Tuesday, March 25, 2014

Izumi #3



               Setahun telah berlalu. Sekolah kenangan SMA 3 Geishu kini telah memudar baik warna maupun ingatan tentangnya. Banyak disudut ruangan cat-cat telah mengelupas dan membuat tekstur tembok menjadi kasar dan bahkan bila menatap bekas terkelupasnya cat itu dengan sedikit menggunakan imajinasi, maka yang terlihat adalah seperti pulau-pulau, kepala hewan, bahkan suatu saat kadang-kadang terbentuk seperti kepala kelinci atau kuda. Semua siswa telah menyelesaikan masa liburan mereka yang menyenangkan setelah menjalani masa-masa tegang Ujian Akhir Semester. Setidaknya bisa membuat mereka lega dan nyaman melewati Fuyu – musim dingin – dirumah masing-masing dengan menyeduh teh dengan keluarga dan menyeruput semangkuk ramen. Saat 1 bulan liburan, Hiruta berjalan-jalan ke daerah Akihabara, pusat elekktronik di Tokyo. Saat ini, Hiruta sedikit memanjangkan rambut higga tengkuk dan sedikit mengikuti tren Harazuku, sedikit mengacak rambutnya. Akihabara adalah surganya para pecinta Anime, atau lebih sering menyandang gelar Anime Kissen. Kafe Komik. Tetapi, tujuan Hiruta bukan untuk membeli segudang komik untuk dijadikan kawan ketika kesepian, tapi untuk membeli i-Pod. Katanya, untuk mendengarkan sekaligus memperlancar bacaannya. Bacaan apa ? Memangnya ada hubungan antara i-Pod dengan memperlancar bacaan? Ya, ada. Hiruta adalah seorang muslim. Maka, dia butuh rekaman ketika para Qari internasioanl melantunkan ayat suci Alquran. Hiruta, selain cemerlang dalam bidanng akademik, ia juga seorang peniru yang baik. Hampir tiap lantunan dan dengungan Qari tatkala membaca Alquran, ia bsa menirunya. Baik dalam nada maupun iramanya.
                Sekarang, 2 hari menjelang masuk sekolah, semua siswa se-Jepang sudah mulai juga harus bersiap untuk melaksanakan Festival Paduan Suara antar sekolah yang akan di adakan ketika satu minggu memasuki ruang kelas. Yah, bisa dikatakan bahwa satu minggu itu digunakan untuk menyapa riang sahabat, teman-teman, dan paling penting memilih tempat dan teman sebangku. Bagi Hiruta, itu bukanlah masalah. Yang menjadi masalah adalah, pertama, ketika dia harus sebangku dengan wanita. Kedua dia tidak punya tempat duduk sama sekali. Namun, untuk yang kedua mustahil terjadi di Jepang, apalagi ini SMA Swasta di Kyoto. Yang paling mengkhawatirkan jelas yang pertama, sebab Hiruta harus berdua dan duduk bersama wanita yang bukan mahramnya selama 7 bulan kedepan. Semua siswa masih utuh bertahan dikelas 3-E. Tidak ada yang pindah sekolah. Yang berbeda hanya kelas mereka yang sekarang berada di satu lantai yang lebih tinggi, lantai 5 tepatnya.

                “Hiruta, minum air putih sebangun dari tidur itu menyegarkan lho.” Tegur Inari, kakak perempuannya.
                Hiruta tersentak kaget. Ia duduk memandang lantai dan melamun disana. Sebab, barusaja ia bangun untuk melaksanankan shalat shubuh.
                “Ah, ya, Kak.” Hiruta menjawab singkat.
                “Sudah wudhu belum? Ayo segera, biar Ayah juga tidak lama menunggumu.” Inari menuruni tangga melewati bahu Hiruta dan berbelok ke kanan menuju ruang wudhu sekaligus bersampingan dengan mushala kecil.

