“Semuanyaaa,
ayo turun. Semuanya sudah siaaaap.” Fuyutsuki berteriak diujung tangga.
Yahiko
dan Izumi bertukar pandangan kemudian serentak menyepakati untuk kembali
kedalam rumah yang hangat dan sarat perlindungan.
“Sedang
apa diatas sana Yahiko?” Fuyutsuki bertanya. Sambil memasukan makanan dalam
mulutnya.
“Ah,
tidak hanya menikmati udara malam. Angin musim semi lain daripada yang lain.”
Yahko melirik Izumi yang saat baru masuk sudah menyambar majalah kemudian tengkurap dan membaca majalah dengan ekor
matanya. Izumi hanya terdiam dan fokus menatap tiap-tiap baris tulisan dan
gambar.
“Oh.”
Fuyutsuki berkomentar singkat. “Kita akan begadang berapa lama, Izumi ?” Fuyutsuki
melirik Izumi yang sedang menggoyangkan kakinya mirip sedang berenang.
“emmmm…
berapa ya…” Izumi hanya menggumam pelan. Matanya tertuju hanya pada tulisan dan
majalah itu. “Pagi. Bagaimana?” Izumi mengeluarkan pendapat seolah tanpa
berpikir terlebih dahulu.
“Apa?!
Pagi ?” Fuyutsuki dan Yahiko berteriak bersama.
“Hu’um.” Jawab Izumi santai. Belum mengangkat matanya
untuk menatap kedua sahabatnya itu.
“Tidak-tidak! Aku harus ke toko buku besok. Membeli buku
tulis baru dan beberapa pulpen serta peralatan sekolah lain, kalau begadang
sampai pagi bisa-bisa aku terbangun saat malam!” Fuyutsuki mengeluh. “Bagaimana
Yahiko?” Secepat kilat meminta pendapat Yahiko dengan menoleh ke arahnya.
“Yah, kalau ada Hiruta-san. Aku mau! Hahaha.” Jawab
Yahiko dan dikuti tertawanya yang nyaring serta di ikuti oleh tatapan Izumi
yang seolah tak senang. Izumi baru kali itu menatap wajah sahabatnya sejak dari
tadi. Namun ia kembali membenamkan wajahnya pada majalah itu.
“Uh, Yahiko tak bisa diandalkan!” Fuyutsuki mengomel.
“Baiklah, silakan kalian berbicara dan bercerita. Tapi, ketika pukul setengah
satu, aku tidur duluan ya! Aku mau kebawah dulu, mengambil jus!” Fuyutsuki
melompat dari tempat duduknya kemudian menggeser pintu lalu turun kebawah
dengan berlari kecil sehingga menimbulkan suara bedebam yang lumayan keras.
“Izumi..” Panggil Yahiko pelan.
“Humm…” Sahut Izumi pelan.
“Yakin mau sampai pagi? Kulihat, kau sendiri sudah tak
tahan lagi.” Yahiko berkata setengah mengejek. “Kalau mau tidur duluan, silakan.
Aku mau kembali keatas, melihat langit dan bintang musim semi lagi.”
Izumi menutup majalahnya dan melempar kesamping, lalu
bangkit dan mengambil posisi untuk duduk
bersila. Mengibas dan merapikan rambutnya kebelakang.
“Yahiko, aku ingin bertanya padamu.” Izumi menatap Yahiko
lekat-lekat.
“Hei, ada apa? Wajahmu membuatku takut,” Yahiko menarik
wajahnya. “Biasa saja lah..”
“Hehe, maaf. Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin
bertanya padamu, tidak, bahkan semua teman satu kelas.” Kata Izumi.
“Tentang?” Yahiko mengernyitkan dahi.
“Hiruta, maksudku, tentang kehidupan Hiruta. Ya,
barangkali sebagai pengagum Hiruta kau lebih tahu…” Lanjut Izumi.
“Owh, ya..ya.. sepertinya menarik. Hehehe. Ada apa?”
Dalam ruangan yang sebesar enam kali tujuh meter itu,
Izumi ingin bertanya dengan serius pada Yahiko. Pertanyaan yang barangkali
Yahiko ketahui jawabannya, sesuatu yang sudah delapan bulan ini mengusik Izumi.
Bahkan mengusik seluruh lini kehidupan Izumi, juga segala sesuatunya. Izuna
yang baru saja kembali dari pendidikan kedokteran disalah satu Universitas Singapura itupun sampai harus ikut andil
dalam kegalauan Izumi tentang Hiruta. Barangkali
Yahiko tahu. Keterlaluan bila dia tak tahu tentang rahasia ini. Izumi
membatin.
