Tuesday, November 11, 2014

Akatsuki = Eks-school (?!)


Bukan pertama kali saya mendengar pertanyaan atau pernyataan yang mengatakan bahwa apakah Akatsuki itu termasuk unit kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Dengan pertanyaan khas anak SMP/SMA, saya ditanya begini, “Kak, Akatsuki itu Eks-School bukan, sih?” dan saya selalu menyunggingkan senyum saat mendengarnya.

Untuk menjawab peratanyaan ini perlu saya sampaikan terlebih dahulu sejarah (untuk lebih jelasnya, menyelam saja di blognya yang saya post dibawah kolom komentar nanti) saat Akatsuki berdiri. Dalam beberapa kesempatan saya bercerita pada adik-adik kelas, guru-guru, salah seorang elit pemerintahan, orangtua siswa dan banyak pihak yang bertanya mengenai latar belakang Akatsuki yang misterius dan sudah berhasil mengambil hati anak-anak mereka. Saya katakan, “Akatsuki adalah kumpulan remaja berprestasi dalam bidangnya masing-masing dan  kami rekrut untuk bergabung. Dan semuanya adalah siswa yang insyaAllah punya potensi untuk memajukan NTB dan Indonesia ke depannya.” Dengan wajah mengkerut dan dengan wajah menyenangkan mereka yang mendengarkan penjelasan saya ini mengangguk-angguk paham.
 
Sebagai organisasi berkembang, dulu, ketika saya mendirikannya saya memang belum paham akan ilmu keorganisasian dan tata nilainya. Serta budaya korporat yang harus saya ciptakan. Jawabannya sederhana saja, karena usia saya pada waktu itu baru 13 tahun. Kelas 3 SMP. Namun seiring berjalannya waktu serta banyaknya saya bertemu dengan orang-orang yang berpengalaman, buku yang saya baca, serta impian yang saya yakini, Akatsuki menjadi lebih terang dan lebih bersuara dibanding saat pertama kali saya mendirikannya. Kalau waktu itu, Akatsuki hanya dikenal sebagai kelompok belajar yang beranggotakan 8 siswa SMP yang satu siswanya menguasai minimal satu pelajaran. Dan sekarang sudah melebarkan tentakelnya menjadi 95 Siswa.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah pengertian dari Eks-School itu sendiri? Sebab bila kita bertanya mengenai sejarah dan apa yang Akatsuki lakukan dan apa yang akan Akatsuki capai saya rasa sudah memenuhi kriteria sebagai Eks-School. Pengertian sederhana dari eks-School adalah, sebuah lembaga yang aktif dalam ruang lingkup persekolahan dan memberikan kontribusi positif agar siswa mampu mengembangkan diri baik dalam bidang psiko-motorik (sosial), kognitif (kecerdasan), dan afektif (empati). Begitulah bahasa sederhana dari pengertian Eks-School yang saya ketahui.

Dan sebagai siswa yang sehat akal dan pikiran, dimana pun ia bersekolah akan mengangguk mengiyakan ketika ia dijelaskan pengertian eks-School adalah untuk mengembangkan kemampuan sosialnya agar ia tidak kaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bergaul (Psiko-motorik), kemudian agar mengasah kemampuan Leadership dalam dirinya (kognitif), serta ketika ia berada dalam lingkungan yang baru, ia lebih mampu merasakan apa yang orang lain rasakan dengan kata lain berempati terhadap orang lain (afektif).

Terlepas dari anggapan para siswa atau siapapun yang bermental kalah dan (maaf) pecundang yang tak bisa menghargai karya orang lain selain menghina dan menuduh Akatsuki sebagai organisasi pemberontak, teroris, atau apapun, kami dan saya sendiri sebagai pendirinya menutup telinga atas apapun yang mereka katakan. Sebab satu hal yang saya yakini adalah, ketika oranglain berbicara tentangmu dibelakangmu, itu berarti kau sudah terlampau jauh meninggalkan mereka. Dengan kata lain, yang dibicarakan sudah lebih dulu sampai digaris finish dibanding mereka yang membicarakan yang mungkin kelelahan dan tak mampu bersaing lagi. Hanya bisa membicarakan oranglain yang lebih dulu berhasil.