                Hiruta mengikuti Inari dari belakang dan memasuki ruang tempat air wudhu diambil, sedikit mebungkuk, mengangkat dan melipat kain celana hingga betis agar tidak ikut basah karena cipratan air kemudian memutar keran air secukupnya. Seperti biasa, Hiruta yang jail menyipratkan air dengan cara memukul air itu ke arah Inari.

                “Hei! Jangan main-main, airnya dingin, tahu!” Inari berteriak kesal. Namun Hiruta terus-terusan saja menyiramnya dan memercikkan air ke tubuh Inari. Tertawa riang.
                “Kyaaa!! Hentikan, Hiruta!” Inari menahan percikan air dengan kedua tangannya untuk melindungi badan, namun disaat yang sama airnya juga mengenai wajahnya.
                “Haha, Inari-san ‘kan belum mandi pagi.. sekalian saja!” Imbuh Hiruta.
                “Astagfirullah… Hei, kalian berdua sudah seperti anak kecil saja…”

Tiba-tiba dari belakang mereka muncul suara yang sangat mereka kenal. Suara yang telah menidurkan mereka, yang menyanyikan lagu untuk mereka, yang mengajari mereka menyisir rambut dan mengikat tali sepatu, suara yang sudah 19 tahun menemani Inari dan 16 tahun menemani Hiruta. Suara itu, suara lembut Ibu Hiruta dan Inari-san.

“Hiruta sangat senang mengerjaiku, bu!” Inari menatap Hiruta dengan kekesalan yang dalam, lalu kembali memperhatikan sebagian bajunya yang basah. “Sekali-sekali anak ini tidak akan aku siapkan sarapan!” lanjutnya.
“Hahaha,..” Hiruta tertawa lepas.
“Aduh, sudah… sebentar lagi pagi, ayo ambil wudhunya cepat.. dan tertib! Huhh…” Ibu hanya bisa menggeleng kepala melihat 2 penyejuk matanya sudah bertingkah polah seperti ini. Padahal seperti kemarin rasanya, ia menimang mereka dan memandikan mereka dalam kamar mandi yang sama bersamaan. “Terlalu cepat waktu ini berlalu…” batinnya.
*****
Pukul 09.39 pagi. Ada SMS masuk.
Dari.. Izumi.
“Ohaiyo gozaimasu – selamat pagi – , Hiruta-san! Bagaimana kabarmu selama sebulan liburan? Baik-baik saja ‘kan? Hiihi.. aku dengar, kamu berkeliling Akihabara ya? Wah, pasti menyenangkan ya.. Aku berencana kesana untuk membeli Komik dan bertemu dengan para Costplay, tapi aku batalkan karena Kak Izuna sudah kembali dari Singapura. Beliau ingin mengajakku ke Tokyo. Ah iya, Kak izuna ingin sekali bertemu dengan Hiruta-san. Setelah aku bercerita banyak tentang Hiruta dan tentang… Kalau tidak salah, Muslim ya? Hehe… Kak Izuna tahu banyak tentang Islam. Nanti ketemu ya. Semoga Hiruta-san gak sibuk setelah masuk sekolah nanti. Byee.. ”

Hening.

Lalu Hiruta membaca SMS itu untuk kedua kalinya, “Hehe… Kak Izuna tahu banyak tentang Islam. Nanti ketemu ya.” Hiruta menjatuhkan handphonenya ke arah sofa dan bersandar untuk menenangkan diri sebentar. Ternyata, Izumi punya kakak laki-laki dan tahu banyak tentang Islam, dan mengajak Hiruta bertemu, ada apa gerangan?! “Sudahlah, toh kalau dia bertanya banyak, akan aku pertemukan dengan kak Inari saja. Kak Inari lebih tahu banyak daripada aku.” Kata Hiruta dalam hati.