Memang dua hari sebelum Hiruta dan Inari, kakak
perempuannya, berangkat ke Akihabara untuk menemani Hiruta membeli iPod, Hiruta
sempat mengucapkan sesuatu pada Yahiko mengenai sikapnya yang berlebihan dalam
mengagumi lelaki. Saat itu Hiruta sedang berjalan sendirian kemudian tiba-tibaYahiko
berlari mengejar Hiruta dari belakang.
Hiruta
berkata dengan singkat, “seandainya kau memahamiku, kau tidak akan bersikap
seperti ini. Satu hal lagi, tidak sepantasnya wanita mengeluarkan suara sekeras
itu dihadapan lelaki yang bukan mahram.” Hanya itu yang Hiruta sampaikan pada
Yahiko lantas kemudian pergi dan berbalik. Yahiko terpaku dan menggaruk kepala
serta mengernyitkan dahi.
“Kau tahu kenapa Hiruta selalu menjauh dan kadang
menghilang saat makan siang?” Izumi bertanya.
“Sepertinya ke Perpustakaan. Kurasa…” Yahiko
mengerucutkan bibir dan menggeser bola matanya keatas. “Aku melihatnya ketika
usai makan siang, ia selalu keluar dari sana.” Lanjut Yahiko.
“Bagaimana ya, tahun lalu saat kelas II. Dalam kelas aku
menghampirinya dan bertanya padanya. Ia menjelaskan… dan yah, kau tahu, sangat
terbuka. Kupikir itu akan menjadi hal privasi baginya dan tak boleh seorangpun
tahu. Ia menjelaskan sambil menunjukkan sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan
yang tak bisa kubaca. Tapi aku rasa mengenal tulisan itu.”
“Tulisan?”
“Ya, seperti tulisan bangsa arab. Aku pernah melihatnya
di buku sejarah Kedokteran Kak Izuna, katanya Kedokteran zaman dulu berasal
dari timur-tengah. Tahun lalu memang aku tak mengerti tulisan itu, tapi rasanya
setelah aku tak sengaja membuka buku-buku kak Izuna, kurasa aku telah
mengenalnya.”
“Ohh, begitu.” Yahiko sejak 2 menit lalu sudah mengunyah
tempura yang telah ia celupkan terlebih dahulu dalam mangkuk kecil yang berisi
sambal. “Lalu hubungannya dengan tidak makan siang kenapa? Jangan buat pusing
dong, sudah tengah malam, Izumi-san.”
Percuma saja. Menjelaskan pada Yahiko sama saja
menjelaskan pelajaran mate-matika. Ditambah, Yahiko juga sama dengan Izumi.
Sama-sama atheis. Bagaimana mungkin
mengatakan dan menjelaskan pada mereka bahwa matahari itu terang sementara
sekarang mereka berada pada malam hari? Setidaknya, itulah penjelasan dan
perumpamaan bagi Izumi dan Yahiko bahkan seluruh kelas III E yang memang tidak
memiliki Agama.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Fuyutsuki telah kembali naik
membawa satu botol jus dan tiga gelas kecil.
“Membicarakan apa saja? Lanjutkan saja ya. Ini gelas
kalian masing-masing” Fuyutsuki merapikan gelas serta meletakkannya dihadapan
Yahiko dan Izumi. “Fuyutsuki ini mau tidur dulu. Ah, maaf Izumi-san, aku tak
bisa menemani kalian. Selamat tidur.” Ia berdiri kembali dan menaiki ranjang
empuk Izumi yang terletak beberapa langkah dari tempat mereka berdiskusi dan
mengemil.
Yahiko hanya bisa
menatapnya. Izumi mendongak melihat wajah Fuyutsuki.
“Tidak apa, lanjutkan saja.” Katanya sekali lagi.
Izumi
dan Yahiko menghela napas. Memang sudah pukul 1 pagi. Tidak akan baik bagi
kesehatan bila mereka masih memaksakan diri untuk bertahan dan berbicara lebih
lama lagi, sekalipun mereka memilih topik kesukaan dan menyenangkan. Bagi
wanita, membicarakan sesuatu untuk mengeluarkan ganjalan dalam hatinya adalah
sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, maka mereka akan rela duduk
berbagi rasa suka dan duka hanya untuk mengeluarkan ganjalan itu dalam hati
lembut mereka. Diluar jendela, aktivitas manusia sudah tidak terdengar lagi.