Nah, kesimpulannya adalah,  Akatsuki sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria itu. Maka bila masih ada yang bertanya apakah Akatsuki itu eks-School atau bukan? Saya dengan santai menjawab: Iya, Eks-School :)
 



Founding Father of Akatsuki Organization: @Iman_rk :D

Wednesday, November 5, 2014

Tentang Penyesalan



 
 Aku mengenal banyak manusia dengan masa-lalu mereka masing-masing. Bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka bertindak dan bagaimana mereka memandang dan menilai sesuatu. Ku yakini satu hal; itu semua adalah hasil pilihan mereka di masa-lalu.


Entah sudah setebal apa Malaikat bersayap cahaya itu menenteng buku catatan amal perbuatan mereka – juga amalku sendiri. Namun tentu saja, didalam hidup ini ada bercak-bercak dosa yang tak mungkin kami hindari. Tidak ada satupun keturunan Adam di Bumi yang tidak melekat padanya percikan dosa. Kecuali dia yang terakhir diutus.


Dalam topic pembicaraan yang paling tidak aku sukai adalah saat mereka menyinggung soal masa-lalunya sendiri, dan mereka yang sok suci itu menyinggung masa-laluku juga. Aku muak dengan mereka. Muak dengan penuturan mereka yang seolah mereka juga tak pernah punya salah. Apapula maksudnya menyalahkan ini dan itu hanya karena mereka tidak pernah melakukannya? Sepertinya, mereka itu berhati batu sampai-sampai tidak peduli dengan apa yang oranglain rasakan.


Segala sesuatu pasti punya jalan untuk kembali.


Zindegi Migzara – kata orang Afghanistan. Hidup akan tetap terus berjalan. Kita hanya menunggu waktu apakah masih diberi kesempatan oleh Dia yang menciptakan kita untuk kembali memandikan diri dengan permohonan maaf. Kita tak pantas menilai oranglain dalam sekejap hanya karena masa-lalunya yang tidak sesuai dengan masa-lalu kita. Sungguh naïf.


Dan setiap kita, punya cara tersendiri bagaimana proses berjalan menuju Allah. Tunggu saja waktunya. Dengan mengingatkan, dengan menasihati, dengan memberi, dengan memahami, dengan mengerti, dengan simpati, dengan menerima, dan dengan cinta. Apa sudah kita lakukan itu untuk mereka yang ingin kembali dan, kalian tahu kenapa aku sangat membenci topic pembicaraan mengenai masa-lalu? 


Itu karena aku memahami segala sesuatu tentang penyesalan.


                @Iman_rk | _imanion_

Monday, October 27, 2014

Gelembung Takdir

                Berjalan sejauh mungkin dari dunia. Berpisah dengan alam meski sebelumnya pernah menyatu. Aku menari-nari didalam gelembung takdir, terperangkap dan hanya bisa bergerak sesuai angin membawaku. Lihatlah sejenak bagaimana hakikatnya kita bergerak. Lihatlah sejenak bagaimana hidup membawa kita menuju kehidupan.

                Kesunyian. Ya, hanya kesunyian yang berarti. Aku, kau dan kita semua kini terperangkap dalam gelembung takdir yang menunggu untuk dipecahkan hingga akhirnya kita bisa bebas dan menuju kehidupan yang sesungguhnya.

                Dalam gelembung inilah hidup. Dan setelah gelembung ini pecah, maka kawan baru juga kawan lama yang lebih dulu hidup dibanding kita kelak akan berkumpul dan dimintai kesaksian atas semua perilaku kita saat berada dalam gelembung. Saat dalam gelembung kita mungkin bisa saja  berteriak, mengutuk, berbicara banyak hal yang mungkin saja itu dusta. Tapi saat dimana kita berkumpul disuatu ruang dimana kehidupan akan dimulai sesungguhnya, mulut takkan bisa berbicara lagi. Hanya kaki dan tanganlah yang bersaksi.

                Gelembung itu lemah, tipis, rapuh. Tapi kita seolah bangga dan merasa bahwa hidup didalamnya adalah abadi. Betapa konyolnya kita. Betapa bodohnya kita. Betapa tak tahu dirinya kita. Kehidupan sesungguhnya itu nanti.