Lalu Hiruta bangkit dari sofa dan hendak menuju kamar, dan mengambil handphone. Setelah dibuka, ada SMS lagi. Dari wanita yang sama,

“Ah, maaf Hiruta-san. Kak Izuna katanya sibuk. Kalau begitu aku punya kesempatan untuk belajar banyak dan langsung darimu, penganutnya. Hehehe, aku masih penasaran dengan penjelasanmu setahun lalu tentang Allah, Islam dan Alquran. Kak Izuna tahu, tapi beliau tidak, maksudku kak Izuna ‘kan bukan muslim… Hhehe. Sempatkan waktu ya,”

Hiruta tersenyum kecil, tipis dan hampir tidak kelihatan. Seperti getaran daun ditengah hutan yang bergetar karena kepakan sayap burung yang terbang. Ia bergumam dan tersenyum, “Atheis yang lugu…”

Semoga manfaat.
Find me, @Iman_rk

Saturday, March 22, 2014

Izumi #2



“Ah, iya maaf.” Hiruta tersentak dari lamunannya. Tepatnya, Hiruta terdiam karena memilih kata yang tepat untuk dikeluarkan.
                “Kenapa?” Izumi semakin penasaran.
                Membahas Agama di jepang adalah sesuatu yang janggal, bahkan tabu. Hiruta yang memang terlahir dan tumbuh dalam keluarga Muslim membuatnya harus memilih jalan berbeda dengan teman-teman sebayanya. “Ya Allah, aku tak bisa berpura-pura lagi. Harus kuberitahu pada Izumi-san.” Batin Hiruta.

                “Barangkali, apapun yang ku katakan padamu, juga pada kalian semua…” Hiruta melihat sekeliling. “hanya akan membuat kekacauan dan keanehan. Biarlah, aku memilih jalan hidupku sendiri, berbeda dengan kalian. Aku adalah seorang Muslim, Izumi.”

Hening sejenak.

“Apa alasanku menolak ajakanmu, atau kenapa aku terus menghindar saat makan siang ? Ya, aku harus bertemu Tuhan. Wajahku yang selalu basah dan lembab setiap aku kembali dari sana adalah bekas wudhu, kadang, air mata yang aku hilangkan dengan mencuci muka… ah iya, kau penasaran dengan ini ?” Hiruta mengangkat sesuatu yang ia baca setiap siang, sesaat setelah kembali dari ruangan khusus yang hanya Hiruta yang mengetahuinya. “Ini adalah Alqur’an, Izumi-san.” Hiruta tersenyum. Senyum yang sangat berbeda dari sebelumnya, lebih tenang dan lebih tampan.
“Muslim? Alquran? Tuhan?!” Muka Izumi terlihat lain, seperti ada yang ingin ia bantah namun disaat yang sama ia menunjukkan mimik wajah yang seakan berbicara pada Hiruta, “ayo jelaskan lebih jauh lagi.”
“Hum! Ah, iya.. Pak Ichigawa sudah datang.” Hiruta menyambar Alquran yang ia letakkan diatas meja lalu ia sisipkan dalam ruang khusus dalam ransel birunya.
“Kita bicarakan nanti, arigatou, Hiruta-san!” Izumi kembali di tempat duduknya semula, yang sudah ia duduki sejak 6 bulan terakhir.
Kegiatan beajar mengajar berlangsung seperti biasa. Siswa yang aktif mendapat nilai lebih dari Pak Ichigawa. Sudah bisa ditebak siapa siswa yang aktif itu, Hiruta, siswa pindahan dari Perguruan Toho.

*****
KRIIIINGGG~
Bel tanda pulang mengaum. Siswa yang merapikan tas, memasukkan Laptop, memungut pulpen yang jatuh berlangsung dengan riuh ricuh. Saat ini, jepang memiliki fakta cuaca yang tak terbantahkan bila Natsu (musim panas) menyapa, baju seragam yang dibanjiri keringat karena hawa di udara kadang menyebabkan punggung kain baju menyatu dengan punggung karena lengket. Terdengar normal. Namun, yang menjadikannya luar biasa adalah panen strawberry. Strawberry tumbuh dan ditanam secara sengaja di belakang sekolah dengan Rumah Kaca, daripada memiliih pulang anak-anak dalam SMA 3 Geishu biasa mampir disana untuk kemudian memanen strawberry yang merah darah itu kemudian langsung dijadikan Jus. Disana, ada Ibu Yumi Hiruko sebagai penjaganya. Dia sudah mengurus rumah kaca ini sudah hampir 19 tahun. Maka tiap anak yang datang sudah pasti dikenalnya, kecuali yang memang langsung memilih pulang dan merasa memiliki strawberry sendiri di rumah.

