang ujian.
Alhamdulillah, ketika pemerintah
berencana mengurangi beban pelajaran siswa disekolah, saya merasa senang
mendengarnya. Namun kalau pengurangan hanya dilakukan semata-mata untuk
mengurangi jumlah subjeknya atau jumlah mata pelajarannya saja, bisa jadi kita
akan bermuara ke “Nowhere” lagi. Sama
aja. Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan
mempertahankan mata pelajaran yang hanya akan disampaikan secara kognitif
belaka.
Pengalaman saya sebagai seorang
Mastermind dalam tiga komunitas juga sebagai seorang Organisatoris menemukan,
bahwa anak yang pintar dan lancar menghafal disekolah belum tentu pintar
dimasyarakat. Dan ingat, kegagalan terbesar justru timbul dari anak-anak yang
dibesarkan dalam lingkungan persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal
bukanlah cara berpikir yang baik.
Maka dari itu, mata ajar yang
bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang.
Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh system pendidikan menghafal yang
sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi
berpikir.
Siswa diatur cara berpikirnya
agar tidak selalu membela kelompoknya sendiri didalam maupun diluar kelas, agar
tidak jadi siswa yang sempit pemikirannya dan harapannya agar kelak menjadi
siswa yang keratif.
Jadi, bukan hanya mata ajaran
yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaranpun perlu
disempurnakan. Jadi sata kira pendidikan memang perlu disempurnakan,
diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya.
Semoga bisa menjadi PR bersama.
Islamic Teens Inspirator, @Iman_rk