                Saat ini biarlah kita sejenak menunggu giliran kapan gelembung takdir kita akan pecah. Entah itu pecah dengan sendirinya atau dipecahkan oleh orang lain. Namun satu hal yang pasti, bahwa kita hidup dalam gelembung takdir yang kapan saja – mau tidak mau, akan pecah dan membawa kita dalam Kehidupan dan bertemu dengan Peniupnya.

                @Iman_rk on twitter | _imanion_ on ig. Thanks :) 

Thursday, October 23, 2014

13

Aku pernah mendengar sebuah dongeng atau cerita dari mereka yang mengatakan bahwa angka 13 itu adalah angka dimana harimu penuh dengan ketidakwajaran. Bagaimana ya? Baiklah, kata mereka, angka 13 itu adalah tanda kesialan.

Terlepas dari apapun dan dengan cara bagaimanapun mereka berkata, pada intinya mereka berusaha meyakinkanku bahwa angka 13 tak baik untuk didekati. Misalnya, bila ingin berpergian jangan memilih tanggal 13. Bila ingin memesan kamar, jangan pesan kamar nomor 13. Bila memiliki kendaraan, jangan sampai platnya memiliki angka 13. Intinya, “jauhkan dirimu sejauh mungkin dari nomor 13!” katanya.

13. 

Sejuta tanda tanya aku berusaha, seberusahanya mereka ketika meyakinkanku. Aku meyakinkan diri, semeyakinkannya mereka menganggap angka 13 itu buruk. Bahwa 13 tidak berpengaruh sama sekali dalam hidupku.

Aku mengenal seekor Peri Kecil muram diketeduhan pohon kertas. Aku melihat Peri Kecil muram dikeheningan suatu malam. Aku mengakui karena aku mengenalnya bahwa, dia tercipta dari sperma dan ovum yang kemudian mewujud kedunia ini pada tanggal 13. Namun harus kau ingat, kemuramannya bukan karena tanggal 13.

Ia hanya mencari makna akan hidupnya yang tak lama, itulah bijaknya ia. Ia mencari kebaikan dari dalam lumpur keburukan sekitarnya, itulah manisnya ia. Ia berusaha tersenyum dari semua rasa yang tak adil untuk hatinya, itulah mengapa… itulah mengapa aku menyebutnya Peri Kecil Muram.

Aku juga mengingat saat dimana kebaikan ditumpahkan dari langit saat malam yang ke 13. Aku mengenal saat malaikat turun dari langit saat minggu yang ke 13. Aku juga bahkan tahu bahwa Tuhan turun kelangit dunia saat sepertiga malam yang terakhir pada bulan yang ke 13.

Sejenak aku beritahu bahwa aku tidak sedang berbohong. Aku juga semesta setidaknya mengetahui, bahwa kalianlah yang telah mengarang cerita tentang keburukan 13. Kalianlah yang buruk. Kalianlah yang buruk dengan sejuta kebohongan kalian. Menipu dan menipu tentang 13.

Dan satu lagi tentang 13.

Aku mencintai angka ini. Dengar? :) 


@Iman_rk on twitter.

Dan Gunung-gunung pun bergema.

Ini saya coba sampaikan sesuatu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengatakan ini tapi selalu saya tahan karena saya pikir belum ada kesempatan yang bagus. Juga saya rasa belum ada kesiapan yang matang, terutama untuk hati saya.

Ini aneh, Alila. Saya mencoba berusaha agar semuanya baik-baik saja dan terlihat tidak begitu merepotkan kamu terutama saat mungkin surat ini sudah sampai ditangan kamu. Kamu gak keberatan kan? Saya harap begitu. Mudah-mudahan kamu mau membacanya sampai selesai. Tolong, ya.

Saya masih ingat tentang sungai yang terbelah dengan sendirinya, bulan yang bercahaya seperti kunang-kunang, dan gunung-gunung yang bergema. Mudah-mudahan kamu gak lupa. Saya masih ingat tentang hari saat langit menangis dan kita terjebak disekolah, berdua. Tentang saat awan mewujud seperti gajah bagimu tapi seperti kuda nil bagiku. Mudah-mudahan kamu gak lupa. Juga tentang tali sepatu yang kamu tertawakan karena saya lupa mengikatnya, tentang dasi biru muda yang kamu perbaiki, tentang topi yang kamu pinjami. Mudah-mudahan kamu gak lupa, Alila.