 Wanita-wanita dalam kelas 2-E sedang merencanakan sesuatu, katanya, setelah ini mereka akan menghadang Hiruta di depan gerbang dan meminta Hiruta untuk mengekspresikan sisi lain dirinya; Foto. Mereka hendak mengajak Hiruta untuk berfoto bersama. Dan kabar itu sampai pada telinga Izumi.

“Kalian serius mau mengambil gambar dengan anak itu?” bantah Izumi.
“Kenapa memangnya? Kalau tak mau ikut ya sudah. Izumi-san memang tidak pernah akur dengan Hiruta.” Yahiko menengahkan.
“Hiruta anak yang baik lho…” Nidaa menambah sambil merapikan rambutnya depan cermin. Anak yang sangat tergila-gila dengan Fashion. Hampir semua wanita dalam sekolah sudah tenggelam dalam dunia kelabu fashion.
“Bukan, maksudku…” Izumi terdiam seketika. Memikirkan tentang Hiruta yang sudah menjelaskan alasan kenapa dia menghindar dan mengingat kembali apa yang sudah Hiruta katakan… “hanya akan membuat kekacauan dan keanehan. Biarlah, aku memilih jalan hidupku sendiri, berbeda dengan kalian. Aku adalah seorang Muslim, Izumi.”
“Ada apa? Apa Izumi-san cemburu? Iyaa?!” Ejek Fuyutsuki. Semua serentak saling memandang dan tertawa cekikikan.
“Hahaha, jangan konyol! Tahu sendiri ‘kan hubunganku dengan Hiruta seperti apa..” sambar Izumi.
“Heii. Hiruta sudah sampai didepan, ayo kejar nanti gak akan sempat!” teriak Yahiko dari samping ruangan dan melihat Hiruta dari jendela. “Siapkan kameranya, Nidaa!”
Semua yang ada dalam kelas berlarian keluar meninggalkan Izumi sendirian sebelum Hiruta sampai di tempat parkir kemudian meninggalkan mereka dan sekolah.
“Hiruta..!” Nidaa, Yahiko, Urumi dan Fuyutsuki memanggil serentak dan menampakkan rasa kekaguman sekaligus gemas melihat Hiruta yang berjalan perlahan. Hiruta tak menjawab, hanya tersenyum dan membalikkan badan. Semua berlarian dan mendatangi Hiruta seperti berjumpa dengan artis Idola.
“Emm… Hiruta-san, kami ingin mengambil beberapa foto denganmu. Untuk dijadikan kenang-kenangan. Hihihi.” Yahiko memulai pembicaraan. “Nggak keberatan ‘kan?”
“Ah, iya…” sahut Hiruta. “Tapi, bisa memilih tempat yang lebih teduh? Hehehe,”
Saat mereka berlima berjalan menuju samping gedung yang kebetulan menghadang sinar matahari yang sangat menyengat, Izumi lewat tanpa memandang. Hiruta melirik sekilas hampir-hampir saja menegur dan berkata, “Izumi nggak gabung?” tapi raut wajah Izumi sepertinya tidak siap untuk disapa, apalagi di ajak bicara.
“Sebelah sini saja Hiruta,” kata Nidaa yang memegang kamera sekaligus mengarahkan posisi pengambilan gambar yang bagus dengan berlatarkan dinding abu-abu keperakan sekolah.
“Ng, anu… nanti jangan memegang dan menyentuh ya.” Hiruta menyarankan dan menampakkan senyumnya. Hiruta tahu, ini pasti tidak mengenakkan dan membuat suasana menjadi kacau, tapi apa boleh buat? Hiruta punya tanggung jawab untuk menjalankan perintah agamanya.
“Haaah, masa’ nggak boleh sih Hiruta-san..?! Wah, gak seru nih jadinya. Gambarnya jadi jelek lhoo.”  Keluh Urumi, “Iya, nggak asik.” Tambah Fuyutsuki.
“Hehehe, maaf minna-san, maaf banget ya.. Semoga nggak keberatan.” berat hati Hiruta mengungkapkan.
“Ya sudahlah, daripada nggak sama sekali.” Imbuh Nidaa, “Oke, say cheeeeseee.”
“CHEEESEEE!!” Serentak.
“Hahaha, keren.. lagi-lagi!” Fuyutsuki berkata. “gayanya bebas ya?!” Nidaa melanjutkan.