Meskipun sesekali bunyi klakson mobil yang hendak mengusir kucing yang
menyebrang jalan secara tiba-tiba sesekali terdengar dari dalam oleh Izumi dan
Yahiko.
Tidak
butuh waktu lama, Fuyutsuki yang menjatuhkan dirinya diatas kasur sudah
terdengar bunyi napasnya. Tanda ia sudah terlelap.
“Hehehe,
menjadi Fuyutsuki enak sekali. Baru sebentar membaringkan badan sudah langsung memasuki
dunia mimpi dengan mudah.” Izumi membuka percakapan lagi.
“Dia
kelelahan. Sejak tadi pagi dia membantu Ibunya untuk mengurus barang-barang
yang akan dijual ditoko.” Kata Yahiko sedkit mengagumi.
“Hmm…”
Izumi bergumam. “Lalu, bagaimana dengan kita berdua? Apakah masih mau
melanjutkan petualangan ini sampai besok pagi?”
“Kurasa
cukup. Baiklah, semua ini biar aku yang membereskan.” Yahiko bangkit berdiri
dan membungkuk untuk memungut plastik dan bungkusan biskuit yang berserakan
juga piring yang berpisah-pisah disatukan jadi satu tumpukkan.
Izumi
mengikuti. Namun tidak membereskan makanannya. Ia hanya berdiri lalu berjalan
kearah meja dan cermin sekaligus, tempat dimana ia meletakkan berbagai alat
kosmetik dan kecantikannya. Ia menatap dirinya sendiri beberapa saat. Yahiko
yang mengangkat piring-piring melirik Izumi dan sedikit tersenyum melihat
tingkah temannya itu. “Sudah, tak ada laki-laki yang melihatmu malam ini.”
Kata-kata itu hampir meluncur dari mulut Yahiko, namun ia tahan dan segera
membalikkan badan dan segara ia ganti dengan seringai lebar. Tersenyum melihat
temannya itu.
“Dua hari lagi aku akan bertemu
dengan Hiruta, bertanya tentang segalanya. Akan kutanya apa itu Islam dan
Alquran serta apa itu mahram, juga wudhu dan semua kalimat aneh yang ia
jelaskan padaku setahun yang lalu…” Izumi membatin sambil
meletakkan 2 tangannya keatas meja lalu menyandarkan sikutnya serta menopang
dagu dan menatap alat rias wajah dengan tatapan kosong. Ia mengibas rambutnya
dengan lima jari putihnya kebelakang lalu membiarkannya terurai lagi menutupi wajahnya.
“Hiruta, kenapa kau harus menjadi Muslim
dan membuat dirimu tertutup seperti itu? Kau hebat, tampan, berwibawa, cerdas
juga disukai banyak wanita. Darimana kau berasal?! Kenapa kau begitu
misterius!?” Izumi mengepalkan tangannya sesaat setelah ia menurunkan dua
tapak tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menopang dagu, Izumi memprotes
dirinya sendiri berbicara pada batinnya.
Mikawa
Izuna, saudara lakai-laki dari Izumi memang sudah menjelaskan beberapa hal yang
ia ketahui tentang agama yang bernama Islam saat ia kuliah di Singapura. Izuna
banyak melihat orang-orang yang menyandarkan segala sesuatu dan orang-orang
yang percaya pada Yang Maha saat berinteraksi dengan teman-temannya di
Singapura. Bahkan, sahabat terdekat dari Izuna sendiri adalah seorang yang
menganut Agama Islam. Seorang pemuda laki-laki yang bernama Yusuf Ibrahim.
Darisanalah Izuna belajar banyak mengenai Islam dan pengikutnya.
Sesungguhnya,
Izumi tidaklah bermaksud mencari tahu tentang Islam dan segala sesuatu
tentangnya. Untuk apa? Tidak akan
menguntungkanku sedikitpun. Lagipula, disini aku sudah senang dengan banyaknya
hal yang bisa kulakukan dengan bebas. Begitulah batinnya setelah ia merasa
bahwa dirinya mulai tertarik berbicara dengan Hiruta, namun tidak bisa juga
dipungkiri, pertanyaan yang kian menggelayut dikepala Izumi bukan karena Islam,
justru karena Hiruta. Ia hanya mengagumi Hiruta, bukan Islam.
Semoga suka :) Find me on twitter: @Iman_rk