Kenapa semua ini begitu cepat berlalu? Saya juga belum menemukan jawabannya. Mudah-mudahan kamu bisa menjawabnya disana.  Dari semua hamparan lembah kisah yang kita lewati, dari bukit-bukit pohon pinus kita berdiri, dari semak-semak mawar yang berduri kita jalani. Saya masih ingin berjalan beriringan sama kamu, Alila. Sekalipun sakit sekalipun pahit.

Ada candu yang saya rasakan dan, apa kamu juga merasakannya? Tetapi candu ini lain. Oh iya, candu itu kan saat seseorang mulai tak bisa memisahkan diri dengan hal yang ia sukai, sampai-sampai berpengaruh besar dalam hidupnya. Sama, saya merasakan candu yang luar biasa saat saya kehilangan kamu. Tapi, saat saya merasakan candu ini entah kenapa dada saya terasa sakit.

Kamu masih disana, Alila?

Dirumah, topi yang kamu kasih ke saya masih saya simpan. Warnanya masih biru muda dan nama SMA kita belum luntur. Juga nama kita yang kita gurat bersama saat langit menangis waktu itu juga belum pudar dibagian bawah kerucutnya. Bagaimana dengan dasi yang saya berikan? Apa masih kamu pakai? Oh iya, saya lupa. Sudah kamu buang ya. Haha.

Saya gak ngerti kenapa sampai sekarang saya gak bisa memaafkan diri saya. Kesalahan ini lebih berat bagi saya dibanding dosa apapun. Saya menyesal, Alila. Sangat menyesal. Sekalipun mungkin ada secercah harapan dan kamu memaafkannya tapi hati tak bisa berbohong. Bahwa meminta maaf dan memberi maaf takkan bisa mengobatinya. Lagipula, apa dengan dua kata ini semua tentang kita akan terulang lagi?

Setelah semua yang kita lalui?

Dimanapun kamu, Alila, mungkin dengan surat ini mewakili. Maafkan saya yang gak kirim lewat e-mail, BBM, SMS, Line, Whats app, atau apapun. Saya rasa dalam bentuk kertas ini pun akan segera kamu buang. Mungkin.

Apa ini mengganggumu, Alila? Maaf ya, saya sita waktumu.

Mudah-mudahan kamu bisa jalanin hidup dengan lebih baik lagi. Kamu bisa tersenyum dan tertawa meskipun itu bukan karena saya. Mudah-mudahan setelah ini tidak ada air mata yang jatuh sia-sia, saya tahu itu karena kamu cengeng. Hehe.

Sekarang saya gak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin dengan sungai yang terbelah, bulan yang seperti kunang-kunang, juga gunung-gunung yang bergema. Maafkan saya.

Dan saya harap kamu ngerti bahwa saya kehilangan kamu.

@Iman_rk on twitter | _imanion_ :)

               


Wednesday, October 8, 2014

K-13, Race to Nowhere!

       Sebagai mantan pelajar, tentu saya memahami bagaimana kultur dan lingkungan dunia pesrsekolahan. Saya juga pernah merasakan Romantisme sulitnya pelajaran yang tidak saya sukai. Merasakan betapa Romantisme-nya saya ketika harus duduk melipat tangan, badan tegap supaya focus, dan mencatat bila ditugaskan untuk mencatat. Saat ini hampir-hampir tak berbeda jauh dari zaman saya.

Dimana siswa harus kembali merasakan “nikmat”nya 16-18 mata pelajaran sekaligus serta dituntut untuk memenuhi standar nilai kelulusan (KKM). Bedanya, hanya terletak di Kurikulum saja. Zaman saya, saya dinaungi oleh KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tetapi, kalau dipikir-pikir saya dan adik-adik kelas saya yang sedang bersekolah itu ibarat “Race to Nowhere”, dalam terjemahannya, “Ya, engga jadi apa-apa juga” artinya, perbedaannya tidak terlihat sekalipun Kurikulum terus berganti.