Dengan wajah yang dibentuk dan bibir yang dimonyongkan, mereka berempat bergaya depan sang kilat. Hiruta masih saja dengan ekspresi yang sama. Mendekap dada, menyilangkan dan mnggantung tangannya disana, serta sedikit gigi atas yang dipamerkan dalam pancaran senyum.

Sesekali, Hiruta memandang Izumi dari jauh, yang saat itu belum meninggalkan sekolah dan masih bersandar di gerbang depan menunggu jemputan ayahnya. Ada perasaan yang tak biasa, saat itu Hiruta merasa ada sesuatu yang lain. Yang berbeda. Hiruta teringat dengan penjelasan singkatnya pada Izumi tentang statusnya yang menyandang gelar Muslim.
Disana, Izumi terdiam. Berdiri terpaku menanti, enggan untuk membalikkan  badan karena hanya akan melihat pemandangan yang tak terlupakan. Pipinya basah, dua aliran air meleleh dari atas sudut matanya dalam waktu yang bersamaan. Izumi menangis. Kenapa izumi-san?!

Ya, Fuyutsuki benar. Izumi cemburu.

Semoga manfaat.
Find me, @Iman_rk

Thursday, March 20, 2014

Izumi #1



“Sebenarnya, apa yang salah denganku? Padahal, aku sudah mengajaknya baik-baik. Dasar, Hiruta menyebalkan!” Izumi menggerutu.

Siang itu, di tengah kerumunan para siswa yang mengantri dan berjalan hilir mudik ditengah sempitnya kantin SMA 3 Geishu, Kyoto, Izumi berjalan mengambil barisan dan memaksakan diri untuk ikut bergabung dalam antrian yang cukup panjang menunggu untuk mengambil menu makan siang yang disediakan di kantin sekolah. Izumi sebenarnya bisa untuk keluar dalam barisan dan membeli makanan cepat saji atau beberapa snack untuk dikunyah sekedar mengganjal perut. Namun emosi kekesalannya  pada Hiruta yang menolak ajakannya membuat ia lupa diri.

Hiruta adalah lelaki misterius bagi seluruh siswi yang ada di dalam SMA 3 Geishu – namun tidak begitu dalam pandangan Izumi – karena kalemnya. Ditambah, kekaguman para wanita di SMA itu bukan hanya “behavior” yang melekat pada diri Hiruta, ia juga tampan. Ya, tampan. Sejak kepindahan Hiruta dari Perguruan Toho menuju SMA 3 Geishu, tak banyak yang tahu tentang asal-usulnya. Namun, kecerdasan serta pembawaan Hiruta yang mewabah, wanita mana sih yang tak ingin sekedar tahu lelaki yang selalu percaya diri ini?
“Hey, jangan memotong antrian!” Izumi menggema. Ia menendang tumit anak lelaki yang mencoba jail dan sok berani memotong antrian pengambilan makanan itu. Tak banyak bicara, lelaki tadi dengan ekspresi cengingisan ia segera menghindar, ketika ia membalikan wajahnya langsung bertatapan dengan sepasang mata yang seakan siap menendangnya untuk kedua kali bila ia tak menghindar dan pastinya ia akan dipermalukan saat itu juga.

Setelah 16 menit ia mengantri dengan segera membawa sepiring penuh sushi, cumi digoreng setengah matang, serta ramen. Menu yang sangat aneh untuk di konsumsi siang hari.
“Ittadakimasu minna-san!” soraknya. Sekejap, seluruh mata memandang Izumi, namun tanpa membalas pandangan mereka, Izumi  lekas melahap cumi goring sehingga menyisakkan sedikit minyak di bibir tipisnya.

“Boleh aku bergabung?” Kata suara didepan meja Izumi.
Izumi mendongakkan kepalanya. Terhentak dengan suara itu.
                “Ah, Aizawa-san! Silakan… Aku tak punya teman berbincang. Wah, rasanya aku ingin segera bercerita padamu, Aizawa-san. Tentang…” Izumi bersemangat.
                “Hiruta?” Potong Aizawa ditambah dengan alis kanan yang terangkat. Senyum tipis mengembang disana.
                “Aaahh, iya! Uh, dasar cowok menyebalkan, gak peka, patung, Zombie. Dan..dan..semuanyalah!” Izumi mengutuk dengan nada kesal. Tak ia hiraukan banyak remah-remah yang muncrat keluar dari mulutnya.
                “Hahaha, jangan begitu… Tak baik mencela teman sekelas. Ku dengar, banyak anak yang meminta contekkan padanya. Apa kau tak khawatir bila saat terdesak kau tak diberinya jawaban?”
                “Siapa peduli?! Aku bahkan lebih cerdas dari dia kok… dalam beberapa hal sih.” imbuhnya tersipu malu.

                “Aku perhatikan, dari kemarin kau selalu mengeluh dan merasa jengkel pada Hiruta? Apa masalahnya?” Aizawa berusaha mengorek rahasia antara pertikaian Izumi dan Hiruta.

                Ditengah keramaian dan keributan kantin, suara sayup-sayup siswa yang berbincang tentang masalah PR, Pacar, tentang apa yang akan dilakukan setelah ini. Juga bunyi dentingan tabrakan antara mangkuk dan sumpit seolah menambah irama gaduhnya kantin SMA 3 Geishu. Teriakan Ibu Yamato karena kejahilan para siswa yang mengambil jatah lebih banyak dari yang lain membuat para siswa yang tengah menyesap jus dan mengunyah makanan terkekeh. Satu hal lagi yang tak terpisahkan dari suasana kantin adalah keromantisan; senyum tertahan yang tersorot dari mata sepasang kekasih yang berjalan beriringan ketika datang dan pergi. Yang kadang dalam suatu kesempatan mereka tertawa bersama. Juga romantisnya mereka saat bergandengan tangan.

                “Aku terus mengajaknya ke kantin, supaya dia juga merasakan masakan Kyoto. Dan juga sebagai tanda terimakasihku karena beberapa hari yang lalu, ia menggeser catatan mate-matika dan mengopernya padaku yang pada saat itu aku sangat membutuhkan. Karena, kau tahulah, bagaimana mengerikannya Pak Ichigawa bila tugas yang ia berikan tak kami selesaikan.” Izumi melahap potongan sushi terakhir. “Dan, ini rahasia, yah, Aizawa-san. Sebenarnya, sama seperti yang lain. Aku juga penasaran padanya. Dengan sikap yang ia tunjukkan pada kami semua, seolah-olah kami ini tidak akan menjadi teman yang baik baginya. Wajar ‘kan, aku mengomel terus?!” Keluh Izumi.

                Memang benar, Izumi bukan satu-satunya yang penasaran dengan seluruh tingkah laku yang diperlihatkan Hiruta selama ini. Padahal, sudah 6 bulan dia kemari, ke SMA 3 Geishu, Kyoto. Jepang. Tersiar kabar, bahwa SMA 3 Geishu jarang ada yang memiliki agama. Mengenal Tuhan pun tidak. Seluruh kehidupan dan aktivitas di SMA 3 Geishu menjuru pada dua hal; Nilai dan Gaya Hidup. Izumi adalah salah satu penganut kehidupan semacam ini.