                Pahit memang, bila kita melihat kenyataan akan pendidikan di negeri kita. Hidup kita jadi terbalik-balik. Seorang pelajar yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa, sedangkan yang sekolahnya main-main, malah bisa jadi pejabat, politisi terkenal atau bahkan pengusaha besar. Tidak jarang kita melihat fakta seperti ini. Karena telah dan sering terjadi hal semacam ini di Negeri kita, sulit rasanya bagi kita melawan buku-buku karya para Motivator, Pebisnis atau apapun profesi lainnya yang menganjurkan cara meraih sukses tanpa melalui bangku sekolah.

Misalnya buku karangan Bob Sadino yang berjudul: Cara Gobloknya Bob Sadino Berwirausaha, atau buku yang ditulis dengan penuh keluguan oleh para motivator dengan judul; The Power of Malas atau Ingin sukses? Tak perlu sekolah! Ini sangat sulit. Mengapa sulit? Tentu bukan sekolah menjadi hal yang tidak penting, melainkan ada yang salah.

Sekarang, coba kita sedikit berpikir. Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat Kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.

Anak lulusan SMA tahun pertama harus menguasai empat bidang Sains (biologi, ilmu kimia, fisika, dan matematika, lalu tiga bahasa, (bahasa inggris, bahasa Indonesia, dan satu bahasa lain), ditambah PKN, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Agama, Geografi, kesenian, olahraga dan Komputer (TIK). Belum lagi ada yang namanya program baru yang dinamakan Lintas Minat. Yaitu pelajaran tambahan yang “katanya” hasil dari minat siswa sendiri. Apa iya? Silakan tanyakan saja pada siswanya saja, ya.

Saat ini momok pelajaran begitu menjadi sangat menakutkan bagi sebagian pelajar. Ada yang sangat ketakutan ketika setelah istirahat mereka harus berhadapan dengan pelajaran berhitung dan menghafal. Ada yang trauma dengan pelajaran bahasa. Dan reaksi yang lebih parah ketika para siswa justru ketakutan ketika diajari oleh guru tertentu.

Dan sayangnya, ini terus terjadi dari generasi ke generasi. Kita terus mengkritik generasi Pembebek dengan mengatakan, “Kalian tidak boleh seperti kami, kalian punya jalan sendiri,” tapi disaat yang sama kita terus menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Saat ini, terus terang saja, saya sendiri merasa bahwa ilmu praktik dan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan saat ini justru tidak berasal dari sekolah. Dari 100%, saya hanya memetik 5% saja dari apa yang diajarkan ketika disekolah. 95% sisanya saya dapatkan ketika berada didalam Organisasi, buku diperpustakaan, dan Dunia Maya.

Sekolah, lama kelamaan akan tinggal cerita. Sekolah hanya akan menjadi ajang pelampiasan perasaan untuk memuaskan rasa rindu yang tak terpenuhi bagi para siswa yang memiliki banyak teman dan untuk siswa yang memiliki pacar. Mereka datang kesekolah bukan lagi untuk mencari ilmu tapi untuk menguatkan solidaritas kelompok yang telah mereka bentuk.

Sejak SMA saya ingin sekali menumpahkan kesedihan, kekhawatiran, dan kecemasan saya akan pendidikan di Negeri ini. Gelisah dengan metode pembelajaran disekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya, memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.

Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan.

                Dimana masalahnya?

                Masalahnya, saat ini banyak hal yang telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, adik-adik kita dikepung oleh informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala sumber. Guru-guru kita harus merubah cara menyampaikan subjek, metode mengajarnyapun harus lebih fun. Kimia, biologi dan fisika haruslah menjadikan siswa kita berpikir layaknya seorang saintis berpikir, bukan menghafal.

                Namun disekolah-sekolah lain guru-guru justru merasa sebaliknya. Pendidikan menjadi susah berkembang karena katanya, “murid masih sedikit menghafal”. Tingkat stress meningkat, karena guru menolak cara lain, selain hafalan. Maka muncullah pelajar yang sering kerasukan setan menjelang ujian.

                Alhamdulillah, ketika pemerintah berencana mengurangi beban pelajaran siswa disekolah, saya merasa senang mendengarnya. Namun kalau pengurangan hanya dilakukan semata-mata untuk mengurangi jumlah subjeknya atau jumlah mata pelajarannya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “Nowhere” lagi. Sama aja. Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan mata pelajaran yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

                Pengalaman saya sebagai seorang Mastermind dalam tiga komunitas juga sebagai seorang Organisatoris menemukan, bahwa anak yang pintar dan lancar menghafal disekolah belum tentu pintar dimasyarakat. Dan ingat, kegagalan terbesar justru timbul dari anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.
                Maka dari itu, mata ajar yang bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh system pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

                Siswa diatur cara berpikirnya agar tidak selalu membela kelompoknya sendiri didalam maupun diluar kelas, agar tidak jadi siswa yang sempit pemikirannya dan harapannya agar kelak menjadi siswa yang keratif.

                Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaranpun perlu disempurnakan. Jadi sata kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya.

               

                Semoga bisa menjadi PR bersama. Islamic Teens Inspirator, @Iman_rk

Sunday, September 21, 2014

Little Thing Called 'Miss'

                “Kembalilah.”                
                Aku masih terdiam dalam kebingunganku.              
              “Kembalilah… Ku mohon.”

                Aku mendengar isak tertahan dari kejauhan sana. Suaranya yang menyesak dan napasnya yang sudah tidak teratur. Kami terpisah oleh ruang dan waktu. Saat ini aku di Amerika menyelesaikan studiku, namun disaat yang sama aku belum menyelesaikan dan menuntaskan kerinduannya. Bagiku, ini lebih pahit dan lebih gagal dari ujian matakuliahku. Begitu pahit dan menyakitkan. Aku merasa menjadi laki-laki bodoh dalam sekejap.

                Aku kebingungan. Terus terang, sejak lama aku kebingungan bagaimana cara paling baik dan paling santun mendengarkan dan menjawab tangis rindu seorang wanita. Saat ini aku merasa bahwa aku sangat sering menyakitinya. Apa aku saja yang terlalu berlebihan atau memang realita bahwa wanita adalah mahluk perasa; yang apabila sakit, cinta, marah, rindu, muak harus dibuktikan dengan airmatanya?

                “Tolong, katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja? Ku mohon.” Napasnya tersengal.                Astagfirullah, aku mengelus dada. Aku bersumpah, aku bisa menjawab ini. Aku bisa.  Tapi aku hanya kebingungan. “Beri aku waktu…” aku membatin.                “Iya sayang, aku juga. Kamu baik-baik saja, kan?” Ku dengar aku mengatakannya. Meskipun bukan itu yang kumaksud.                “Uh…uh….huuu..” Tangisnya pecah.                “Sayang, kamu baik-baik saja ‘kan?” Aku bertanya lembut.

                Tengah malam disini, California. Berarti pukul 2 siang di Indonesia. Aku mungkin melakukan kesalahan fatal saat aku betul-betul yakin bahwa meninggalkan dia adalah hal terbaik demi masa depan kami. Namun, perkiraan tetaplah perkiraan. Dia, seperti juga wanita lainnya, akan teramat sangat tersiksa bila ditinggalkan dan saat roh bernama rindu mulai mengitari rumahnya. Dia mengandung anakku yang pertama. Beberapa minggu sebelum aku tiba disini, dokter berkata bahwa anakku adalah laki-laki. Suatu kebanggaan. Memang Indah menginginkan anak laki-laki dan Alhamdulillah Allah mengabulkan doanya. Terpancar binar matanya saat dokter mengabari itu. Lalu aku memeluknya.

                Entah, akhir-akhir ini Indah sering menangis dan menanyakan kabarku. Mungkin Indah belum siap untuk semua ini padahal, saat kuliah Indah mengambil jurusan Psikologi dan berakhir dengan summa cumlaude dikampus. Ternyata terbukti, bahwa teori saja tak cukup untuk menjalani hidup ini bila kita tidak mengalaminya sendiri. Indah sering kehilangan kontrol emosi sejak rahimnya diisi oleh calon pangeran kecilnya.

                “Sakit sayang, sakittt… huu… uh..” Indah merintih.                Aku berdiri dan menyalakan lampu. Lalu kemudian aku berjalan untuk mencuci muka dan kembali duduk dikasur sambil memijat-mijat dahiku.                “Aku mohon, bertahan Ndah…” Aku berusaha memberinya motivasi. Sekali lagi, bukan itu maksudku. “Apa perlu aku kembali ke Indonesia dan membatalkan semua perjanjian beasiswa ini?” Aku bertanya serius.