                “Oooh, begitu.” Singkat Aizawa. “ah, sebentar lagi bel panggilan masuk akan berbunyi. Segera selesaikan makananmu.” Aizawa merapikan dan membereskan gelas dan mangkuk sekaligus melompat keluar dari tempat duduknya dan membawa mangkuk dan gelas ke tempat yang telah disediakan khusus.
             
   “Oke, sebentar.” Izumi mengeksekusi suapan terakhirnya.

                Semua siswa dikendalikan oleh sebuah benda yang mengeluarkan bunyi yang keras; Bel. Ditengah kerumunan siswa, Izumi melihat Hiruta dari kejauhan. Dengan gaya memasukkan kedua tangan dalam kantung celana, sedikit membungkuk, Hiruta berjalan menuju kelas. Izumi hanya memandang dan tidak berbicara apapun. Izumi berlari kecil menuju ruang kelas dan mengucapkan sampai jumpa pada Aizawa, kakak kelas perempuannya.

                Tidak semua siswa dalam kelas 2-E langsung mengambil posisi mereka dan merapikan cara duduk. Semua masih bersuara layaknya sekelompok simpanse dalam hutan yang didatangi oleh Harimau. Sangat ribut dan ramai sekali. Hiruta kebetulan duduk di bangku nomor 3 dari depan, dan paling kiri bila dilihat dari depan. Ada 4 berbanjar meja. Izumi dengan rasa yang tidak tertahankan lagi. Ia ingin mendatangi Hiruta dan berteriak. Namun ia menahannya lagi, ia ingin bebicara baik-baik. Layaknya teman.
                “Hiruta, kau sibuk?” Izumi mengambil langkah pelan dan berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan perdebatan dengan hiruta. Untuk kali ini saja.

                “Ahh, Izumi…” Hiruta mengangkat kepalanya yang saat itu menunduk membaca sesuatu. “Tidak, Izumi.. Apakah ada yang bisa kubantu?”
                “Tak ada. Aku ingin berbicara, yah tentunya, tidak menimbulkan emosi diantara kita. Dan membuatmu menjauh lagi dan keluar lewat pintu itu.” Izumi tersenyum mencairkan suasana.
                “Hehehe, oke. Go on…” Lanjut Hiruta.
                “Aku penasaran dengan semua yang kau lakukan di sekolah ini, kumohon, anggap ini biasa saja dan jangan berlebihan menilainya.” Hiruta mengerutkan dahi. “Aku punya beberapa pertanyaan untukmu Hiruta-san. Jawablah, bersediakah?” Izumi berhenti sesaat untuk memastikan emosi Hiruta dan menunggu jawaban Hiruta yang selama ini tak pernah ia beritahu pada siapapun.
                “Huh, manusia selalu mencari tahu apa yang bukan urusannya…” Hiruta memalingkan wajah. Dan serta merta jawaban – lebih tepatnya emosi ini – yang membuat Izumi kesal pada Hiruta. Sikap sok coolnya. “Tapi, kali ini, untuk Izumi-san, akan aku jawab.” Hiruta tersenyum hingga menyipitkan matanya.
                “Untuk Izumi-san”? Izumi tersontak dan menjauhkan segala prasangkanya. Segala sesuatu yang bisa membuat semuanya kacau. Seolah kata-kata ini membuat semua perasaan benci dan tak senangnya pada Hiruta lenyap seketika. Tapi, bukan itu maksudnya. Bukan itu.
                “Begini, kenapa setiap kali aku mengajakmu untuk makan siang di kantin, padahal aku berniat baik dengan menraktirmu. Kenapa kau selalu menghindar?! Ah, iya.. ternyata aku salah  mengajak orang. Mungkin. Seorang Hiruta dengan segudang pengagumnya…Hahaha.” Izumi terbahak-bahak tanpa alasan.
                “Juga, kenapa setelah kami selesai makan siang, dalam waktu bersamaan, kau juga kembali dari tempat persembunyianmu itu dengan wajah yang basah?!” Izumi bertanya seolah menghakimi. Seolah menginterogasi dan seolah Hiruta adalah tersangka yang harus diadili.

                Hiruta menunduk. Izumi menatap dari atas sambil berdiri dihadapan meja Hiruta, menanti jawaban, jawaban yang selama ini meruntuhkan rasa penasaran para pengagum Hiruta. Termasuk Izumi.

                “Ya Allah, apa yang harus ku katakan? Sekarang berdiri dihadapanku seorang atheis, yang tidak sama sekali mengenalMu, dengan kalimat apa aku harus menjelaskannya… bantu aku ya Rabb. Bantu aku mengenalkanMu padanya. Pada Izumi-san.” Dalam teriakkan batin, Hiruta memohon pada Tuhannya yang bernama Allah.

Rahasia itu terungkap. Hiruta adalah seorang Muslim.
                 
         “Hiruta, kenapa kau diam saja?”

Semoga manfaat. Part II-nya di tunggu ya :)
Find me, @Iman_rk


               

Wednesday, March 12, 2014

Obat di kala lelah.

                Semburat matahari jingga sore itu masih membawakan aura panas bagi tubuh yang terlelahkan oleh sibuknya dunia. Mencari dan menemukan masjid barangkali akan menjadikan pikiran ini tenang dan lelahpun akan terangkat dari tubuh ini. Sore itu, adalah saat ketika shalat ashar telah selesai dilaksanakan, namun saya sendiri terpaksa harus melewati shalat tepat waktu akibat masih berada di atas sang Roda Dua. Namun betapa bahagianya tatkala berjumpa dan mengambil rehat sejenak di dalam masjid sekaligus melaksanakan kewajiban itu, di tambah sejuknya bulir-bulir air wudhu seolah menambah sensasi keimanan yang tadinya sempat mengering sepanjang perjalanan.

                Juga, ada inspirasi tersendiri ketika masjid yang kita jadikan untuk shalat itu ternyata berisi para pejuang dan pengemban dakwah juga. Seolah diri ini merasa belum pantas menjadi panutan dan sosok yang baik bagi yang lain. Dan memang demikianlah, cukuplah Rasul saw sebaik-baik uswah (teladan) dalam hidup. Adapun para pengikutnya, barangkali tak lebih dari debu yang menempel pada sepatu beliau saw. Merasa malu pula, bila dalam beberapa kesempatan menginspirasi, ada yang tak segan memanggil “Ustadz”, ya Allah… Menjelaskan pada mereka akan terasa sulit, namun begitulah ~ kita tetap tak bisa lari dari fakta bahwa tindakan kita membentuk persepsi orang lain.

                Selepas shalat ashar, saya teringat bahwa saya memunggungi ransel. Ah, iya! Barangkali ada Al-qurannya.

                Namun, ternyata saya lupa bahwa Alquran saya simpan  di ransel yang satunya. Saya memang memiliki 2 ransel, satu untuk kuliah dan satu untuk kegiatan bebas selain kuliah. Ada rasa malu dalam diri, kenapa  untuk urusan yang satu itu saya bisa dengan mudah melupakannya ?! Sementara handphone dan dompet selalu saya tenteng dan bahkan saya khawatirkan kehilangannya?! Istigfar…

                Secara pribadi, seberat apapun ransel ini, akan saya pastikan ia berat juga karena Alquran agar dimanapun saya pergi selalu membaca dan merenungi ayat Allah yang mulia. Namun kali ini berbeda, tiada lagi obat di kala lelah. Harapannya, akan sangat indah bila sore yang indah itu – meskipun beberapa menit – saya lewati berdua dengan Alquran. Obat penenang dan penentram bagi jiwa.

                Entah sugesti atau bukan, namun saya mendapat fakta yang tak terbantahkan bahwa hanya dengan mengadukan lisan dengan ayat Alquran, semua pikiran dan perasaan seperti tiada beban. Subhanallah…

Pernah merasakan ? Bila belum, pastikanlah Alquran selalu anda masukkan dalam tas, ransel atau apapun. :)

                Sekedar curcol, semoga manfaat @Iman_rk


 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top