                Indah terdiam. Bukan, Indah menjawabku dengan tangisannya yang semakin lama membuatku kebingungan. Indah masih bernapas dengan hembusan yang kuat, sampai-sampai aku merasa bahwa Indah berada didekatku.

                “Indah?” aku bertanya lembut.

                “Uhh…huu…”                Dia masih menangis. Baiklah, kurasa hal yang paling penting sekarang adalah mendengar semua keluhannya, rasa sakitnya, kerinduannya, dan semua tentangnya.

                “Oke.oke. Sekarang, apa kamu mau berbicara sesuatu? Aku akan mendengarkan.” Untuk hal yang tidak aku sadari, ternyata aku tersenyum saat mengatakan ini.

                Tidak ada yang terdengar selain suara tangisan Indah dan detik yang berlomba dengan bunyi detak jantungku. Aku harap-harap cemas menanti pengakuannya. Setidaknya untuk sekedar memahami bahwa keluhannya adalah curahan hatinya.

                Masih belum terdengar jawaban darinya. Saat ini aku memanfaatkan waktu untuk mengoreksi, kesalahanku. Barangkali ada sesuatu yang aku lakukan sehingga semua ini terasa begitu berat untuk dijalani. Terutama untuk Indah. Sepertinya, aku mulai menemukan benang merahnya saat ia menjawab pertanyaanku sebelumnya.

                “Aku… uh…” Indah mulai berbicara.               
                 “Iya sayang?”              
               “Aku mau kamu kembali… kumohon.”

                Aku terdiam…    

             
 Semoga suka ya. Find me on twitter, @Iman_rk ^^

Saturday, September 20, 2014

Sore ga, Ai Deshou

               Siang yang menghisap keringat. Mengeringkan tenggorokan. Dan melemahkan otot. Aku berjalan pulang menuju rumahku yang tak jauh dari sekolah. Ada beberapa dari teman laki-lakiku yang berbaik hati mengajakku untuk menaiki sepeda motornya, Randy misalnya. Sudah beberapa hari terakhir ini, sikapnya sangat jauh berbeda bila dihadapanku. Ia menawarkanku minuman, mengantar pulang, dan kadang menghubungiku saat malamnya agar besok ia bisa menjemputku dan berangkat bersama ke sekolah. Menurutku, agak berlebihan memang. Banyak pertanyaan yang menggelayut didalam kepala teman-teman kelas atas sikap Randy. Kenapa hanya didepanku dan hanya padaku saja ia seperti ini?

                Aku menjadi seperti diriku yang sekarang ini karena banyak pilihan yang aku jalani dan nikmati. Kadang menyesakkan dada dan kadang membuatku tertawa. Di sekolah, banyak sekali hal yang bisa membuatku tertawa. Didalam sejuta permasalahanku yang tak bisa aku selesaikan, sekolahlah yang menjadi tempat pelarian yang paling efektif. Aku betul-betul merasakannya.
Merasakan dalam arti yang sebenarnya. Mungkin ada seribu alasan yang dapat membuatku menangis diluar, tapi sekolah bisa membawa sejuta alasan untuk membuatku tersenyum.

                Dari kejauhan, aku melihatnya berjalan. Dia. Laki-laki yang membuat semuanya berbeda, membuat kepahitan masalah menjadi manisnya hikmah. Dia yang telah banyak mengajariku sesuatu. Banyak hal. Banyak sekali malah. Dari langkah kecil ini, aku memperhatikannya tanpa memperdulikan ajakan Randy,

                “May?” Randy menegurku untuk kali ketiga.
                “Ah, iya? Ohhh… maaf, aku nggak bisa. Maksudku, nggak apa-apa. Rumahku deket kok dari sini. Makasih ya Ran buat tawarannya.” Aku menolak ajakannya dengan senyuman.
                “Oh, baiklah. Aku duluan ya.”

                Randy menutup kaca helmnya lantas menarik gas motor koplingnya dan meninggalkanku bersama khayalku. “Seandainya..” Aku membatin. ”Yang mengajakku pulang itu Irman. hihi” Aku tersenyum sendiri sambil mengkhayal konyol untuk sesuatu yang tak mungkin terjadi. Dari belakang ada Yunda, Dian, dan Riska yang berjalan mengikuti. Tapi sepertinya mereka belum melihatku. Mereka berjalan sambil berbicara dan tertawa seperti biasa mereka lakukan hampir tiap hari. Bahkan untuk hal yang tak jelas, mereka bisa tertawa sepuasnya sampai salah satu dari mereka memohon ampun untuk tidak lagi berbicara mengenai hal konyol itu, karena perutnya sudah tak menegang akibat kuatnya tawa yang tanpa henti. Aku salah satu dari mereka. Dan akulah yang memohon itu.

                Irman mungkin tak special seperti yang lain. Bahkan, ia tak menggunakan sepeda motor untuk pulang pergi dari sekolah. Ia berjalan kaki bersama yang lain, teman satu kelasnya. Dan entahlah, aku mungkin hanya merasakan sensasi bodoh yang menyelimuti hatiku. Cinta? Apa iya?
                “Mayaaa… Tunggu!” Yunda memanggilku sembari berlari kecil.
                Mereka bertiga mengikuti, “Lain kali, tunggu kamilah!” Dian mengeluh.
                “Haha, tadi memang mau buru-buru.”
                “Ada apa? Biasanya juga bareng kok.” Riska bertanya sambil menarik tasnya keatas.

                Aku terdiam. Memang aku tak ingin menjawab karena akan menjadi sangat memalukan bila aku jawab. Seperti halnya mereka, menjawab dengan apa adanya dan menelikung bila masalahnya adalah laki-laki. Ah, iya… akupun bermasalah dengan laki-laki. Untuk apa diceritakan. Toh nanti akan menjadi bahan bully.

                Kami berjalan seperti biasa.  Kenet angkot yang menyapa dengan suara yang tak biasa, ojek yang menawari, teman-teman yang lain yang berboncengan dengan pacar mereka masing-masing. Saat kami memandang mereka yang menjauh – pasangan itu – kadang membuat kami berempat saling menatap satu sama lain dan… tertawa karena meratapi nasib kami. Tentu saja, karena kami berempat sama-sama tak memiliki pacar.

                “May, enak ya jadi kamu.” Riska bertanya lagi.
                Aku mengangkat alis dan menatapnya.
                “Hu’um… enak banget.” Yunda menimpali.
                “Apanya?” Aku kebingungan.
                “Kalo rasanya ditawarin Randy untuk pulang, ditanya besok berangkat kesekolah sama siapa, udah makan atau belum.. itu enak gak May?” Yunda bertanya lagi. Aku melihat mereka terkikik sambil menyikut satu sama lain.
                “Apaan sih?!” Aku menghentikan langkahku.
                “Haha.. Hey-hey-hey… Tuan Putrinya Randy gak boleh marah.” Mereka tertawa lagi.

                Aku melanjutkan langkahku diiringi dengan gelak tawa mereka. Aku tahu mereka hanya bercanda. Dari kejauhan, Irman berjalan dengan santai dan duduk disalah satu tempat duduk favorit mereka sekaligus berfungsi sebagai tempat nongkrongnya untuk menunggui yang lain, teman-temannya yang satu arah bila diajak pulang berjalan kaki. Pernah suatu waktu aku bertanya apa alasannya duduk ditempat seperti ini dan Irman hanya menaikkan alisnya. Aku merasa ekspresi itu ibarat ia sedang berkata, “Apa urusanmu?”

                Tapi, itu cukup membuatku bahagia.

                Rasanya, saat ini aku hanya tidak usah terlalu repot-repot memikirkan bagaimana caranya agar Irman mau bertanya, peduli, dan memanfaatkan waktu agar bertemu denganku. Karena jalan pulang menuju rumah, jalan untuk berangkat kesekolah, kami sama. Dan untuk alasan inilah, dan sejuta alasan yang lain aku menolak Randy mengantar atau menjemputku. Agar aku bisa bersamanya walau tak dekat. Agar aku bisa melihat tawanya, meski bukan aku penyebabnya, agar aku bisa membuat ia ramai meski aku bukan temannya.

                Dan benar… Sore ga, Ai Deshou – Ku rasa, Aku jatuh Cinta.

Semoga suka ya. Find me on twitter @Iman_rk ^^


 

© 2013 Be a Ghazi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top